DINDING PUISI 254

DINDING PUISI 254 

Saya setuju atas konsistensi penyair dalam jihad kepenyairannya. Seorang pencinta puisi yang hebat, dia bisa asyik dalam segala cara pada puisi. Berjuang. Itu berkah dunia sastra, masih bagian dari sukses literasi. Selain aktif berkomunitas sastra ia bahkan suka menulis puisi dan beberapa karyanya telah diterbitkan. Bisa bertahan 2, 5 bahkan 10 tahun. Tetapi seorang penyair akan berkomunikasi dan berargumentasi menggunakan puisi sepanjang hayatnya. Ketika firman Tuhan sudah nyaman di situ.

Di manakah posisi penyair bagi kalimat suci yang bercahaya, kalam langit yang membumi, firman-firman Allah? Benar, seperti sebuah perjanjian, sesungguhnya peristiwa penerimaan. Penyair adalah pihak yang membenarkan dan menyebarkan. Mengamalkannya. 

Penyair dan kepenyairannya sebenarnya mudah terdeteksi pada saat ia berkomunikasi dan berargumentasi. Bisa dibuktikan. Tidak usah ditebak-tebak tanpa alasan yang tepat, tanpa menemui argumentasinya. Janganlah kita dibuat hambar apalagi teracuni oleh hidangan sayur lodeh atau obat gatalnya, sebab ia penjual. 

Penyair yang kita hafal, kalimatnya kita kenal. Meskipun baru sekali bertemu di warung kopi. Meskipun baru saat itu kita baca puisinya. Sebab ribuan kali membaca suatu kalimat tertentu, belum tentu kita kenal. Dua penyair yang bertemu, dua tubuh, seperti yang membelahdiri. Bukan karena selalu sama, karena perbedaannya bukan bahaya sastra. 

Setelah kita mengenal seseorang adalah penyair, maka kita akan segera mengenali juga seluruh perbuatannya adalah puisi. Termasuk cara dia ngasih makan ayam, mengantar anak beli buku baru, berangkat kerja, berpacaran, menemani istri berobat ke rumah sakit, dan saat sungkem di kaki ibu. 

Sementara bagi penyair, burung yang bersarang di pohon memberi makan anak-anaknya, petani yang menggarap sawah, kuncup bunga mekar, seorang ibu menenteng tas berisi sayuran, kereta panjang yang melaju di jembatan tinggi di atas sungai, guru ngaji di surau, bulan saat mampir minum kopi, dan daun-daun yang bercerita, adalah puisi. 

Seorang penyair tidak akan bertanya, bagaimana cara menulis puisi yang baik? Sebab ia tempat bertanya tentang itu, meskipun kadang jawabannya sangat singkat, "Lihat saya menulis", bahkan tanpa kata-kata. Sebab baginya, kelengkapan itu ada di tempatnya. Ketidaklengkapan akan menunjukkan dirinya. Kebohongan itu jujur dengan kebohongannya. Kecuali pada mereka yang sudah menjawab, "Jangan tanya saya, saya masih terus belajar". 

Penyair tidak akan mengeluh, "Dulu saya suka menulis, pernah menulis, pernah dimuat koran, pernah juara, tapi sudah lama sekali, setelah itu gak pernah nulis lagi". Sebab kepenyairan adalah kerja seumur hidupnya, puisi-puisi yang ditulisnya pun akan bekerja selama-lamanya. 

Penyair tidak takut lomba-lomba sebab kalah lomba puisi bukan kekalahan kerja puisinya. Itu sebabnya pantang ia memaksakan diri mencari nafkah dari lomba-lomba. 

Sesungguhnya penyair tidak suka bicara, "saya suka puisi". Itu bisa menghabiskan waktunya untuk mencintai puisi. 

Syair, penyair dan kepenyairannya adalah peristiwa. Tanda yang berbicara. Berkesadaran, berkesaksian dan mencerahkan. Mesti bercahaya. 

Kemayoran, 2020 
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG