DINDING PUISI 277

DINDING PUISI 277

Siap. Om, Mas, Mbak, Jeng, dan seterusnya. Deklamator adalah juga orang yang piawai mendeklamasikan pesan. Atau mendeklamasikan maksud-maksud di dalam pidato, baik spontan-lisan maupun membaca naskah, secara optimal. Artinya, deklamasi adalah totalitas ekspresi ketika menyampaikan kata dan kalimat baik dalam pembacaan puisi maupun pidato. 

Coba kita urut. Pertama, baca puisi untuk diri sendiri sekedar memahami isi. Kedua, baca puisi untuk orang lain (penonton atau pendengar #radio-kaset-cd) untuk mengajak memahami isi. Ketiga, baca puisi untuk pihak lain di atas panggung untuk mengajak memahami isi puisi. Keempat, di atas panggung membaca puisi dengan ekspresif, menghalalkan gerak besar seperti mengangkat tangan tinggi-tinggi, lalu dari berdiri ke jongkok atau sebaliknya dari duduk ke berdiri, gerak berjalan ke sisi lain panggung,, dll. Kelima, baca puisi seperti poin keempat tetapi pada posisi dan gerak tertentu bisa terjadi lepas naskah. Keenam, masih menggunakan cara baca keempat dan kelima, tetapi 100% lepas naskah alias mengandalkan hafalan. Bahkan didukung gerak teaterikal yang menonjol. 

Kesemuanya itu, di luar poin pertama, bebas dilakukan di sebuah panggung yang sudah dipromosiksn di poster, spanduk, media sosial, dan radio-tv, akan ada pembacaan puisi. Sah. Berangkat dari situ, kita kuat berargumentasi baca puisi dan deklamasi itu sama saja. Setidaknya ini kesimpulan hari ini. Boleh disebut sebagai perkembangan hasil kajian mutahir.

Persoalannya, bagaimana jika baca puisi itu terjadi pada lomba-lomba, bukan parade baca puisi? Di sinilah bisa muncul beragam aturan halal. Bahkan panitia boleh bikin pengumuman ---asal tidak mendadak, semua peserta wajib mendeklamasikan puisinya dengan lepas teks. Bebas mau diberi judul Lomba Deklamasi atau Lomba Baca Puisi, atau Lomba Baca Puisi Tanpa Teks. Sekali lagi sama saja. 

Tetapi logika umum yang sudah terbangun dan tidak salah, jika seseorang baca puisi dalam suatu lomba, lalu satu dua kalimat, atau satu bait ia ucapkan tanpa melihat teks, maka juri tidak boleh mengharamkannya. Bahkan bisa dianggap berlebih-lebihan kalau hal itu dianggap salah atau layak didiskualifikasi, dinilai nol. Rasanya sangat kejam. Tapi memang benar, sesekali mengucap tanpa melihat teks bisa berlangsung mulus dan bagus, mendukung kefasihan ekspresi dan penghayatan, tetapi bisa juga sebaliknya, malah jadi bumerang, menjatuhkan ketika si pembaca memaksakan diri. Padahal tidak ada kewajiban untuk itu. Demikian pun ketika seseorang memggunakan gerak besar, bahkan diselingi hafalan teks, belum tentu membuat baca puisi jauh lebih baik dan membuat dia dipaastikan juara. 

Menurut saya, baca puisi dan deklamasi itu sami mawon. Biarpun di buku-buku pelajaran masih ada definisi khusus tentang deklamasi. Sebab jika diamat-amati mendalam, itu cuma variasi dari pilihan gaya baca puisi. 

Benar. Kalau panitia sudah bikin aturan halal, "baca puisi tanpa teks", ya peserta wajib melakukannya. Gitu aja. Terserah itu mau disebut Lomba Deklamasi atau Lomba Baca Puisi Tanpa Teks.

Seya tambahkan. Di dalam agama, pengertian hafal lebih dari sekedar melepas teks. Hafal artinya menjadi totalitas gerak dan perbuatan sadar karena sudah memahami teks, maksud dalil. Memahami inti dan maksud ajaran agama. Sehingga ada pesan moral, jadilah orang-orang yang hafal, tahu jalan lapang. 

Salam. Selamat tahun baru. Selamat tahun puisi lagi. 

Kemayoran, 01012021
Cannadrama@gmail.com
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG