Postingan

Menampilkan postingan dari Juli, 2020

DINDING PUISI 200

Gambar
Catatan ini saya buat di hari yang disebut-sebut Hari Puisi Indonesia, 26 Juli. Dan saya tidak sedang siaran Apresiasi Sastra di #radio.  Kalau saya sedang siaran di radio, backsound saya angkat lalu pelan-pelan saya tarik turun. Begitulah self operating. Lalu saya bilang, "Pendengar,  kalau anda sedang bersama saya di sini, coba lihat. Dia naik panggung. Melakukan kebiasaan yang gak penting, mengetuk-ngetuk mikrofon. Mengucap salam. Sedikit membuang waktu dengan pelan melipat ujung kemejanya. Senyum alakadarnya kepada angin malam yang dingin di bawah lampu panggung. Lalu mengangkat sebuah buku. Dia bilang, "Teman-teman, sebuah puisi akan saya bacakan. Dari sebuah antologi Komunitas Laut yang saya dapat dari seorang kenalan. Dia dapat dari anggota komunitas itu yang masih hidup. Puisi ini ditulis oleh seorang penggiat sastranya yang sudah meninggal dalam suatu tragedi bencana alam. Puisi yang menggetarkan. Dan maafkan saya karena tiba-tiba sedikit bergetar dan merasa seperti

DINDING PUISI 199

Gambar
Minggu ini Nana Sastrawan yang membagikan tulisannya di grup FB, Hari Puisi Indonesia, yang menyebut berinvestasi, untuk sebuah proses kreatif berkarya sastra. Dan saya langsung mengamininya. Sebab itu benar.  Setidaknya dua hal bisa kita iya-kan. Pertama, seperti yang sering saya sebut, yang juga disosialisasikan oleh penggiat sastra dan sesepuh Lumbung Puisi, RgBagus Warsono, membuat karya sastra itu minimalnya yang tinggi adalah pengarsipan karya intelektual berupa buku sastra, atau buku senibudaya. Sehingga bukan masalah seberapa banyak dicetak atau diedarkan, itu soal berikutnya, yang terpenting pada tahap pertama dan utama adalah karya itu terarsipkan dengan baik. Jika diterbitkan oleh komunitas, terarsipkan di sekretariat komunitas itu, atau di seluruh aktivisnya. Kalau melalui lembaga penerbitan, minimal terarsipkan di perpustakaan nasional, di penerbit, dan di komunitas penulisnya. Selebihnya di sebanyak-banyaknya warga masyarakat, komunitas sastra atau komunitas seni, perpust

DINDING PUISI 198

Gambar
Pagi-pagi setelah mengunggah tulisan Dinding Puisi 197 saya melihat Shiny Ane El'poesya (Prince el) menulis di akun FB-nya, "Pada titik tertentu Sapardi itu dilebih2kan. Kalau kita baca tuntas buku puisi Hujan Bulan Juni, di sana lebih banyak puisi jelek!". Lalu beberapa orang segera berkomentar, salah satunya Indra Intisa yang menyebut, "Hujan Bulan Juni adalah puisi sepilihan dari buku-buku yang pernah ia terbitkan".  Seraya senyum tenang saya pun ikut komentar, "Menggunakan dalil puisi jelek pada puisi yang senyatanya sudah jadi menurut ukuran sahnya sebuah puisi, serta kelayakannya lahir dan hadir di tengah adab nanusia, itu tidak mungkin. Kecuali masalah selera. Kecuali kalau yang dimaksud adalah penyikapan berlebih-lebihan terhadap karya-karya tertentu dan aspek pribadi penulisnya, secara awam itu mudah ditemui iya dan tidaknya. Bahkan ada juga yang memuji-muji cuma karena "profesornya", diacung-acungkan menjadi, "profesor puisi".

DINDING PUISI 197

Gambar
Menulis puisi pendek, tidak lebih dari 12 baris/larik. Bahkan cuma 3-4 larik. Adalah kenyataan yang banyak dilakukan penulis puisi belakangan ini. Terutama di media sosial. Apapun nama puisinya. Kalau yang berupa ciptaan baru, ada yang diberi nama ada yang dibiarkan bebas begitu saja. Secara umum cukup disebut, puisi pendek. Saya sendiri mulai menulisnya sejak tahun 1998, lalu mulai membacakan puisi singkat ala SMS di #radio sejak awal tahun 2000-an, lalu pertama kali menulis #Nalikan, puisi pendek berpola 3-2-5-2 atau 3-2-5-(1,2,3,4,5,6,7,8,9), Juni 2015. Mengapa orang-orang demikian asyik menulis puisi pendek? Kalau dilihat dari keberangkatannya, puisi pendek Indonesia itu lahir setidaknya karena tiga hal. Pertama, pengaruh sastra tulis dan sastra lisan di masa Nusantara silam yang serba pendek. Termasuk pantun, pekik, pribahasa, dan kata-kata mutiara berbahasa daerah. Kedua, hasrat untuk menumpahkan kecemerlangan gagasan, yang multi interpretasi sekalipun, dalam tanda/kode/sinyal, b

DINDING PUISI 196

Gambar
Apa hendak dikata. Atau enyahlah. Sapardi dan sederet nama lain telah menjadikan negeri ini negeri puisi. Sehingga tanda dan kata-kata harus dimengerti. Sehingga literasi sastra atau literasi puisi membawa kita kepada dermaga, stasiun, terminal, jembatan penyebrangan, dan bandara ingin hidup. Kalau dipendekkan sesuai daya nalar manusia, ingin hidup seribu tahun lagi.  Hari ini, Minggu, 19 Juli 2020 prnyair Sapardi Djoko Damono yamg biasa disingkat SDD, telah pergi untuk selama-lamanya, menuju kasih Allah. Tetapi saya segera menulis di media sosial, SDD adalah "Sspardi Dalam Dadamu", diiringi musikalisasi puisi Aku Ingin dari Ari Kpin.  Sebab kalau kau bilang, 19 Juli ia akhirnya pergi juga, perginya kepada hidupmu. Menuju negri puisimu. Melanjutkan upacara keberangkatannya dulu, ketika lahir di Surakarta, 20 Maret 1940. Apa hendak dikata. Atau enyahlah! Negeri puisi telah ditegakkan sejak proklamasi dan bismillahnya.  Dan jangan khawatir, Bro & Sis. Dia juga punya kenanga

DINDING PUISI 195

Gambar
Mingguan ya, Lur. Sebagian besar nampaknya masih di rumah saja. Setidaknya ada yang milih berlama-lama di kebun, di beranda atau halaman rumah, atau dekat kolam. Maklum masih waspada corona. Tapi dengan mencoba setia pada protokoler kesehatan ada juga yang sudah berani berkunjung ke sanak famili, berolahraga di taman umum, dan berwisata. Setidaknya begitulah berita satudua minggu belakangan ini. Kalau foto-foto dalam pose sendiri, untuk beberapa detik bolehlah buka masker. Apalagi selfi, gaya sendiri difoto sendiri. Gak harus juga wajah kita hilang dari dunia wajar. Kecuali kalau foto bersama. Pakai masker dan atur jarak. Bisa pura-pura di kanan kiri suatu obyek tertentu, padahal pesannya jaga jarak.  Eh kenapa juga ya belakangan ini kita seperti jaga jarak juga dengan hembusan info ibukota Jakarta mau pindah? Nyaris hilang total dari peredaran. Meskipun yakin, Monas tak sudi pindah karena itu bukti sejarah. Ya, pasti karena kita sedang terseret ke fokus lain, termasuk ke penanganan co

DINDING PUISI 194

Gambar
Siapa bilang saya tidak terseret wangi Haiku? Puisi pendek Indonesia atau yang disebut juga puisi singkat berpola 5-7-5 yang mendapat pengaruh dari sastra Jepang, negeri asal Haiku. Meskipun saya dijodohkan dalam suatu kawin paksa, yang untungnya tidak menyesakkan. Betapa tidak? Di awal tahun 2000-an setiap membacakan puisi pendek, baik di corong radio maupun di panggung, kesan yang muncul di tengah masyarakat, "Itu Haiku bukan?" atau, "Kok seperti Haiku ya?" Bahkan di hari ini ketika saya dkk menulis #Nalikan, puisi pendek berpola 3-2-5-2 (1,2,3,4,5,6,7,8,9), masih ada yang komen, "Nampaknya mencoba 'bermain' seperti Haiku". Padahal keberangkatan awalnya jauh beda dari Haiku. Tetapi okelah, setidaknya gambaran positifnya menunjukkan saya dianggap berwangi Haiku. Kawin paksa bukan? Saya sendiri tidak pernah anti Haiku. Meskipun tidak bisa produktif ber-Haiku. Termasuk tidak mungkin membelokkan puisi pendek saya menjadi Haiku, atau memendekkan puisi

DINDING PUISI 193

Gambar
DINDING PUISI 193 Haha. Naning Scheid menulis begini di akun FBnya: "Buku puisi saya terjungkal di poin ketiga; poin baru yang tidak ada di kriteria sayembara HPI 2019.  Antologi puisi saya dalam lima bahasa, karenanya, saya tidak dapat berpartisipasi di acara Anugerah HPI 2020. Selamat untuk Anda semua, para penyair Indonesia di dalam dan luar negeri, yang dapat ikut menyemarakkan sayembara ini. Sukses untuk Anda semua". Ya ya ya. Saya mau berala akad nikah, "Bagaimana, sah?" Tentu sah berkomentar demikian. Pengetahuan juga buat orang banyak yang masih merasa menemui 'kecanggungan' untuk memahaminya.  Dari jaman dahulu kala kita kadang kaget bahkan kecewa atas suatu persyaratan lomba-lomba seni atau rekrutmen puisi untuk suatu antologi puisi yang diselenggarkaan oleh suatu kepanitiaan tertentu, termasuk panitia pelaksana dari suatu Dinas Pemda. Bahkan saya pernah membahas, soal sponsor produk yang mendekati telinga saya dan berbisik di tengah hingar musik,

DINDING PUISI 192

Gambar
Saya orang kecil yang berangkat dari kegiatan kecil. Dengan bangga saya ikut Agustusan di 'kampung', mulai dari nyumbang baca puisi sampai jadi panitianya yang harus super sibuk nyari hadiah atau piala untuk berbagai lomba, termasuk lomba baca puisi. Dari situ saya berangkat jadi ketua Remaja Mesjid dan Karang Taruna Kelurahan, meski tidak lama karena harus berangkat kerja ke kota lain. Pertama kali saya baca puisi di situ, baca puisi sambil tidur terlentang. Entah inspirasi dari mana, saya cuma menikmati tidur puisi di panggung Agustusan. Sebelumnya, kelas 2 SMA pernah baca puisi sambil menabur-naburkan daun. Mungkin gendeng maksudnya, harum wangi itu tumbuh dan manfaat daun, yang lalu ihlas pada takdir mengeringnya, sampai jadi pupuk bumi.  Kemarin saya lihat anak saya yang masih berlatih main gitar, ukulele dan organ. Juga saya bilang, "Bagus, minimal semoga bisa mengiringi orang nyanyi atau baca puisi di panggung Agustusan". Entah mengapa, bangga sekali mengucap b

DINDING PUISI 191

Gambar
DINDING PUISI 191  Istilah menyampah dengan konotasi positif mulai kita dengar dan rasakan pada awal tahun 2000-an, ketika dunia internet makin merambah mulus di kantor-kantor dan pusat pendidikan. #Radio-radio tidak lagi memutar kaset dan cd tetapi mp3. Bahkan warung internet jadi primadona di setiap sudut kota.  Istilah menyampah di internet tidak lahir dari orang yang tidak melek teknologi komputer, tetapi lahir dari para penulis yang makin rajin menulis melalui media on line, website dan media sosial. Dimaksudkan demikian, karena orang-orang kreatif yang daya menulisnya tak terbendung sebaiknya memanfaatkan media on line ini. Apalagi dengan menulis terus-menerus daya menulisnya akan semakin baik, bahkan pengalaman di situ akan menemui cara-cara, alternatif, strategi jitu dalam merangkai kata, berkalimat, dan menumpahkan gagasan. Ini cara cerdas. Disebut menyampah karena tulisan yang ibarat tumpukan kertas atau buku tak terhingga banyaknya sampai menutupi bola bumi. Bukan dalam kono

DINDING PUISI 190

Gambar
DINDING PUISI 190 Gini. Gini. Oke. Karena tulisan ini dibuat pada malam Minggu saya mulai dengan ucapan, "Selamat Malam Minggu". Semoga semua sudah fasih mengerti. Sudah APAL, artinya tidak cuma diam di nama, di paham, tapi sampai ke gerak badan dan ucapan. Tapi buat yang berani ngaku belum, saya kasih tahu. Maksudnya, semoga kita merasa sampai di malam Minggu yang selamat, bukan di malam Minggu yang lain, yang tidak kita kenal, yang sesat. Atau, semoga kita adalah malam Minggu yang selamat itu. Atau, kita adalah penyelamat malam Minggu diri dan malam Minggu orang banyak termasuk malam Minggu keluarga. Dst. Masih ingat lagu Tuhan, Sajadah Panjang, dan Dengan Puisi yang dinyanyikan Bimbo? Isunya, lagu-lagu itu diawali oleh kerjasama band legendaris Bimbo dengan penyair Taufiq Ismail. Inti kesepakatannya, Bimbo membutuhkan lirik yang bagus dari seorang Taufiq yang sudah dikenal kualitas puisi-puisinya oleh masyarakat. Pertanyaannya, apakah Taufiq benar-benar memberikan puisi-pu

DINDING PUISI 189

Gambar
Pada gilirannya antologi puisi adalah diri kemusiaanmu. Kemanusiaan bukanlah diri pribadi, tetapi hakekat manusia sebagaimana dirimu juga eksis dan berbuat sesuatu secara khas, mewakili atau terwakili berbuat apa saja. Sehingga seluruhnya, perbuatan baik manusia kau sebut, "perbuatanku", atau lebih umum disebut, "kemanusiaanku". Inilah kunci humanis-universal. Tentu. Tentu, lagi-lagi saya harus bilang, dengan ketidakmungkinan menolak Yang Maha Mulia dan perbuatan mulia yang dipuji-puji 'manusia selamat', ini soal kemanusiaan yang religius, atau kemanusiaan berketuhanan.  Selama ini kita mengenal, antologi puisi adalah buku-buku puisi itu. Baik buku berisi karya bersama maupun buku berisi karya sendiri. Tetapi sesungguhnya, antologi puisi adalah diri kita sendiri. Diri penyair yang bekerja total dengan kepenyairannya. Kita adalah buku. Kita adalah kumpulan puisi.  Saya coba buat ilustrasi dari proses kreatif yang sudah lama kita kenal. Seorang penulis, sastra

DINDING PUISI 188

Gambar
Rasa lisan atau rasa ucap ternyata bisa menggejala pada sebagian pencinta sastra atau penyair kita. Mereka orang-orang yang konsisten berpuisi baik di panggung puisi, arena sastra, di media sosial, maupun di buku. Ada yang sekadar senang-senang, ada yang serius berproses dengan kerja sastranya. Bahkan disebutnya, panggilan jiwa atau panggilan hidup. Tetapi kalau dicermati seksama, ternyata dalam beberapa atau banyak karyanya selalu terdapat ketidaktepatsn dalam menulis, semisal kata "di atas" yang ditulis "diatas dan kata "dirundung" yang ditulis "di  rundung". Mereka tidak fasih memahami "di" pada "di atas, di depan, di beranda" dll adalah kata depan, sedangkan "di" pada "dirundung, dimasak, disimpan", dll adalah awalan.  Sering juga kita menjumpai kalimat puisi yang ditulis semisal, "ibu ....... ". Menggunakan titik-titik tanpa kejelasan jumlah titiknya, bisa sampai tujuh bahkan sepuluh. Bahkan hampi

DINDING PUISI 187

Gambar
Benar. Akan selalu menarik membandingkan dua jenis antologi puisi dari sisi teknis pembuatan dan pengumpulan puisinya. Yang pertama adalah antologi puisi yang direkayasa di kemudian hari setelah seorang penyair punya banyak puisi di 'laci meja kerjanya' di rumah. Karena sifatnya acak, puisinya ditulis pada waktu dan momen yang beragam, maka bisa terjadi sejumlah puisi itu diprediksinya bakal melahirkan beberapa buku atologi. Soal kekurangan jumlah puisi bisa ditambahnya sejalan dengan proses kreatif selanjutnya.  Sebut saja ada penyair yang telah mengelompokkan sejumlah puisi menjadi tiga antologi. Untuk antologi pertama sudah siap 62 puisi. Dia bisa berfikir minimal harus ada 70 puisi, maka harus menunggu sampai jumlahnya cukup. Untuk antologi ke dua ternyata ada 103 puisi, setelah diutak-atik ia merasa perlu menggenapkannya menjadi 100 saja. Artinya 3 puisi diihlaskannya untuk menjadi penghuni laci, atau menunggu kemungkinan maju menjadi antologi yang lain. Atau segera hilang

DINDING PUISI 186

Gambar
Selama ini banyak orang mengira tangan puisi hanyalah tangan penyair yang biasa memegang pena atau alat tulis apa saja untuk menulis puisi, atau untuk memijit tombol mesin tik / keyboard komputer. Tetapi kemarin saya bilang ke Ari Kpin, seorang penggiat seni yang punya fokus lama di bidang musikalisasi puisi, "Semoga cepat sembuh, Kang. Semoga lekas baik. Sebab selain tangan kreatif, tangan itu juga tangan puisi". Tentu bermaksud memberi penekanan, bahwa bagi puisi jarijemari seorang musisi musikalisasi puisi berarti sangat besar.  Pernah saya uraikan secara sekilas di Dinding Puisi Indonesia sebelumnya, musikalisasi puisi adalah satu cara jitu mengomunikasikan puisi ---isi puisi, kepada masyarakat luas. Bahkan bisa tembus ke luar komunitas sastra yang eklusif. Tentu beda dengan lagu-lagu pada umumnya, karena semua lagu akan dinyanyikan seragam oleh siapapun. Semisal lagu Sewu Kuto dari Didi Kempot atau lagu Kasih Putih dari Glenn, pasti akan dinyanyikan seperti itu oleh siap

DINDING PUISI 185

Gambar
Apa sih bersastra itu? Tentu bersastra adalah hidup dengan sastra atau hidup tak lepas dari sastra, baik sastra lisan maupun sastra tulis. Dalam makna sempit bersastra adalah kegiatan menulis atau membaca karya sastra. Makna sempit ini seolah-olah hanya meliputi sastrawan dan pencinta sastra belaka, tak ubahnya sebuah komunitas besar di tengah para manusia. Karya sastra yang menjadi penyebabnya. Tetapi dalam makna yang lebih luas, bersastra itu sesuai dengan maksud sukses literasi. Sampai pada suatu kulminasi, kehidupan masyarakat yang menjadi lebih baik disebabkan pengaruh sastra. Baik secara teks, karya yang ditulis dan dibaca, maupun secara lisan, bersumber dari sastra lisan, maupun karya sastra tulis yang pesan-pesannya sudah menjadi buah bibir dan berpengaruh baik ke mana-mana.  Dalam ruang sastra yang luas itu, juga terdapat masyarakat yang cuma bersenang-senang dengan sastra. Tidak perduli pada eksistensi sastrawan atau kepenyairan bagi dirinya. Mereka sudah bahagia bisa tebar p

DINDING PUISI 184

Gambar
DINDING PUISI 184 Baru di era milenial kini ada kalimat penyiar radio, "Kirim rekaman puisimu, nanti aku putar". Atau kalimat di layar TV, "Kirim video kalian, nanti video kreatif yang terpilih akan ditayangkan". Tentu di era kolot-nial hal itu tidak ada. Terakhir tahun 2000-an bisa ngirim puisi pendek via SMS atau on air berpuisi pake HP sudah luarbiasa. Saat ini, fasilitas rekaman dan pengiriman hasil rekaman itu melalui media HP sudah sangat maju. Tidak cuma kualitas suara, bahkan kualitas gambar dan videonya sangat menjanjikan.  Tidak cuma itu, di 'dunia rumah' selama gangguan pandemi corona pun, dialog sastra secara virtual bergerak sangat kreatif dan dinamis. Subhanallah. Ada yang sekadar untuk kepentingan jaringan dan pendokumentasian, sosialisasi ke media sosial, maupun untuk siaran radio dan TV.  Khusus pada kalimat penyiar radio, "Kirim rekaman puisimu untuk disiarkan", jujur, saya menaruh perhatian sangat tinggi. Juga terharu, karena say

DINDING PUISI 183

Gambar
DINDING PUISI 183 Ya gak apa-apa. Biar aja. Dari dulu kan kita memang sudah biasa dengan pernyataan seragam atas dua suasana. Pertama, ada sebutan puisi yang kontemplatif, yang mendalam, atau sangat mesra dengan bunga kata yang menakjubkan dan dipuji-puji penuh nilai. Kedua, ada sebutan puisi yang lugas, sangat lugas, 'vulgar', demonstratif, seperti pekik, bahkan teriak-teriak. Lalu ada yang mengidentifikasi, antara puisi hati, atau puisi renungan dan puisi panggung. Ya, sekali lagi biar saja tetap begitu. Yang penting kan sampai kapanpun kita tidak akan pernah bisa menyalahkan yang sudah benar.  Bahkan pada perjalanan proses kreatif seorang pribadi penyair, ternyata tidak sedikit yang memiliki keduanya sekaligus. Sekian persen karyanya masuk kelompok pertama, sekian persen puisinya masuk katagori kedua. Bahkan dalam satu buku yang diterbitkannya. Beberapa halaman bernuansa kelompok puisi pertama, sekian halaman yang lain kuat aksen teriak lugasnya. Mau apa? Mau diharamkan? Let

DINDING PUISI 182

Gambar
DINDING PUISI 182 Met hari minggu, Bro & Sis. Minggu awal Juli ini Jakarta terang. TVRI sedang menayangkan film boneka yang sejak tadi saya tonton sambil minum kopi dan jawab-jawab WA. Maklum belum ada rencana ke luar rumah, mungkin agak siang ke rumah ibu di Kemayoran. Lalu saya buka-buka Mendaki Langit (J-Maestro 2019), antologi puisi saya yang dilabeli 100 Aksi Puisi Pramuka, karena memang merupakan 'buku guru/pembina' teman para siswa, Pramuka dan pemuda pada umumnya. Buku ini kemarin saya kirim ke Bandung untuk keperluan Lomba Baca Puisi bulan Juli. Pialanya menyusul.  Yang akan dilombakan puisi berjudul, Begitu Lapang Cinta Ibu, tetapi minggu pagi ini saya fokus pada puisi yang bentuknya terinspirasi oleh dialog imajiner saya dengan Bung Karno ---atau dengan Si Bung kalau menurut senior Lumbung Puisi, RgBagus Warsono, yang merepresentasikan para Bung di era awal kemerdekaan NKRI. Mengapa? Setidaknya melengkapi tulisan saya sebelumnya di Dinding Puisi Indonesia (DPI) b

DINDING PUISI 181

Gambar
DINDING PUISI 181 Gini aja. Kalau ada yang nanya, berapa duit keuntungan dari nerbitin buku senibudaya? Atau, apa keuntungan nerbitin buku sastra? Daripada salah jawab, kalau pertanyaan itu ditujukan ke saya, saya jawab polos gini, "Kalau saya lagi 'ngadosenan (menjadi dosen)' atau lagi jadi narasumber depan 7 atau 1000 orang, buku-buku itu bisa saya tenteng dengan khusyu pake tangan kiri. Lalu saya akan bicara pake mulut dibantu tangan kanan. Nah kalau butuh contoh-contoh, saya tinggal bismillah membuka buku-buku di tangan kiri saya". Semoga jawaban ini bisa menenangkan dunia. Sejak lama, sejak membawakan acara Apresiasi Sastra di radio tahun 1992, saya menyebut, penerbitan buku seni atau buku sastra, minimal memiliki kemenangan pengarsipan karya intelektual senibudaya. Berapapun jumlah cetaknya. Bahkan menurut saya, termasuk buku-buku komunitas yang terbit tanpa ISBN tetapi dimiliki oleh seluruh anggota komunitas dan jaringan masyarakat di sekeliling komunitas itu.