Postingan

Menampilkan postingan dari Juni, 2019

KITA ANAK CUCU PUJANGGA

CAHAYA SUBUH cahaya subuh yang menyinari hari Kemayoran, 24 06 2019 ---- SEMBILAN sembilan hidup bukan sembilan mati Kemayoran, 22 06 2019 ----- TAJAM PADI menghunjam   dalam   matamu tajam    padi    Kemayoran, 23 06 2019 ----- #nalikan #puisi3252 #puisipendekindonesia ----- Antologi puisi bersama ACP (Anak Cucu Pujangga) akhirnya sampai juga di Kemayoran. Berisi puisi-puisi dari 28 penulis. Ditetbitkan oleh, Penebar Media Pustaka, Yogyakarta. Tentu saya ucapkan terimakasih kepada penggagasnya dari Lumbung Puisi, RgBagus Warsono. Dari awal saya memandang, tema Anak Cucu Pujangga adalah istilah yang universal. Bahwa sesungguhnya dalam adab hidup berprikemanusiaan, kita ini, siapapun, senantiasa berterimakasih kepada para pujangga terdahulu yang telah banyak memberikan pencerahan baik melalui karya atau melalui sikap dan pendapat-pendapatnya yang tercatat sejarah. Oleh sebab itu saya telah menyertakan puisi yang searus-dalam dengan itu. Berjudul, Aku Cerita Le

DINDING PUISI 1 - 10

Selamat menikmati 10 catatan pendek saya di media sosial facebook, berbentuk komentar, yang ditulis sejak 16 Juni hingga 24 Juni 2019. Yang telah disosialisasikan juga di tiga grup: Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia, Puisi Pendek Indonesia, dan Dinding Puisi Indonesia. ----- DINDING PUISI 1 Ya. Meskipun sulit menemui standarisasi menulis puisi yang bagus itu. Yang ada, seseorang sudah menulis sesuai kaidah yang benar menurut teori perpuisian. Baik teknis menumpahkan puisinya, maupun hukum universalitas sastranya. Tapi memang, berdasarkan keberangkatan umur, seperti dibilang Rendra, "tulisan seseorang semakin bertambah waktu mesti semakin matang". Sebab kesaksian, kesadaran, dan ruang pertimbangan menulisnya lebih banyak. Sehingga tubuh puisi bisa lebih padat, meskipun puisinya panjang. Bagaimana nasib puisi pada sebuah lomba? Pada awalnya memang cuma dilihat kesesuaian tema dan persyaratan teknis lainnya, yang biasa disebut seleksi awal. Lalu memeriksa detil-detil keungg

186, ANGKA PENYAIR YANG HILANG

NALIKO kulempar sauh dari dunia tumbuh Kemayoran, 31 10 2015 --- SUATU suatu itu aku membeli waktu Kemayoran,  01 06 2019 --- TAHU padamu tahu saksi pencuri itu Kemayoran, 07 06 2019 Nalikan, puisi pendek 3-2-5-2 ------ Ini kalimat pertama di media sosial facebook yang saya dapati. Bersifat terbuka dan meriah. Promo yang bombastis dan menjanjikan dari Komunitas Negeri Poci. Coba kita cermati lagi kalimatnya baik-baik, "PARA PENYAIR DAN YG BUKAN PENYAIR, SEMUA DIUNDANG !!!  AYO IKUT PESISIRAN (NEGERI PESISIR, DARI NEGERI POCI 9). Langsung saya terpikat oleh tema, Pesisiran atau Negeri Pesisir. Sungguh sangat memikat hati. Sebab meskipun saya bukan orang yang domisili dekat daerah Pesisiran, tetapi sejak kelas 4 SD hampir tiap tahun wisatanya selalu ke laut, Palabuhan Ratu. Bahkan selama sekolah sering kemping di tepi laut itu. Ditambah lagi saya menyukai kisah-kisah dan berita menarik seputar kehidupan di pesisiran. Bahkan bicara Wisata Sastra. Berupa diskus

NEGERI POCI MENOLAK POLITIK KEBUDAYAAN

NEGERI POCI MENOLAK POLITIK KEBUDAYAAN ----- POLITIK KEBUDAYAAN   ini politik kebudayaan  ada firman Allah yang dimenangkan Kemayoran, 2018 Dari 8 puisi saya yang Tidak Ada Di Pesisiran  ------ Saya awali tulisan ini dengan spirit kehati-hatian yang penuh, sekaligus mengingatkan jangan salah tafsir. Sebab puisi saya di awal tulisan ini memang berjudul, Politik Kebudayaan. Puisi itu tertolak dari pemuatan puisi dalam Antologi Puisi Pesisiran, Dari Negeri Poci (DNP), 2019. Maka saya memberi judul untuk tulisan ini, Negeri Poci Menolak Politik Kebudayaan. Itu saja. Semoga terang benderang. Selanjutnya saya akan mengajak pembaca memahami modal awal, apresiasi sastra yang lurus. Yang bercahaya atau mencerahkan. Yang mendasari kebebasan masyarakat (kurator), termasuk penyairnya, dalam mengapresiasi suatu puisi. Saya tahu, keresahan masyarakat (kurator) di depan para penyair yang sewaktu-waktu atau sering membicarakan puisinya sendiri. Pertama, ketika ada penyair terjebak ke dalam

SAYA SEDANG DISIDANG

MENGGEMA GEMURUH dari dalam kerumunan manusia, seperti sedunia aku melompat seperti dari lingkaran menuju halal pasir yang lain sebab ada yang keblinger mengutuki rumah Allah mulutku melantunkan huruf terakhir dari Muhammad  "Dal! Dal! Dal!" Tubuhku mental-mental  ombak-ombak kewarasan, selalu kewajaran ubun-ubun kontruksi pembangunan  keselamatan, keadilan dan kesejahteraan  ----- politik, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan,  pariwisata, pertahanan keamanan, pancasila, tata kota,  lingkungan hidup, pertanian, kesehatan, dan semuanya ------ kau bilang rambutku dijambak angin kubilang rambutku membelai langit "Nun! Nun! Nun!" Aku teringat puisi pendek Indonesia: 'dalam bahasa nun mati artinya hidup!' kurengkuh pasir, kueja, plastik-plastik telah merenggut indahnya ada juga kondom sisa penyelundub semalam yang masih hangat dan kejam pecahan botol minuman keras  juga uang recehan wangi nelayan, jelas tidak bau korupsi  gerombolan teater

JATUH DI NEGERI POCI

TARIAN LUKA BAWAH TANAH bukan, bukan persiapan menunggu perang nuklir atau senjata kimia atau senjata biologi bukan, bukan karena senjata sudah diarahkan nuklir dan senjata kimia sudah diposisikan bahkan senjata biologi tinggal ditebarkan tapi, dalam jurus-jurus silat   kita mengendus dari bawah tanah proses pembunuhan sudah dimulai meskipun tidak selalu menguburkan nyawa  ritual penyiksaan sudah dijalankan  meskipun atas nama kemanusiaan dan kesejahteraan orang-orang sudah diracun oleh teori-teori kebusukan yang dibalut keindahan virus-virus jahat menguasai darah setelah disuntikkan dan disemprotkan oleh semangat kekebalan dan kita membacanya dari bawah tanah dalam bahasa suci mata air kehidupan  menggeliat menciptakan kekuatan terus memperkuat pertahanan dan perlawanan mendidik api di batu-batu pengajian  menarik dan mengendalikan angin diam-diam  lalu sejak kapan kau lupa menyebut gerakan bawah tanah telah berakhir? ok! kau cuma butuh menyebut,  ini tarian

HEBOH PUISI DI DINDING SONI

POLITIK KEBUDAYAAN  ini politik kebudayaan ada firman Allah yang dimenangkan Kemayoran, 2018 Dari 8 puisi saya yang Tidak Ada Di Pesisiran, cannadra.blogspot.com ------ Puisi Politik Kebudayaan adalah salahsatu puisi yang tertolak dari antologi puisi Pesisiran, Komunitas Dari Negeri Poci (DNP). Padahal sudah saya niatkan sebagai salahsatu puisi pendek atau puisi singkat saya yang sangat kuat posisi strategisnya di antologi ini. Karena menurut saya, setiap puisi dalam antologi bersama sebaiknya selain keikutsertaanya sesuai dengan tema dan sebenar-benarnya berupa 'puisi jadi', sebaiknya mengandung kekuatan, daya pikat, dan ketajaman kerja puisi. Tapi biarlah soal ditolak itu. Mau apa lagi? Sudah jatuh keputusannya. Meskipun masih saya perdebatkan. Bahkan bersama 7 puisi lainnya akhirnya sudah dimunculkan oleh website Gerakan Masyarakat Gemar Membaca, sebagai puisi yang kualitasnya tidak bermasalah, dan tentu saja dimuat blog saya, cannadrama. Bahkan pada waktunya akan sa