Pernah Sedih (Cerpen Move On AFF) cerpen Gilang Teguh Pambudi

PERNAH SEDIH
Cerpen: Gilang Teguh Pambudi

Bayangkan. Pohon mana yang tidak lekas mati, dalam derita hatinya ia menghentikan kerja daun dan akar? Meminta Allah untuk memaklumi. Setiap hari mencacimaki batang dan ranting sendiri. Memohon malaikat mencatat proses hidup yang tragis. Menyalahkan pemilik kebun, bahkan pejalan kaki yang telah berdosa menghianatinya. Memanggil nama-nama orang suci sebagai deretan para saksi yang harus mendakwahkan hati tersakiti oleh orang-orang salah.
Besi mana tidaak lekas keropos kalau cat anti karatnya ia kelupasi sebagai tanda kecewa yang mendalam kepada penghuni perumahan, bahkan kepada Negara? Ia seperti meneriakkan kebenaran yang tidak juga didengar, sambil mempercepat karat dan keroposnya.
Untunng Allah berkalimat, itu dosa. Itu siksa. Sehingga pohon-pohon terus tumbuh memenuhi takdir panggilannya. Besi-besi menulis hukum yang kuat di buku-buku. Tentu, barang siapa gagal memahami ini, ia tidak ngaji pohon dan besi. Tidak ngaji ruh dan badan.
Dia pernah sedih yang dalam. Antika, namanya. Setelah gagal dari pernikahannya yang pertama, dengan menggendong satu anak umur lima tahun mencoba bangkit kembali dengan langkah kedua. Mencintai laki-laki pujaan hatinya. Tapi juga berujung kecewa. Di saat-saat serius membicarakan rencana pernikahannya, ternyata si pria itu mengaku telah beristri, sehinngga ia merasa dipaksa untuk sudi menjadi istri kedua. Suatu yang menurutnya tidak amanah, sebab bukan rahasia yang terbuka dari awal. Apalagi pihak calon istri pertama tidak tahu-menahu pada rencana pernikahan ini. Semacam perbuatan sembunyi-sembunyi belaka.
“Laki-laki semua sama. Bajingan. Bahkan negara punya andil dosa, mengapa yang model begini terus ada?” Begitu gerutunya siang malam. Berbulaan-bulan. Beberapa tahun. Sehingga membuatnya semakin menyendiri, prustasi, dan terhina. Penampilannya tidak untuk syukur dan kebahagiaan, tetapi untuk kemarahan yang gelap.
Sebenarnya ia termasuk orang yang tidak terlalu ambil pusing pada banyak hal yang dipusingkan sebagian orang. Tetapi untuk segala hal yang berkaitan dengan komitmen berdua, apalagi untuk seumur hidup, ia akan sangat berperasaan. Sikap tidak ambil pusing itu misalnya pada prinsip yang mengitari fenomena nikah agama, yang belum terdaftar di catatan sipil itu. Yang selalu jadi bahan perdebatan. Menurut ahli hikmah, hanya orang-orang mulia dengan niat yang lurus  yang bisa selamat melalui jalan itu. Bukan perkara mudah. Padahal ada sebagian ahli hukum yang bersikeras menyebut, tidak tercatat di catatan sipil berarti pelanggaran. Bahkan disebut-sebut praktek pelacuran.

---

Suaminya yang pertama kerja di rantau. Sebulan hanya bisa satu-dua kali pulang. Bahkan pernah sampai tiga bulan tidak pulang-pulang. Alasannya klasik tentu saja, pekerjaan sedang dalam kondisi tidak bisa ditinggal sama sekali. Sebab untuk sekali pulang ia harus tidak kerja minimal tiga hari. Dalam kondisi demikian, ketabahan Antika sangat dipertaruhkan. Sebab kesetiaan, kepercayaan, dan pengertian adalah kunci keutuhannya. Jangan melulu mendebat jumlah hari perjumpaan. Kecuali dengan berdoa, “Semoga suatu waktu nanti keadaan bisa berubah lebih baik. Pertemuan bisa lebih kerap lagi”. Sambil ia membatin, toh memasuki usia senja kelak, apalagi setelah suami tidak kerja di sana lagi, pasti akan hidup dekat dan rukun setiap hari. Siang malam. Maka kesabaran dan tawakal adalah obat mujarab.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Matahari seperti dipaksa balik arah. Memberi cahaya ke semesta lain. Bahkan pohon-pohon tumbuh seperti dipangkas seketika untuk mengatakan sekarang lebih tinggi dari sebelumnya. Sungguh fakta yang aneh dan menyesakkan. Ia malah mendapat kabar kalau suaminya sudah menikah lagi di sana. Dan ketika hal itu dipertanyakan malah berujung pertengkaran tak selesai-selesai dan perceraian.
Maka sejak itu, Antika seperti kehilangan makna cinta. Jatuh berat. Sedih mendalam. Prustasi menjadi-jadi. Kesetiaanya dikhianati. Bahkan kepada Allah ia berteriak, “Ini peristiwa yang diciptakan dengan kejam”. Di dunia ini semua pintu untuk laki-laki sudah ditutup, sebab ia merasa punya seluruh kuncinya. Lalu pergi ke tempat sunyi sambil mengutuki diri. Tenggelam dendam. Menganggap dosa siapapun. Sebab doa-doa mereka tidak terkabul untuk melahirkan sebuah keluarga yang harmonis, sakinah mawadah warohmah di muka bumi. Mereka cuma menggeluti kesenangan palsu. Menipu ke seluruh penjuru. Mengubur waktu.

---

Tapi terang mana yang tertolak ketika kaki bisa mantap dipijakkan pada tumpuan bebatuan kokoh yang terlihat? Ketika Allah tidak pernah mengubah kalimatnya, nikmat mana lagikah yang kau dustakan? Bayangkan. Matahari yang dicurigai bersinar ke alamat lain ternyata ke alamat dirinya. Sebagai pihak benar yang harus berkabar tentang kesukacitaan dan kemenangan. Dan pohon yang dipangkas sewenang-wenang itu sedang mencukupkan kalimat peradaban, bahwa ada yang berdosa, bahkan berdosa besar, ada yang lurus. Dan jiwa-jiwa yang lurus akan tetap utuh zikirnya, ingatnya pada hukum mulia yang meyelamatkan banyak orang. Turun-temurun. Tidak cuma untuk diri pribadi.
“Ika, ibu mau kamu jujur kepada hati dan perasaanmu. Bahwa kekuatanmu yang terbesar adalah, percayadiri karena benar. Sedangkan kebenaran adalah cahaya. Itulah kalimat yang dititipkan Allah yang maha cinta, yang akan menolongmu”. Tiba-tiba kalimat ini terngiang-ngiang padahal sudah lama diucapkan ibunya. Menjadi semacam naptu hidayah. Karena pada saat itu ia laksana sedang memukuli punggung bumi karena terlalu berani, terlalu memaksakan diri mau diciptakan.

---

Hari ini ia sedang menggendong anak keduanya yang belum genap berumur satu tahun. Sementara si sulung sedang main ayunan depan rumah. Di minggu pagi ini suami barunya yang seorang guru sedang berolahraga. Lompat-lompat di tempat sambil sesekali ngasih makan ayam jago dalam kurungan. Sungguh suatu suasana depan rumah yang penuh kehangatan dan kebahagiaan. Ia menikahi Antika sebagai duda beranak satu, seusia dengan si sulung.
Sambil memperhatikan bunga yang mekar semalam, Antika teringat kata-kata ibunya semalam lewat handphone. Maklum sudah lebih dari dua bulan tidak bertemu. Keduanya sama-sama rindu. Padahal jarak rumah keduanya cuma sekali naik angkutan umum, tidak lebih dari 30 menit. Lebih cepat lagi kalau naik motor. 
”Ika. Percayalah. Hidup sehari-hari manusia itu sesungguhnya cuma pernah sedih. Sebab itu perasaan yang dititipkan Allah untuk mengaji seluruh persoalan hidup. Siapa sih yang malam ini tidak sedih jika sedang merasa-rasa keadaan yang sedang dialami  atau yang pernah terjadi? Selalu begitu. Tetapi di balik itu, cahaya Allah selalu bersama jiwa-jiwa yang menang dan tenang”.

Kemayoran, 2020
_____

Tentang Penulis: 
Gilang Teguh Pambudi, anak perkebunan dan orang radio yang seorang penyair (penulis). Tinggal di Jakarta. Lahir di perkebunan kopi di Jawa Tengah, tetapi dari masa kanak-kanak domisili di perkebunan cengkeh Jawa Barat. Mulai aktif menulis kelas  1 SMP, mulai dimuat koran sejak kelas  1 SPGN. Setelah meninggalkan kegiatan mengajar di kelas, dari tahun 1992 aktif sebagai Orang Radio Indonesia. Sebagai penyiar, jurnalis, programmer, kepala studio dan narasumber Apresiasi Sastra sampai menerbitkan buku tips sukses, Orang Radio. Puisi-puisi dan cerpennya termuat dalam berbagai buku antologi bersama selain antologi tunggal. Sebagai pembina komunitas seni banyak terlibat dalam berbagai kegiatan seni, termasuk Wisata Sastra Mingguan. Namanya termuat dalam buku Apa & Siapa Peyair Indonesia (YHPI).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG