Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2020

Puisi BISIKAN MALAIKAT PEMILU Karya Gilang Teguh Pambudi

Gambar
Senyum serius dikit, Bro & Sis BISIKAN MALAIKAT PEMILU sebab detikmu zikir lima waktumu sujud dan menengadahkan tangan kebutuhan khususmu menjadi manusia kepada siapa saja lumpuh bahkan mati tanpa itu kamu bukan cuma tubuh perempuan tapi sesungguhnya manusia bahkan saat kuremas jemari tanganmu menetes deras madu surgamu dan saat kukecup bibirmu Malaikat PEMILU berbisik, "Lanjutkan dua periode". Kemayoran, 28 11 2018 ______ Dari buku antologi puisi, JALAK (Jakarta Dalam Karung), penerbit J-Maestro Bandung, 2018, karya Gilang Teguh Pambudi.  Puisi ini memang dibuat sebelum Presiden Jokowi masuk ke periode kedua melalui PEMILU April 2019, ketika santer istilah itu. Istilah "lanjutkan (ke) dua periode" itu muncul dengan doa baik, setelah sukses di periode pertama, lanjutkan sukses dengan mengakhiri periode kedua. Pola yang sama seperti ketika presiden SBY juga pernah mengakhiri periode keduanya. Tapi puisi ini puisi religius yang sangat kuat pesan humanis-universaln

DINDING PUISI 175

Gambar
DINDING PUISI 175 Saya orang yang percaya kepada puasa dan doa. Itu sebabnya untuk satu puisi di antologi terbaru 2020 ini saya tidak bisa melewatkan satu persyaratan khusus. Saya harus melaksanakan sholat sunah mutlak dua rokaat dulu sebelum menulisnya. Dan alhamdulillah, akhirnya lancar menulisnya.  Pada saat-saat lain saya sering mengumpulkan energi puasa dan sholat saya, ketika menumpahkan kata-kata puisi. Meskipun untuk suatu puisi yang nampak sederhana dan lugas dari sisi bahasa sekalipun. Tapi menggetarkan dari kedalamannya. Sebab saya yakin, seorang hamba yang baik di dalam sholat subuhnya tidak mungkin berdoa, "Ya, Allah selamatkan saya selama melaksanakan sholat subuh ini". Pasti ia minta keselamatan untuk seumur hidup, sampai akhir hayat, melalui sholat subuhnya itu. Itulah yang saya maksud, suka saya panggil semua energinya sebelum menulis puisi.  Tidak perlulah cara-cara ini hanya sekedar untuk memberi kesan sufistik, atau biar disebut-sebut penyair ustad atau pe

DINDING PUISI 256

Gambar
DINDING PUISI 256 Sebenarnya dimulai dari hal biasa. Setiap panitia lomba menulis puisi pasti akan menyiapkan dua tahap. Tahap awal adalah penyeleksian karya berikut persyaratan yang telah diumumkan. Ini belum mencakup penilaian kualitas karya. Baru sebatas katagori usia peserta, panjang karya, jumlah karya, pemberian judul, titimangsa, penggunaan model huruf dan besar kecilnya, dll.  Lalu timbul pertanyaan siapakah yang harus menyeleksi kesesuaian tema pada setiap karya yang masuk? Sebab karya yang masuk bisa sangat banyak jumlahnya, apalagi untuk skala nasional, apalagi di era email atau media sosial, pengiriman karya semakin mudah dan praktis walaupun di tengah kesibukan atau sambil tidur-tiduran. Di sinilah kemudian sebagian panitia terpaksa melakukan seleksi karya atas dasar kelayakan sebuah puisi dan kesesuaian tema. Sehingga dewan juri diharapkan akan bekerja jauh lebih mudah dan cepat. Tetapi ada yang menyebut, sesungguhnya ini sudah masuk tahap penjurian pertama, sebab perdeba

DINDING PUISI 255

Gambar
DINDING PUISI 255 Mengapa keris atau pusaka-pusaka lainnya selain tajam juga dibuat indah dengan bentuk dan beragam ukirannya? Selain itu pada gagang dan serangkanya ditambahi berbagai penghias yang nampak lebih berkesan berwibawa. Mengapa, Bro and Sis? Sebab puisipun sesungguhnya tajam, melalui proses pengasahan yang tidak semena-mena. Lalu seperti pusaka, dibilas, dimandikan dan diwangikan. Dan bacalah, kata-katanya terukir indah. Sementara temanya selalu mengabarkan indahnya hidup dalam keadilan dan kedamaian.  Kadang masih ada yang terkesiap dengan perbandingan ini. Puisi-puisi yang meledak-ledak dengan kata-kata lugas yang demonstratif disebut-sebut sangat keras seperti kampak, pedang, tombak atau mata panah. Sangat berani, pemberani, bahkan ada yang dianggap kelewat berani. Tetapi begitu seseorang diam-diam mendalam bersama ingin tahunya, mengendap-endap membuka simpul rahasia pada puisi yang semisal angin lembut, gemercik air, kuncup bunga mekar, atau keheningan sajadah, ia samp

DINDING PUISI 254

Gambar
DINDING PUISI 254  Saya setuju atas konsistensi penyair dalam jihad kepenyairannya. Seorang pencinta puisi yang hebat, dia bisa asyik dalam segala cara pada puisi. Berjuang. Itu berkah dunia sastra, masih bagian dari sukses literasi. Selain aktif berkomunitas sastra ia bahkan suka menulis puisi dan beberapa karyanya telah diterbitkan. Bisa bertahan 2, 5 bahkan 10 tahun. Tetapi seorang penyair akan berkomunikasi dan berargumentasi menggunakan puisi sepanjang hayatnya. Ketika firman Tuhan sudah nyaman di situ. Di manakah posisi penyair bagi kalimat suci yang bercahaya, kalam langit yang membumi, firman-firman Allah? Benar, seperti sebuah perjanjian, sesungguhnya peristiwa penerimaan. Penyair adalah pihak yang membenarkan dan menyebarkan. Mengamalkannya.  Penyair dan kepenyairannya sebenarnya mudah terdeteksi pada saat ia berkomunikasi dan berargumentasi. Bisa dibuktikan. Tidak usah ditebak-tebak tanpa alasan yang tepat, tanpa menemui argumentasinya. Janganlah kita dibuat hambar apalagi t

DINDING PUISI 253

Gambar
DINDING PUISI 253 Dalam lomba cipta atau lomba baca puisi seringkali panitia-panitia menyertakan juara favorit. Jumlahnya bisa satu orang, tiga orang, bahkan lebih. Untuk yang mengumumkan 10 puisi atau 10 pembaca puisi terbaik, bisa jadi juara favoritnya 4 kalau juara utamanya 6 orang, bisa juga 7 orang kalau pemenang utamanya cuma 3 orang. Formasi itu masih bisa berubah jika ada juara kembar, misalnya juara duanya ada dua orang.  Juara favotit adalah orang-orang atau karya terpilih yang menang di luar penentuan juara lomba yang utama. Bisa disebut juara tambahan karena bersifat melengkapi juara yang sudah diputuskan Dewan Juri, tetapi bisa disebut juga juara khusus atau spesial karena menang dari sudut penilaian yang lain semisal paling disukai penonton atau paling disukai sponsor, atau disebut juara katagori khusus semisal berpenampilan terbaik, paling menyesuaikan diri dengan tema kegiatan, atau tampil paling ekspresif.  Siapakah yang berhak menentukan juara favorit itu? Tentu tidak

DINDING PUISI 252

Gambar
DINDING PUISI 252 Pada catatan sebelumnya kita sudah membahas sekilas mengenai nama-nama penyair dan sejumlah karyanya yang sudah bekerja dan dipekerjakan oleh juri dan panitia lomba melalui mekanisme penentuan nominasi, juara lomba, dan peserta favorit. Hal ini sangat terasa menonjol karena sejumlah nama lain yang tidak lolos dan karyanya tidak akan disebut-sebut, tidak akan dipublikasikan atau diterbitkan, istilahnya langsung masuk laci meja panitia. Itu sebabnya panitia juga harus hati-hati kalau masih ada yang menggunakan kalimat penegas, termasuk dalam lomba seni apapun, karya yang diiirim menjadi milik panitia. Sebab bisa diartikan penulis tidak bisa memperlakukannya sebagai miliknya lagi. Kecuali kalau di masa lalu, sebelum era digital, yang dimiliki panitia adalah naskah tertulis yang diterimanya. Sedangkan soal karya, itu hak penulis.  Fenomena lain terjadi pada kerja puisi saat Lomba Baca Puisi. Baik lomba baca saja maupun lomba tulis dan baca. Di sini ada momen puisi dan pen

DINDING PUISI 251

Gambar
DINDING PUISI 251 Sudah berkali-kali saya menguraikan secara sekilas tentang puisi yang bekerja, baik puisi yang lahir dari seseorang yang harus bekerja pada diri penyairnya, maupun yang lahir di tengah masyarakat manusia yang akan bekerja di situ. Berkesaksian, membangkitkan kesadaran, sekaligus mencerahkan. Terbebas dari seberapa luas puisi itu dikenal. Itu soal lain. Sebab di jalan Tuhan ia pasti bersinergi dengan segenap energi baik di seluruh muka bumi, yang juga sedang bekerja. Pada catatan ini kita menengok beberapa contoh saja puisi-puisi yang dipekerjakan. Dengan ciri-ciri ada pihak yang bersengaja membuat puisi itu bekerja, selain yang di awal kita bahas, puisi yang bekerja dengan sendirinya, dengan cara-cara yang khas, termasuk yang gaib. Meskipun seluruh puisi yang sedang atau telah dipekerjakan juga bekerja dengan sendirinya ke arah situ, karena potensinya memungkinkan dan wajib bekerja dengan cara-cara itu.  Pertama, puisi yang dipekerjakan oleh penyairnya sendiri. Sebab

DINDING PUISI 250

Gambar
DINDING PUISI 250 Saya memang menyukai puisi atau sastra tema kopi. Mengapa? Ada beberapa alasan. Pertama, saya anak kopi, tentu sebangga anak singkong, anak teh, atau anak sawit. Ya, saya lahir di tengah perkebunan kopi Curug Sewu, Kendal, ketika bapak saya menjadi Mandor Besar di sana. Sampai-sampai bapak saya menjuluki dirinya Wong Kebon, Wong Alas, atau Orang Hutan. Namanya juga perkebunan, sejauh mata memandang selain tanaman kopi berhektar-hektar, di sekelilingnya pasti hutan luas.  Kalau anak-anak sekolah ditanya kampung atau daerah tempat tinggalnya, biasanya akan bangga menyebut, kampung anu, desa anu, atau kecamatan anu. Berdasarkan rumus anu itu, saya dengan bangga pasti menyebut Perkebunan Kopi Anu. Setelah bapak pindah perkebunan, baru nyebut, Perkebunan Cengkeh.  Kedua. Jelas saya suka kopi karena dari tahun 1991 sampai menyatakan pensiun tahun 2012 dari #radio, meskipun tetap masih bisa siaran mingguan, program radio saya selalu disponsori kopi. Ada beberapa merk kopi. D

DINDING PUISI 249

Gambar
DINDING PUISI 149  Atas tidak lolosnya dua puisi saya ke dalam 50 puisi unggulan lomba cipta puisi dalam rangka Hari Puisi Indonesia 2020, saya sudah komentari, "Biasa saja". Dan saya berharap yang lain berperasaan lega yang sama. Artinya tidak ada protes apalagi yang berlebihan, kepanikan dan kegelisahan seperti pada saat puisi saya yang lain tidak lolos antologi Pesisiran, Dari Negeri Poci (DNP). Sebab pada saat itu saya mempersoalkan, setelah lolos seleksi kesesuaian tema, seluruh puisi tentu akan berhadapan pada pengelompokan, karya penyair dan karya non penyair sesuai pengumuman panitia, yang saat itu tidak saya dapati kejelasan pembatasannya. Tentu saja, saya merasa berada di kelompok pertama. Kalaupun saya tulis di catatan Dinding Puisi sebelum ini pendapat Marlin Dinamikamto tentang suatu puisi yang tidak menang lomba, itu karena keinginan saya untuk menunjukkan adanya suatu pendapat yang demikian. Meskipun saya menggarisbawahi ada sedikit perbedaan pendapat dengan sa

DINDING PUISI 248

Gambar
DINDING PUISI 248 Dua puisi saya gagal masuk unggulan 50 besar dalam Lomba Cipta Puisi dalam rangka Hari Puisi Indonesia 2020. Tetapi tentu saja saya komentari, "Biasa saja". Semoga semua yang tidak lolos juga berkomentar yang kurang lebihnya sama. Tetap semarak puisi Indonesia, tetap percaya pada kerja puisi para penyair Indonesia. Tapi kalau milih terhibur oleh yang serupa dengan kata-kata Marlin Dinamikanto di akun facebooknya, "Puisi Wiji Thukul, Pablo Neruda, Bertold Brech tidak akan pernah menang apabila dilombakan dalam seni merangkai kata di Indonesia", bolehlah. Sah. Tulisannya itu saya komentari, "Juga puisi-puisi Rumi". Meskipun saya lebih cenderung pada pilihan kalimat, "belum tentu menang". Berikut ini dua puisi saya yang tidak lolos itu:  ALAMATKU  aku sedang susah payah berzikir kalau jadi datang, sudikah kau bersusah payah membuka pintu untuk menemuiku? atau tunggu sebentar aku benar-benar sedang menikmati zikir ini tentu tak bisa

DINDING PUISI 247

Gambar
DINDING PUISI 247  Dunia pandemi Corona dunia virtual. Dua kubu yang saling berhadap-hadapan menciptakan satu peristiwa dan keadaan. Tawuran yang gila antara virus jahat dan manusia-manusia yang terus bertahan hidup sehat dan selamat. Memang, pada awal-awalnya semua tidak percaya, apakah kita tetap bisa eksis memasuki wilayah virtual itu dengan propaganda jaga jarak dan stay at home? Bahkan dunia bisnis diwarnai transaksi on line yang melaju pesat. Juga diawali dengan pesimisme, apakah bisa mengatasi keadaan?  Setelah semua berjalan, subhanallah, kalaupun menyisakan tidak sedikit keluhan, karena ada kondisi yang jauh  beda serta harapan yang tidak tercapai maksimal, toh ruang virtual, ruang on line itu menjadi jembatan berlian yang sangat terlalu besar manfaatnya untuk dianggap sepele.  Dunia media sosial, akhirnya menjadi ruang terbuka paling merakyat. Mulai dari bisnis on line, promosi, hingga kebutuhan silaturahmi virtual, sampai semua orang punya hak yang sama, meskipun kenyataanny

DINDING PUISI 246

Gambar
DINDING PUISI 246 Satu dua pilihan katanya diubah, atau bentuk kalimatnya, karena mempertimbangkan pembaca setelan satu puisi dipublikasikan di media sosial. Bolehkah? Kali ini kita tidak lagi bicara boleh atau tidak boleh, karena hal itu pernah kita bahas. Tetapi bicara, mengapa?  Kadang seorang penyair tidak bermaksud menawarkan kemesuman sama sekali. Eksotisitas, erotisitas, dan seksualitas yang hadir pada puisi atau cerpen semata-mata suatu bentuk kenormalan belaka. Meskipun kenormalannya bisa berkembang. Yang agak tabu pada 20 tahun silam sekarang sudah tidak terlalu tabu, pun bisa terjadi sebaliknya.  Kenormalan yang berkembang di tengah masyarakat itu, di kalangan beragama tentu sudah merupakan bagian dari tafsir kitab suci. Analoginya, semisal prinsip jabat tangan pria-wanita yang bukan muhrim di suatu pesta hajatan rakyat atau kegiatan silaturahmi. Ada yang menafsir halal, ada yang menafsir haram. Pada kondisi demikian, yang tetap melakukan seremoni bersalaman masih suka salin

DINDING PUISI 245

Gambar
DINDING PUISI 245 Maksudnya inspirasi kostum kali Mas. Kan apa yang muncul di cat walk bisa bergeser ke suatu bentuk baru yang berangkat dari situ. Tapi bisa juga yang muncul saat itu viral di ruang khususnya. Di panggung atau acara tertentu misalnya. Kostum even kan tidak identik dengan pakaian harian. Dibilang bisa aneh-aneh, ya. Meskipun sekali lagi, karya sebentuk apapun bisa berbelok ke arah karya-karya lain yang terinspirasi dari situ. Termasuk melahirkan pakaian sehari-hari, pakaian pesta, atau untuk momen-momen yang nyambung.  Alinea awal ini adalah komentar saya atas senyam-senyum keheranan seorang teman di media sosial yang melihat kostum yang semakin neko-neko di atas cat walk. Tentu postingan pentas busana seperti itu bisa bersumber dari kegiatan kapan saja, terutama sebelum ada pandemi corona dan beberapa tahun silam. Selain tentu saja dari beberapa belahan dunia yang bisa mengadakan  acara fashion show dengan memperhatikan protokoler kesehatan.  Saya copy paste karena men

DINDING PUISI 244

Gambar
DINDING PUISI 244 Kita patut setuju pada pendapat yang menyebut, bersastra tidak harus berumit-rumit. Tidak perlu bangga memasuki kawasan yang semakin njelimet, yang berbangga pada "istilah-istilah intelek suatu ketika" yang masih sedikit orang tahu. Sebab maksud-maksud mencerahkan itu bisa tersemi melalui kalimat yang bersahaja dan terbuka. Semisal tubuh berdaster atau berkaos oblong. Bahkan yang terkesan seperti sedang bersuka-suka di suatu sore sehabis mandi, di beranda rumah. Meskipun kadang dicibiri sebagai sastra pop bahkan sastra hiburan. Padahal itu cuma rekayasa pendapat. Suatu hal yang boleh, tetapi bukan hal utama.  Maka tiba-tiba saya mau bicara puisi saya ini selintas: WARUNG HUJAN 3 ayo kemari  belajar filosofi kopi:  setelah menenangkan gejolak secangkir kopi di warung hujan  mengepulkan wangi matahari dan jika malam masih hujan kita mencucrup kehangatan bibir di cangkir bulan  berbisiklah tentang cinta asmara yang menggejolak maka kopi akan melahirkan lagu suk

DINDING PUISI 243

Gambar
DINDING PUISI 243 Seperti kerangka buku sementara sebelum diorak-arik, saya coba memeras energi kopi agar menjadi potensi hidup dan melahirkan puisi-puisi yang bekerja. Sebenarnya ini cara aneh yang jarang dipilih. Maka pada list pertama saya menulis, Tangis Kopi. Setelah itu berderet judul dan tema. Tapi tahukah anda? Pada ujung jari saya tiba-tiba tertulis lagi, Tangis Kopi, tanpa saya sadari. Itu artinya telah terjadi pengulangan tanpa bermaksud plagiat atas judul bikinan sendiri beberapa menit sebelumnya.  Apa yang saya kemukaan ini membuktikan bahwa pilihan kata, frase, tema, kalimat, gaya penekanan kalimat, bait, dst pada seseorang tidak mustahil bisa sangat mirip bahkan sama persis dengan penulis lain. Itu tanpa disadari. Tetapi meskipun demikian, berdasarkan pengalaman akan nampak jelas seseorang yang jujur pada totalitas proses kreatif dan ekspresinya. Sebab dia akan sangat kuat di posisinya, justru bukan karena ngotot berargumentasi, tetapi mengandung ketepatan-ketepatan yang

DINDING PUISI 242

Gambar
DINDING PUISI 242 Penyair baru ledakan baru? Memang rumus matematikanya tidak selalu demikian. Namun tidak mustahil bisa demikian.  Awalnya, saya tertarik nulis selintas tentang ini karena Atep Kurnia di akun media sosialnya mengekspose foto penyair Sunda, Godi Suwarna yang dimuat majalah Sunda, Mangle edisi 5 Juli 1979 yang bertuliskan, "pangarang entragan anyar anu motekar" (pengarang unggulan baru yang melesat populer).  Pada tulisan sebelum ini saya sudah menulis tiga pihak yang berkepentingan dengan kegiatan tantangan menulis setiap hari yaitu, kelompok pertama, pihak yang masih awam menulis tapi tertantang untuk terlatih. Kelompok kedua, pihak yang sudah lancar menulis tetapi perlu menguji kadar produktifitas menulisnya sekaligus ketajaman berkaryanya di tengah target atau pesanan. Apalagi merasa harus berkontribusi karena tertantang juga oleh 'pesanan tema even' yang diikutinya. Kelompok ketiga, yang memanfaatkan ruang tantangan itu untuk menabung karya atau un

DINDING PUISI 241

Gambar
DINDING PUISI 241 Anda sudah melewati berbagai rintangan dan sekarang tengah bersyukur merasa lebih aman dan nyaman? Atau, sebaiknya anda sedang asyik menjalani sebuah tantangan sebagai pembelajaran menghadapi rintangan? Sebab guru dan orang tua kita dari dulu suka bilang, pengalaman adalah guru yang terbaik. Menjalani tantangan adalah proses berpengalaman. Sehingga kelak di tengah berbagai rintangan, buah pengalaman-pengalaman itu akan efektif bekerja dengan sendirinya.  Dalam dunia tulis-menulis, tantangan identik dengan proses berlatih intensif dan terarah. Terus-menerus dan terukur. Bahkan sekelas sosok Profesor Puisi, Sapardi Djoko Damono sangat ihlas menyebut masa lalunya, "ketika mulai belajar menulis puisi".  Dalam dunia motivasi, proses belajar itu seumur hidup. Sehingga setiap berhadapan dengan rintangan selalu kita komentari, "ini cobaan, anggap tantangan". Maksudnya, proses melintasinya adalah tabungan ilmu di masa depan. Bahkan ketika Arswendo Atnowilot