KISAH KENDAL
GILANG BERKISAH KENDAL
Meskipun Bapakku yang keturunan Jowo lahir di Bogor, aku kelahiran perkebunan Curug Sewu, Kendal, Jawa Tengah. Tetapi sejak SD sudah pindah ke Perkebunan di Jawa Barat, lalu di kemudian hari anakku lahir di Bandung dan Purwakarta. Maka setelah banyak bicara Kota Santri Purwakarta aku sangat tertarik pada Kisah Kota Santri Kendal.
DI ANTARA DUA KOTA SANTRI.
Kendal, kita kenal sebagai kabupaten yang bersebelahan dengan Semarang, ibukota JawaTengah di sebelah timur. Dengan Laut Utara Jawa. Kabupaten Temanggung di Selatan. Dan kabupaten Batang di sebelah Barat. Konon asal nama KotaSantri itu berasal dari pohon obat multi-guna yang banyak di sana, yaitu pohon Kendal. Tetapi merujuk pada Kisah Legenda Batara (Sunan) Katong dan Empu (Mbah) Pakuwojo/ Suromenggolo, pohon Kendal adalah pohon paling besar yang mengeluarkan sinar ketika dipakai sembunyi Kyai Pakuwojo. Sehingga tidak mustahil nama Kendal adalah pohon obat itu, tetap begitu, titen ciren, tetapi yang dimaksud dalam kisah legenda itu sekaligus termaksud PEPOHONAN KENDAL, kesatuan pohon-pohon besar yang ada di sana yang dialamatkan kepada pohon Kendal itu. Pohon terang. Dalam bahasa Arab disebut qondhali. Pada ruang tafsir selanjutnya, pohon besar dan terang benderang yang bernama pohon Kendal itu adalah, POHON ISLAM. Mengapa? Karena peristiwa dan penamaan berdasarkan legenda itu berpusat pada syiar Islam ketika itu.
Dikisahkan perseteruan Sunan Katong dan Empu Pakuwojo berakhir pada kematian keduanya. Padahal di akhir cerita, keduanya adalah sesama mukmin-muslim yang berpegang teguh pada syahadat. Darahnya mengalir ke sungai berwarna ungu. Maka dikenalah sebutan, Kaliwungu. Ibukota Kadipaten Kendal ketika itu. Sebelum pindah ke Kota Kendal. Pertanyaannya, mengapa kesaktian mereka mengeluarkan darah yang sama? Sama-sama ungu? Maklum, mereka sama-sama muslim yang kuat. Meskipun ada juga cerita rakyat yang menyebut, darah Sunan saja yang ungu.
Empu Pakuwojo (Suromenggolo) adalah Adipati sakti, pembuat dan perawat keris pusaka di era Majapahit. Sedangkan Sunan Katong adalah kelompok para wali penyebar agama Islam dari Demak. Pakuwojo menerima dengan baik kehadiran Sang Sunan, bahkan ia sempat berucap sebagai orang besar di tanah Jawa, "Kalau bisa mengalahkan saya, saya masuk Islam". Dalam peristiwa adu-sakti itu, Pakuwojo sempat sembunyi di dalam Pohon Kendal, pohon besar yang berongga pada batangnya, semisal rumah pohon. Tetapi pohon itu malah mengeluarkan cahaya terang benderang sehingga ia mudah ditemukan oleh Sunan. Begitulah. Pohon besar dan terang itu sesungguhnya adalah Agama Islam, yang lalu dikenalinya, yang membuatnya bersyahadat.
Sampai di sini, kita tentu heran. Kalau dalam adu-sakti itu Suromenggolo binasa, kapan dia masuk Islam. Bagaimana pula Sunan bersaksi dan mengislamkannya? Maka kisah lain menyebutkan, Pakuwojo masuk Islam dan bahkan bergelar Pangeran Pakuwojo. Sejak itu Pangeran sering berkunjung ke pondok pengajian Sunan. Mulai dari sinilah berlanjut kepada kisah berikutnya, yaitu soal Keris Sunan Katong. Ini menarik, karena keris adakah ikon pada lambang Kabupaten Kendal. Keris juga aset budaya Jawa untuk dunia.
Suatu ketika Sunan merasa ada masalah dengan keris pegangannya. Ia pun teringat Empu Pakuwojo, jago memperbaiki keris. Segeralah kerisnya ia antar ke sana. Tetapi singkat cerita, keris itu tidak pernah dikembalikan oleh Empu, karena Sang Empu tahu itu keris pusaka. Bukan barang sembarangan. Maka terjadilah peristiwa kejar mengejar. Empu Pakuwojo sering menghindar atau sembunyi karena tidak mau terjadi adu-sakti. Rahasia apakah yang memikat Pakuwojo di dalam keris sakti itu?
Sebelum menelaah apa rahasia keris sakti mandraguna itu, ada baiknya kita berkhidmad pada bagian ini. Sebuah kesaksian kisah turun temurun, tutur tinular, budaya yang relijius. Sejarah budaya di Indonesia. Sejarah Islam. Ternyata, baik Sunan maupun Empu, sama-sama menyukai dan menjaga nilai atau pesan moral keris pusaka. Sesuatu yang oleh kelompok tertentu di era mutahir sekarang ini ditidakbolehkan. Ini kebanggaan bagi Tanah Jawa. Eksotisitas dan pesan lurus melalui keris masih bisa dirawat-diruwat.
Bahkan kelak di kemudian hari, keris di tangan Diponegoro, Bung Karno, Jendral Soedirman dll adalah SIMBOL SPIRIT NASIONALISME. Nasionalis relijius. Kemanusiaan berketuhanan.
Peristiwa berseteru karena keris itu tak kunjung usai. Sampai suatu ketika keduanya malah mati tertikam oleh keris pusaka yang sama.
Tentu kita akan sulit memahami, bagaimana sebuah keris pusaka (keramat) kok mengakibatkan kematian begitu rupa? Ditambah lagi, bagaimana orang sesakti Pakuwojo tidak bisa amanah, tidak bisa dipegang omongannya? Ditambah lagi, informasi di masyarakat hingga kini, mereka berdua sesungguhnya tak pernah mati seperti itu. Mereka panutan yang makamnya sama diziarahi.
Inilah penelaahannya. Keris pusaka mandraguna, yang bernilai keramat Wali Allah itu ternyata adalah Agama Islam/Ummat Islam. Sunan merasa, ada yang patut diluruskan dalam hal paham agama samawi ini. Ia berpegang pada pokok-pokok ajaran ISLAM yang kuat segala daya. Sementara Empu Pakuwojo mengamini tugas pelurusan agama abadi itu adalah dengan MEMAHAMI ISLAM CARA #JAWA. Ada yang menyebut Kejawen. Atau cara kaffah Ummat ISLAM tradisional menerima cahaya keislaman. Ada semacam sinerjisitas antara mistisismeJawa dengan mistisismeIslam. Misalnya, kalau di padepokan Sunan dikenal minyak wangi, seperti halnya di Tanah Arab, di kalangan masyarakat Pakuwojo masih memakai bakar kemenyan untuk menimbulkan wangi ruangan, atau mandi kembang tujuh rupa, yang diberi pesan: cara mengusir syetan dengan jiwa-jiwa yang wangi. Tentu cara Pakuwojo ini bisa dianggap banyak mirip dengan ala Sunan Kalijaga. Unsur-unsur, kembangan tradisional masih kuat mengikuti. Meskipun sangat tergantung kepada tokoh-tokoh masyarakat dan pribadi yang membawanya. Karena tidak ada rujukan berupa kitab khusus. Meskipun demikan sangat kuat dan mengakar. Ini yang di kemudian hari kita mengenal, wanita Jawa ber kebaya tetapi jiwa-jiwanya telah ber jilbab. Maka telah tunai kewajiban berjilbab di situ.
Tetapi ada juga yang mengait-ngaitkan Suromenggolo dengan ajaran Islam Syeh Siti Jenar, tapi kemudian bertobat.
Ternyata keris yang sama itu harus dipegang oleh dua tangan tokoh itu. Sehingga Empu Pakuwojo merasa tetap amanah. Karena ia tidak mencurinya. Tetapi memelihara dengan caranya. Itulah siloka, tradisi leluhurnya bersembunyi pada pohon Kendal. Pohon terang. Yang terawasi dengan jelas oleh Sang Sunan.
Dampak dari perbedaan itu, antara keduanya seperti nampak berseteru tak pernah selesai. Padahal tidak demikian. Disebut keduanya telah TERTIKAM MATI oleh keyakinannya. Berdiri teguh di posisinya yang diyakini benar. Kalau tikaman itu diibaratkan berdarah-darah yang mengalir ke sungai-sungai Kendal, maka darah keduanya sama ungu-nya. Darah keyakinan. Begitulah Kali Wungu.
Selama itu pula keduanya tetap hidup bersama sebagai warga Kendal, warga Jawa, di sebuah gugusan Nusantara.
Kalau pesan atau wasiat sebuah legenda masa lalu tidak bisa kita ambil hikmahnya, maka anak-cucu kita telah diracuni berita bohong. Kearifan semu. Dan kalau Pakuwojo adalah tokoh antagonis yang jahat, tentulah makamnya sudah dihancurkan. Bukan dijadikan sarana ziarah / Wisata Religi. Lebih tepat menggunakan istilah Rendra, menolak tradisi. Harus bagian dari itu.
Dalam kisah yang lebih ringkas lagi disebutkan, Sunan Katong sejak awal memang mencari ahli keris pusaka, Pakuwojo untuk membetulkan kerisnya (Ummat Islam). Versi lain menyebut, Sunan dapat perintah Wali Songo untuk memesan keris pusaka. Tetapi nyatanya ahli keris keturunan Majapahit itu tidak mau mengembalikannya/ menyerahkannya. Dia dianggap telah memiliki(Ummat/pengaruh Islam)nya dengan caranya sendiri. Mereka pun berebut. Sampai Pakuwojo sembunyi di dalam sebuah pohon besar, pohon terang, pohon Kendal. Qondhali. Sehingga selalu ketahuan oleh kesaktian Sunan. Meskipun sudah sama-sama tahu rahasia terang itu, keduanya berseteru sampai sama-sama mati. Sampyuh. Darahnya mengaliri sungai-sungai hingga disebut, Kali Wungu. Melegenda.
Tidak ada pertentangan pada kisah awal dan akhir di Kali Wungu. Kisah awalnya, Sunan Katong mendapat tugas dakwah dari Wali Songo di Demak. Ada yang menyebut, berangkat atas perintah murid Sunan Kalijogo di Semarang, Pandan Arang. Untuk menuju ke daerah yang ada pohon ungu condong ke sungai. Yang kemudian disebut daerah Kali Wungu. Pada akhir cerita itu, darah Kyai Katong dan Kyai Pakuwojo tumpah ke sungai berwarna ungu. Menjadi sebutan Kali Wungu.
Tetapi perlu diingat. Karena ini sudah dianggap menjadi tradisi modern, menolak mitos, legenda, bahkan tradisi nenek moyang. Padahal dalam mitologi yang baik ada kiasan. Bagaimana bisa satu busur satu anak panah merubuhkan musuh berjuta. Begitulah mitos. Ketika satu anak panah dalam logika mutahir tidak bisa dipastikan bisa menembak seekor burung pun. Dalam legenda pun begitu. Termasuk legenda yang berangkat dari kisah nyata. Banyak yang dianggap mustahil padahal berisi. Tetapi yang terpenting, untuk mengasah rasa dan fikir (Budi pekerti luhur) di atas keyakinan kebenaran langit yang teguh, kita mesti membersihkan kembangan dalam mitos, legenda, cerita rakyat, kisah sejarah, yang merusak hidup. Bahkan dalam kisah Pakuwojo dan Sunan di Kendal, seperti terjadi pada banyak kisah sejarah lain di daerah manapun, ada juga yang malah menghancurkan kearifan dan kecerdasan lokal. Merugikan Tanah Jawa bahkan Indonesia. Yaitu cerita yang bersumber dari tutur tinular yang tidak beradab. Hanya menarik saja, tidak ada isinya. Bahkan kadang menjadi terdengar keterlaluan, menjijikkan dan kejam. Yang diam-diam bisa mencetak karakter abu-abu, bahkan rusak. Setidaknya di situ parameter pesan moral yang bisa dijaga dan dipertahankan, sambil membuang salah penceritaannya, adalah konsistensi pada keberadaban manusia sebagai hamba Allah.
Sekadar pembanding. Dalam kisah sejarah yang dituturkan masyarakat seputar kepahlawanan SiPitung di Betawi atau KianSantang di Tatar Sunda pun pernah kita jumpai bagian kembangan cerita yang merugikan kearifan dan kecerdasan lokal itu.
Meskipun sudah bernama Kendal sejak lama, tetapi pemerintahan Mataram baru meresmikan kabupaten itu pada 28 Juli tahun 1605, sebagaimana tertera pada logo Kabupaten Kendal, yaitu sejak diangkatnya Joko Bahu, kepercayaan Mataram, menjadi Bupati bergelar Tumenggung Bahurekso menjadi Bupati pertama. Bahkan pada masa kepemimpinannya itu, 1628, ia diutus maju melawan VOC (cikal perjuangan Nusantara ketika itu) di Batavia, meskipun akhirnya gugur di medan perang. Tanggal kelahirannya dijadikan hari lahir Kabupaten Kendal.
Meskipun pasca runtuhnya kekuasaan Majapahit kondisi Kendal dan Tanah Jawa pada umumnya diwarnai syiar ISLAM yang marak, tetapi sesungguhnya tidak berarti tanpa pluralisme sosial. Banyak petilasan yang menandai pluralisme itu. Selain masih hidup masyarakat #Hindu dari era Majapahit, kehadiran bangsa-bangsa asing ke tanah Jawa juga disambut baik sebagai bagian dari pergaulan atau kerjasama internasional. Kebersamaan dengan kaum Thionghoa juga terjalin rapih. Demikian pula ketika Jepang datang pada waktu pertama. Semua menjadi berubah dengan paradigma mengafirkan dan perlawanan, ketika terjadi penjajahan dan penindasan yang keji mengorbankan jiwa raga pribumi. Dalam kurun yang sangat panjang pula.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogsot.com
Komentar
Posting Komentar