DINDING PUISI 252

DINDING PUISI 252

Pada catatan sebelumnya kita sudah membahas sekilas mengenai nama-nama penyair dan sejumlah karyanya yang sudah bekerja dan dipekerjakan oleh juri dan panitia lomba melalui mekanisme penentuan nominasi, juara lomba, dan peserta favorit. Hal ini sangat terasa menonjol karena sejumlah nama lain yang tidak lolos dan karyanya tidak akan disebut-sebut, tidak akan dipublikasikan atau diterbitkan, istilahnya langsung masuk laci meja panitia. Itu sebabnya panitia juga harus hati-hati kalau masih ada yang menggunakan kalimat penegas, termasuk dalam lomba seni apapun, karya yang diiirim menjadi milik panitia. Sebab bisa diartikan penulis tidak bisa memperlakukannya sebagai miliknya lagi. Kecuali kalau di masa lalu, sebelum era digital, yang dimiliki panitia adalah naskah tertulis yang diterimanya. Sedangkan soal karya, itu hak penulis. 

Fenomena lain terjadi pada kerja puisi saat Lomba Baca Puisi. Baik lomba baca saja maupun lomba tulis dan baca. Di sini ada momen puisi dan penyairnya bekerja di atas panggung saat tampil. Ia terlibat menyemarakkan kegiatan itu sesuai tema yang dipromosikan. Sebut saja dua misal, tema anti korupsi dan tema anti perusakan lingkungan. Mereka adalah para aktivis yang saat itu dikoordinatori panitia penyelenggara untuk menyuarakan satu tema melalui pembacaan puisi. Mereka adalah artis, sederet bintang yang sedang beraksi di atas panggung, bahkan bisa dipublikasikan melalui siaran langsung dan rekaman video. Ada yang menyebutnya, seniman pembaca puisi. Meskipun ada juga yang masih pemula. Meskipun di akhir lomba mereka harus ihlas pada keterwakilan, terpilihnya beberapa pemenang oleh dewan juri. Yang tentu saja diharapkan para pemenang ini bisa lebih menggaungkan misi tema yang dimaksud. Saat ini atau di masa depan. 

Di panggung lomba baca puisi, penyair dan seniman pembaca puisi tentu berangkat dengan tekad bekerja atau mempekerjakan puisi agar beraksi maksimal sesuai tema spanduk dan poster. Pada saat yang sama mereka memang sedang dipekerjakan oleh panitia untuk itu. Yang artinya, ini sindikasi baik yang bisa meyakinkan masyarakat tentang adanya puisi yang bekerja itu. Dan melalui sudut pandang ini, masyarakat tidak melulu diajak fokus pada keputusan siapa pemenang lombanya, tetapi baca puisi untuk apa? 

Itu sebabnya saya lebih memilih vokal, di seluruh kabupaten dan kota seIndonesia sepantasnya diperbanyak lomba baca puisi dan panggung baca puisi. Dua ruang yang sama tapi berbeda. Sama-sama naik panggung tapi konsepnya berbeda. Di panggung yang kedua tidak dilombakan, dan kebanyakan pengisi acaranya adalah para penyair dan seniman pembaca puisi yang sudah populer di daerah masing-masing, didukung oleh para pemula dan aktivis sastra atau aktivis literasi.

Melalui dua pintu itulah anggaran  negara dari multi-intansi dan anggaran swasta untuk puisi Indonesia bisa mencurah. Tetapi jujur, sesuai pengamatan dan pengalaman saya, kecuali bagi panitia-panitia tertentu yang beruntung, anggaran untuk lomba baca puisi dan panggung puisi termasuk yang paling murah jika dibandingkan dengan penyelenggaraan panggung seni lain. 

Di akhir tulisan ini saya ingin menyampaikan, kita tidak bisa menutup mata, bahwa salahsatu kerja puisi yang tidak boleh dilupakan adalah, puisi yang menghibur, termasuk menghibur hati yang rawan. Apakah mau dilihat sebagai klasifikasi khusus seperti penyebutan novel pop pada masa lalu, atau mau dilihat bahwa pada hakekatnya secara universal setiap puisi pasti menghibur, menghibur jiwa kemanusiaan kita untuk tetap teguh sebagai manusia berprikemanusiaan atau manusia berketuhanan. 

Kemayoran, 14 10 2020 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG