Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2021

DARI BUKU ANTOLOGI PUISI TULIS TANGAN SATRIO PININGIT

Biodata Penyair Nasional pengisi Antologi Tulisan Tangan Penyair : 1. Andrie Bucek,  seorang penyair menyembunyikan diri, diketahui berasal dari Lombok Nusa Tenggara barat. 2. Winar Ramelan lahir 5 Juni di Malang, sekarang tinggal di Denpasar Bali. Narasi Sepasang Kaos Kaki (2016) adalah judul buku kumpulan puisi pertamanya. Pada bulan November 2015, Winar bergabung dengan grup Dapur Sastra Jakarta (DSJ), dan sejak itu karya-karya Winar pun mulai muncul di grup DSJ di media sosial Facebook. Sebelumnya Winar sudah terlebih dahulu aktif di grup Kumandang Sastra Semarang (KuSaS) dan beberapa kali puisinya dibacakan oleh Didiek Soepardi (pengasuh KuSaS) di RRI Semarang dalam acara Kumandang Sastra. Beberapa karya puisinya pernah dimuat di harian Denpasar post dan Bali Post,  konfrontasi.com , Sayap Kata, Dinding Aksara dan Detakpekanbaru.com. Saat ini menjadi penulis tetap pada majalah Wartam, sebuah majalah dengan konsep Hindu dan budaya Bali 3. Rg Bagus Warsono,  penyair kelahiran Tegal

FOTO BUNGA Gilang Teguh Pambudi

Gambar

DINDING PUISI 278

Gambar
DUNDING PUISI 278 Kapan literasi sastra dianggap gagal? Tentu karena sastra berkaitan dengan menghasilkan karya sastra, baik lisan maupun tulian serta adanya masyarakat yang memahami maksud karya sastra melalui mendengar atau membaca, maka hal pertama yang selalu akan kita ukur adalah sukses adanya sastrawan dan masyarakat pencinta sastra. Tentu disertai prinsip-prinsip semakin berkualitas para sastrawan dan semakin cerdas masyarakat sastranya, termasuk cerdas karena berkesadaran tinggi atas karya-karya sastra, maka semakin sukseslah lierasi sastra di negri itu.  Jika sebaliknya dari itu kita akan melihat titik atau wilayah kegagalan. Misalnya jika ditemui sedikit sastrawan di situ atau tidak berkualitas sastrawan dan karyanya. Selain itu ditemui masyarakat yang tidak melek sastra, bahkan yang suka baca karya pun tidak terlalu memahami fungsi sastra. Tentu ini menunjukkan jauh dari minat baca sastra yang tinggi. Apakah dengan banyaknya jumlah penulis dan banyaknya karya sastra yang lah

DINDING PUISI 277

Gambar
DINDING PUISI 277 Siap. Om, Mas, Mbak, Jeng, dan seterusnya. Deklamator adalah juga orang yang piawai mendeklamasikan pesan. Atau mendeklamasikan maksud-maksud di dalam pidato, baik spontan-lisan maupun membaca naskah, secara optimal. Artinya, deklamasi adalah totalitas ekspresi ketika menyampaikan kata dan kalimat baik dalam pembacaan puisi maupun pidato.  Coba kita urut. Pertama, baca puisi untuk diri sendiri sekedar memahami isi. Kedua, baca puisi untuk orang lain (penonton atau pendengar #radio-kaset-cd) untuk mengajak memahami isi. Ketiga, baca puisi untuk pihak lain di atas panggung untuk mengajak memahami isi puisi. Keempat, di atas panggung membaca puisi dengan ekspresif, menghalalkan gerak besar seperti mengangkat tangan tinggi-tinggi, lalu dari berdiri ke jongkok atau sebaliknya dari duduk ke berdiri, gerak berjalan ke sisi lain panggung,, dll. Kelima, baca puisi seperti poin keempat tetapi pada posisi dan gerak tertentu bisa terjadi lepas naskah. Keenam, masih menggunakan ca

DINDING PUISI 276

Gambar
DINDING PUISI 276 Kalau ada yang mengkritisi dengan kalimat cenderung mencemooh, "Prinsip, teori dan ulasan sastranya bagus tetapi karyanya buruk", bersabarlah. Dia lupa bahwa bagi seorang penyair yang kuat kepenyairannya, meskipun menulis : //ini Budi// ini bapak Budi// maka derajat sastranya akan terpengaruh eksistensi dirinya, sebagai hadiah kepercayaan, selain segaris dengan apresiasi sastra pada layaknya. Tidak beda dengan goresan pelukis handal yang terpercaya. Popularitasnya bisa mengakibatkan coretan-coretannya yang kadang belum jadi dan sepintas nampak asal-asalan masih bernilai sangat mahal.  Kita percaya. Kalau ada. Coretan yang belum jadi dari maestro pelukis semisal Affandi, banyak yang mau menampungnya. Banyak pengamat sudi membicarakannya. Kalau dilelang, banyak yang mau beli. Termasuk untuk program amal, penggalangan dana kemanusiaan.  Pada Rendra kita mendapati tidak sedikit karyanya yang sangat memikat dengan berbagai alasan yang kuat. Tetapi tidak sedkit ju

DINDING PUISI 275

Gambar
DINDING PUISI 275  Lumayan seru. Khusus dalam pembicaraan untuk siaran acara RESO di Banyuwangi-TV topik Guru Hebat Guru Berkarya, Viefa sebagai host bicara-bicara dulu tentang pembacaan puisi oleh saya. Kan emang lagi viral. Di masa pandemi corona ini justru banyak inspirasi kegiatan yang dilakukan jarak jauh, baik siaran langsung maupun rekaman. Akhirnya kami sepakat, saya kirim video baca puisi pendek.  Pertanyaannya, mengapa dan ada apa dengan puisi pendek? Saya katakan, puisi pendek itu serupa KOJO dalam bahasa Sunda. Kalau dalam permainan, kojo adalah sosok andalan yang selalu diturunkan atau dimainkan karena sering mendatangkan kemenangan atau setidaknya menyelamatkan permainan. Menyelamatkan hargadiri. Masalahnya, ketika orang-orang sibuk dengan Haiku  ---puisi pendek yang dipengaruhi sastra Jepang itu, seolah-olah justru kitalah yang selama ini tidak kenal puisi pendek. Maka terketuklah saya untuk memulung khazanah sastra Indonesia dengan membuat grup Puisi Pendek Indonesia. B

DINDING PUISI 274

Gambar
DINDING PUISI 274  Viefa, penulis puisi, aktivis literasi, dan pembawa acara TV (Banyuwangi-TV) sudah lama diskusi dengan saya tentang program on air #radio dan program TV. Selain itu juga diskusi sastra dan teater. Tentu banyak materi yang menarik. Salahsatunya mengenai subyektifitas penjurian dalam lomba baca puisi. Berikut ini sepenggal rangkuman obrolan kami: Viefa: Dalam baca puisi itu gimana menurut Mas Gilang? Lebih suka yang polos atau dengan totalitas ekspresi?  Gilang Teguh Pambudi: Definisi penyair itu orang yang berbakat dan konsisten menulis atau melisankan puisi sebagai bagian dari proses kreatif dalam hidupnya. Dari komunitas penyair ini akan muncul dua model pembaca puisi. Pertama, penyair yang membaca puisinya untuk sekadar menyampaikan pesan puisi. Yang tidak bisa dicap sebagai teknik baca puisi yang buruk. Kedua, penyair yang ekspresif eksploratif, yang menunjukkan cara baca dan ciri baca yang khas, ekspresif, dan punya banyak daya pukau. Penuh totalitas interpretasi

DINDING PUISI 273

Gambar
DINDING PUISI 273 Waktu saya usia kanak-kanak, mungkin juga anda, suka baca koran minggu atau rubrik mingguannya yang memuat cerita dan komik untuk anak-anak. Bahkan ada ruang puisi dan ruang gambar yang memuat karya anak-anak. Meni seru pisan. Kalau sudah keluar kalimat, "Aku juga bisa bikin yang begini", itu bukan ledekan. Ledekan kok dibaca dan disenangi? Itu hal biasa di dunia anak-anak. Artinya, kita juga punya kemampuan itu. Tinggal nunggu teguran, "Bisa membuktikannya?"  Sebuah pertanyaan bisa tiba-tiba menyelisik pada anda saat ini. "Apakah anak SD yang menulis puisi di rubrik puisi anak itu seorang penyair?" Ayo kita jawab semisal, "Masabodo. Yang penting mereka hebat!" Saya sendiri tidak mengalami itu. Mulai rajin nulis kelas 1 SMP dan baru mulai dimuat koran kelas 1 SMA.  Belakangan ini semarak anak nulis di koran dan majalah turun drastis. Sayang sekali memang. Untung masih ada kabar yang lumayan melegakan. Misalnya remaja-remaja usia

DINDING PUISI 272

Gambar
DINDING PUISI 272 Gini, Sob. Bolehlah ini dianggap rahasia atau "rahasia cerdasnya". Disebut rahasia karena di sini daya pikatnya bagi siapapun yang belum tahu. Nilai edukasinya bagi pemula. Padahal setelah seseorang tahu, dia tidak akan menyebutnya rahasia. Kecuali ia akan mengulanginya lagi kepada yang belum tahu, "Kenali rahasianya". Anda sendiri berani bayar saya berapa dengan membuka ini? Haha. Kalau paragraf ini gak saya teruskan pasti gak ada yang nemu jawabannya. Sastra lisan dan sastra tulis biasa diletakkan pada wacana sejarah sastra di Indonesia. Itu masih sering jadi pemberitahuan guru di sekolah-sekolah menengah saat ini. Saya sendiri sudah lama asyik menempatkan keduanya sebagai proses kreatif yang senantiasa inspiratif, tak lekang oleh waktu. Dalam banyak waktu saya suka melakukan hal serupa ini, memanggil dua-tiga anggota teater, lalu seakan-akan menggaris di tengah arena latihan. Saya katakan, "Ini batas kali. Tema kita, KALIMATI. Mulailah deng

DINDING PUISI 271

Gambar
DINDING PUISI 271  Kalau saja bukan era media sosial (medsos), peristiwa ini mustahil terjadi. Saya kemarin tiba-tiba harus menulis status di beranda medsos, "Bukan soal kasta atau kelas. Sederhananya, menyuarakan yang tidak terlalu disuarakan. Termasuk dengan cara yang mungkin beda. Tidak harus selalu soal pinggiran atau marginal".  Aktivis sastra Hasani Hamzah spontan berkomentar, "Ya. Sepakat". Dan yang unik teman dari Surabaya yang asal Banyuwangi berkomentar, "Menyuarakan dengan nada fals mungkin itu yang paling didengar".  Pertama saya mau bilang, mengulang nasehat lama. Status adalah dirimu, maka berhati-hatilah menulis status. Demikian pula foto profil adalah dirimu, sebagai avatar sekalipun. Maka super hati-hatilah pada doa atau peryataan tentang dirimu. Kedua saya mau bilang, status saya itu adalah kegelisahan yang normal, universal. Bicara politik kebudayaan, tidak cuma bicara siapa kawan siapa lawan. Sebab hidup dalam naungan satu Pancasila dan

DINDING PUISI 270

Gambar
DINDING PUISI 270 Benar, Kawan. Permainan bunyi bukan hal utama bagi proses persajakan. Terlebih pengalaman kita menunjukkan, ketika suatu puisi dialihbahasakan ke bahasa asing, akan sangat sulit mendapati suasana permainan bunyi yang sama atau seimbang. Yang sering terjadi sebatas pemindahan pesan inti ke bentuk puisi berbahasa baru dengan unsur persajakan lain, semisal perlambangan yang serba masuk akal. Universal.  Tapi benarkah permainan bunyi benar-benar tidak prnting? Ini nampaknya mesti kita luruskan juga. Di satu sisi, puisi yang cuma menonjolkan permainan bunyi malah sering terjebak. Alih-alih jadi indah, seringkali malah tertangkap sebagai pemaksaan bunyi. Memang. Jadi tidak natural. Pada bentuk lain, permainan bunyinya pas, tetapi terasa monoton karena seperti kebiasaan yang cuma menguras energi, kehilangan kemunculan penguatan-penguatan pesan dengan cara-cara lain, semisal mencari frase, penguatan istilah populer, atau penemuan istilah baru yang semakin tajam. Di sisi lain,

DINDING PUISI 269

Gambar
DINDING PUISI 269  Aktivis literasi itu menjajakan kata, tulisan dan buku-buku ke mana-mana. Ke perpustakaan, ke taman bacaan, ke komunitas-komunitas, ke sanggar-sanggar, ke spanduk, ke poster, ke siaran radio, ke berita TV, ke lirik lagu, ke semua orang. Benar. Tapi tidak harus seorang penulis ia.  Dalam sukses literasi menawarkan bacaan, aktivis literasi itu bisa menjajakan buku sastra, buku ekonomi, buku agama, buku pertanian, buku teknik mesin, buku politik, buku peternakan, buku tata kota, buku lingkungan hidup, buku transportasi, buku UMKM, buku cara membuat topeng kertas, dan buku apapun. Maka kalaupun ia akan jadi penulis, ia bisa jadi penulis apapun. Termasuk bicara obyek wisata dan penanggulangan sampah. Tentu, juga halal bikin antologi puisi dan novel.  Ini perlu ditegaskan karena ada pada sebagian masyarakat, bahkan di kalangan peminat sastra, pemahaman bahwa sukses literasi itu artinya gemar baca buku sastra di satu sisi, dan mampu menulis sastra di sisi lain. Tentu ini ra

DINDING PUISI 268

Gambar
DINDING PUISI 268 Jadi senyum-senyum. Teringat waktu nulis cerpen-cerpen remaja dulu, waktu saya masih berseragam SMA. Saya biasa memberi nama-nama tokoh dalam cerpen dengan menggunakan nama teman-teman sekelas atau satu sekolahan. Sampe kebayang ketika cerpennya dimuat koran. Suka dibaca teman-teman secara bergiliran. Dan mereka tertawa-tawa baca nama-nama tokohnya. Ujung-ujungnya korannya sobek atau hilang. Haha. Yang paling sering kesebut, Asep Barnas Sugiri Si Dalang Cilik dan Budi Setia Baskara yang sekarang Wakil Kepala Sekolah SMA itu.  Malam ini saya ngecek lagi buku DINDING PUISI INDONESIA yang berisi 100 catatan pertama serba-serbi dunia puisi yang biasa dimuat di grup FB Dinding Puisi Indonesia, lalu biasa disebarkan melalui beranda akun saya, grup Puisi Pendek Indonesia dan grup Lumbung Puisi. Ternyata serupa tapi tak sama, pada catatan ini banyak nama teman yang muncul selain nama-nama lain yang muncul karena ketokohan, jabatan, dan pengaruhnya. Tentu, ada yang disebut sek

DINDING PUISI 267

Gambar
DINDING PUISI 267 Jika ada potensi penting, cepat panggil pulang! Kita jadi teringat potensi BJ Habibie yang dulu dipanggil oleh presiden Soeharto untuk balik kandang, jangan jadi ilmuwan pesawat terbang di Jerman. Dan nyata, di Indonesia ia jadi pawang pesawat terbang dan Menristek, sebelum jadi Wakil Presiden lalu Presiden.  Memang bisa begitu. Terutama untuk potensi kebanggaan negri ini yang masih berkiprah di luar negri. Untuk pulang dan bikin sukses di dalam negri. Tetapi untuk skala nasional adabnya tidak selalu begitu, bisa lain. Penyair asal Ambon yang sukses dan domisili di Jakarta tidak wajib ditarik ke daerah asalnya kalau mau memajukan dunia sastra di sana, sebab dari Jakarta pun bisa. Maksudnya, tanpa pindah alamat rumah pun koordinasi untuk itu masih bisa dilakukan. Saya ambil satu misal. Jika ada penyair kelahiran Tasik Malaya atau yang pernah aktif berkiprah di Tasik Malaya, sudah lama domisili di Bandung atau Jakarta bersama anak istrinya, maka untuk mendukung sukses s

DINDING PUISI 266

Gambar
DINDING PUISI 266  Benarkah pendapat yang menyebut banyak penulis sastra sudah sejak lama ngumpul di kota-kota besar tertentu, atau pindah ke daerah lain dari daerah asalnya, baik untuk sementara maupun untuk selamanya, sehingga sulit merepresentasikan daerah atau kabupaten asalnya, juga tidak bisa masuk dalam data penulis di kabupaten asalnya? Benar. Sehingga sebuah kabupaten tidak mungkin mengirim penyair tersebut sebagai utusan di suatu forum sastra tingkat propinsi atau nasional, baik yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah atau kepanitiaan yang dibentuk dan difasilitasi oleh lembaga pemerintah maupun swasta, ketika penyair yang dulu dikandungnya sudah tinggal di tempat baru dan beralih KTP. Bahkan tanpa pindah KTP pun akan menyulitkan pendeteksian sepak terjang penyair itu sebagai potensi lokal meskipun selalu sebagai aset nasional, bahkan dunia. Apalagi kalau ditilik dari keterlibatannya pada kegiatan-kegiatan sastra lokal di daerah asalnya, otomatis dia sudah cenderung terp

DINDING PUISI 265

Gambar
DINDING PUISI 265 Dalam genre puisi Indonesia berdasarkan pembagian waktu, kita mengenal istilah puisi lama, puisi baru dan puisi modern. Pada puisi modern merujuk pada puisi bebas, yang tidak terikat menurut jumlah baris, kalimat, sukukata, maupun tema. Tetapi meskipun demikian belakangan ini marak puisi-puisi dengan pembatasan-pembatasan, baik jumlah baris, kata maupun suku kata. Ada yang bagian dari puisi populer di masa lampau, ada pula yang sebenar-benarnya temuan atau rekayasa baru. Bicara sosl rekayasa yang meupakan bagian dari kebebasan berekspresi ini, kita boleh mengritik sementara pihak yang mengaku-ngsku manusia peduli sastra tetapi menyebut, "puisi tidak bisa diutak-atik semaunya". Alangkah otoriter bahkan kejam dia. Yang juga mengingatkan kita pada pendapat, ajaran agama itu tidak boleh ditafsir, padahal yang lurus itu boleh ditafsir secara benar. Bagaimana mungkin untuk suatu proses beragama yang benar, seorang penyair yang selalu dituntut masyarakat sebagai ca

DINDING PUISI 264

Gambar
DINDING PUISI 264 Menulis buku bagus itu tidak mudah. Menulis dengan tema-tema yang paling membeli kebutuhan baca, kebutuhan pengetahuan, dan kebutuhan pencerahan masyarakat itu tidak mudah. Lebih tidak mudah lagi konsisten menjadi penulis atau menjadi penulis yang rajin menyosialisasikan tulisan atau pesan-pesan tulisannya. Iya kan? Kalau di satu kabupaten ada 1000 penulis buku yang bagus yang karyanya mampu membeli minat masyarakat, menurut saya itu jumlah yang masih sangat sedkit. Sehingga tidak perlulah kita takut bersaing jika di sekeliling kita ada puluhan penulis. Meskipun kita akan segera ngintip data, benarkah bisa tercapai angka 1000 penulis bagus di satu kabupaten itu? Padahal kalau tercapai, itu ibarat kelompok diskusi yang melibatkan masyarakat luas melalui 1000 cara dari berbagai buku yang diterbitkannya. Bisa buku cerpen, novel, kumpulan puisi, esai senibudaya, dst.  Kalau yang seribu penulis itu tercapai, berapa banyak yang konsisten sebagai penulis dan konsisten sebaga

DINDING PUISI 263

Gambar
DINDING PUISI 263 Sekelompok orang pinter unjuk aksi, bikin arena puisi, panggung puisi, seksi dan penuh sensasi. Setelah beberapa orang naik panggung atau muncul di tengah arena baca puisi, dengan penonton dari pencinta sastra yang antusias, mereka inipun ditonton, serupa pertunjukan bagi masyarakat umum yang lewat dan bergerombol-gerombol. Sebut saja jika salahsatu peristiwanya di suatu obyek wisata kota. Mungkin kita jarang bicara ini. Pertunjukan dan penontonnya, yang keduanya ditonton orang banyak. Semacam bintang panggung dan komunitas penontonnya yang eklusif, apalagi pakai atribut komunitas, yang ditonton orang-orang. Itulah aura yang bisa kita rasakan pada binar-binar mata yang melihat kegiatan sastra atau baca puisi di tengah publik. Sehingga sungguhpun ada beberapa puisi yang samasekli tidak dimengerti oleh tidak sedikit pengunjung arena taman, meskipun sudah dibacakan dengan pembacaan yang tepat dan pembawaan penuh ekspresi, toh mereka tetap anteng, menikmati ---dalam ketid

DINDING PUISI 262

Gambar
DINDING PUISI 262 Tulisan di media sosial yang terbaca seperti lontaran sekenanya, dengan komentar-komentar sekilas yang juga seperti pendapat sekenanya tidak semuanya tidak menarik. Bahkan menurut saya tidak sedikit yang berbobot, berisi. Atau setidaknya seru untuk jadi pembuka diskusi selanjutnya di berbagai forum.  Malam saat menulis catatan singkat ini saya sedang terus teratarik pada tulisan dan komemtar di akun sosial FB siang tadi. Yang mana? Yang ditulis oleh Endah Trimulyati, "Puisi hanya berputar di kalangan penulis puisi. Apakah puisi kurang nikmat untuk diminati?" Berikut ini saya ambil sedikit dari komentar-komentarnya: 1. Lilis Daryani: Puisi bagiku seperti mkanan sehari-hari.. 2. Prasetya Utama: Tergantung...manusia dan masyarakat selalu berubah.... 3. Wardjito Suharso: Orang awam tidak mau pusing baca puisi yang tidak jelas maknanya. Puisi2 prismatis dengan diksi simbolik, metaforik, sangat sulit dipahami oleh otak yang sudah terbiasa berpikir linear dan pragm