DINDING PUISI 250

DINDING PUISI 250

Saya memang menyukai puisi atau sastra tema kopi. Mengapa? Ada beberapa alasan. Pertama, saya anak kopi, tentu sebangga anak singkong, anak teh, atau anak sawit. Ya, saya lahir di tengah perkebunan kopi Curug Sewu, Kendal, ketika bapak saya menjadi Mandor Besar di sana. Sampai-sampai bapak saya menjuluki dirinya Wong Kebon, Wong Alas, atau Orang Hutan. Namanya juga perkebunan, sejauh mata memandang selain tanaman kopi berhektar-hektar, di sekelilingnya pasti hutan luas. 

Kalau anak-anak sekolah ditanya kampung atau daerah tempat tinggalnya, biasanya akan bangga menyebut, kampung anu, desa anu, atau kecamatan anu. Berdasarkan rumus anu itu, saya dengan bangga pasti menyebut Perkebunan Kopi Anu. Setelah bapak pindah perkebunan, baru nyebut, Perkebunan Cengkeh. 

Kedua. Jelas saya suka kopi karena dari tahun 1991 sampai menyatakan pensiun tahun 2012 dari #radio, meskipun tetap masih bisa siaran mingguan, program radio saya selalu disponsori kopi. Ada beberapa merk kopi. Dua yang paling menonjol dalam frekuensi pemutaran iklan, lama tahun kerjasamanya, dan banyak kegiatan off airnya adalah Kapal Api dan Kopi ABC. Sampai-sampai pentas teater yang saya sutradarai pun disponsori kopi. Termasuk mobil OB-Vannya di-branding kopi. 

Ketiga. Saya suka kopi karena saya tukang minum kopi. Bahkan prinsip saya, merokok bisa berhenti tapi urusan ngopi "jalan lurus jalan terus".

Keempat, sambil siaran radio, dulu lama saya juga buka warung kopi. Entah mengapa jaga warung kopi bergantian dengan anak-anak adalah satu kepuasan. Apalagi kalau yang datang setiap harinya penyanyi band, penyair, pelukis, pemain teater, guru sastra dan guru senibudaya, pembina komunitas, dll. Kelewat seru kan? Bahkan beberapa ustad juga suka datang kalau lagi sibuk bikin acara Semarak Muharom atau menyambut Ramadan. 

Pendek kata, kopi adalah bagian dari peristiwa hidup saya. Nyata. Bahkan bagi bangsa Indonesia yang boleh menyebut diri, Negeri Kopi atau setidaknya Negeri Penikmat Kopi. Tetapi saya tidak mau egois. Di catatan Dinding Puisi ini saya mau bicara yang paling nyambung. Bagi saya kopi adalah kenyataan dan peristiwa yang sangat inspiratif dalam sastra. Dia bisa bekerjasama dengan sastra, integral, selain sudah menjadi buah bibir masyarakat sejak era sastra lisan. Pada buku, kopi tidak harus selalu menjadi tema utama. Dalam banyak cerpen dan novel, peristiwa minum kopi baik di beranda rumah maupun di warung adalah bagian yang sangat humanis dan bermakna besar. Mudah dinaiki pesan-pesan moral. 

Itu sebabnya beberapa bulan terakhir ini saya sedang asyik mengumpulkan dan memilih puisi-puisi yang tercecer di berbagai antologi bersama ke dalam satu kumpulan yang saya sebut, Ngopi Puisi. Suatu ruang untuk minum puisi-puisi itu selayaknya menikmati kopi. 

Tiba-tiba ada undangan ikut tantangan  menulis puisi tema kopi selama 30 hari dari Forum Penulis Labuhanbatu (FPL), dimulai tanggal 1 Oktober 2020, hari kopi sedunia yang saya sebut juga, hari kesaktian kopi, meskipun hari kesaktian kopi itu adalah rumus harian. Tentu saya sangat antusias. Seperti biasanya, meramaikan kegiatan komunitas sastra terpilih meskipun on line adalah kesukaan saya. Maka saya pun segera konsisten menulis puisi tema kopi itu, seraya menyeleksi ulang puisi-puisi tema kopi yang tercecer di akun media sosial saya. Tak terfikirkan untuk masuk puisi pilihan, sebab itu bagian tantangan lain. Yang terpenting, saya lebih merasa seru bergulat dengan harum dan nikmat kopinya.

Maka ketika di hari ke sepuluh, di tanggal bagus 10-10-2020, puisi saya dinobatkan sebagai puisi pilihan, saya dibuat agak termangu. Seakan mesti bertanya, "tema kopiku terpilih, apa artinya?" Lalu saya jawab sendiri, "Berarti masakan 'kopi' pada puisi ini beruntung, itu saja".

Inilah puisi tema kopi saya yang menjadi puisi pilihan di hari ke sepuluh, sekaligus menjadi puisi pertama dalam Jurnal Kopi FPL:

SEBUAH SAJAK MENULIS HUJAN TANGGAL SEKIAN 

menggigil seharian 
tubuhku randu rindu

semua kenyataan serba pesan 
atau pesan-pesan melahirkan peristiwanya

perasaanku membubung langit
memesan hangat kopi
mencucrup bijak

Januari tak perlu mengutuki waktu
sebuah sajak telah menulis hujan
tanggal sekian

kopiku memesan lagu
berharap membagi rindu 
______

Lagi-lagi saya mau bilang. Kepuasan sebuah puisi adalah ketika dia bekerja untuk hidup. Bukan semata-mata karena menang lomba, masuk nominasi, atau jadi puisi terpilih. Ini pengalaman kita. 

Kemayoran, 12 10 2020
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com 
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG