KOKOM KOMARIAH & SOETOYO MADYO SAPUTRO (Seni Budaya)
GURU DAN GURU
Lagi bongkar-bongkar buku di sore Maret yang basah hujan di luar, tiba-tiba nemu kartu nama Bu Kokom, guru senirupa saya waktu di Sekolah Pendidikan Guru Negri (SPGN) Kota Sukabumi , Jawa Barat.
Saya selalu merasa sebagai murid kesayangannya. Satu di antara beberapa. Di antara semua. Karena itu saya selalu berfikir dalam banyak hal, tidak boleh mengecewakan dia. Tentu ada juga guru lain yang begitu dekat di hati.
Dia mungkin sempat kaget ketika di kelas 1 saya dan kelompok menumpuk kotak-kotak kardus dengan lem lalu panjang lebar menguraikan di depan kelas kepada seisi kelas apa maksud dari model karya yang aneh itu. Saya sendiri lupa judulnya. Tapi sekilas teringat itu soal kehidupan dan harapan manusia. Kotak adalah lambang yang baik sebagai falsafah "titik ketemu titik". Kotak di situ bukan hidup kaku dan bermusuhan karena terkotak-kotak.
Setelah menikah dan punya anak saya menemukan spirit/nasehat besar, KOTAK (EMPAT) PERSEGI KA'BAH. Bahkan saya ibaratkan sanggar seni saya sebentuk Rumah Kotak. Begitupun ketika saya adakan Lomba Cipta Puisi Pramuka Penegak, saya bilang Piala Dari Rumah Kotak, Cannadrama.
Sejak peristiwa di kelas 1 itu saya dianggap menonjol dalam mata pelajaran senirupa. Lalu dilibatkan sebagai panitia pameran lukisan di sekolah maupun di luar sekolah. Sempat diperkenalkan pula kepada Kang Pendi dkk juga. Dia pelukis senior dan panitia pameran.
Di kelas tiga, aku bersama Alm. Asep Barnas Sugiri (Dalang Cilik yang di kemudian hari jadi Guru SD Al-Azhar) diminta membuat gapura Agustusan sekolah. Lalu diberi kanvas untuk membuat lukisan kenang-kenangan. Bu Kokom bilang, dia butuh lukisan saya.
Itulah kenangan sore ini. Padahal aku tahu setahu-tahunya, dalam GARIS GAMBAR, aku tidak bercita-cita jadi pelukis. Mengagumi karya para pelukis, iya. Aku hanya ingin bisa jadi GURU GAMBAR ANAK-ANAK DAN REMAJA. Dan itu terbukti. Pernah mengasuh sanggar gambar, membantu panitia pameran, menjadi narasumber seni, dan menjadi juri gambar di mana-mana.
Bu Kokom adalah Sang Motivator untuk memahami setiap garis, bentuk dan warna. Dia guru senirupa kedua, setelah Bapak saya, Soetoyo Madyo Saputro.
Suatu ketika di asrama, waktu SMP kelas II, saya menggambar perempuan setengah telanjang sebesar pintu. Menurut saya indah dan seksi. Lalu Bapak memergokinya. Sambil senyum dia segera mengajak saya ke gudang. Di situ ia menggambar wayang di atas kertas tebal, lalu mewarnainya, lalu memotongnya, lalu menceritakan detil setiap yang ia goreskan. Ia cerita kenapa wayang telanjang dada? Cerita kenapa mahkotanya beda-beda? Mengapa punya ciri khas yang tidak sama? Mengapa ada warna hitam dan putih? Mengapa mukanya merah? Dst.
Waktu terus berjalan. Dan saya tahu, kita memang lahir untuk menjadi pelukis. Untuk menggambar. Seperti yang sering saya orasikan: Bung Karno menggambar Indonesia, menggambar Monas. Kyai Soedirman menggambar Tentara Indonesia.
Itu sebabnya saya tidak takut, anak-anak saya beberapa kali juara gambar, termasuk dapat Piala Bupati. Tidak takut mereka seneng puisi. Sampai jadi juara propinsi.
Kartu nama itu saya dapat ketika suatu waktu diminta oleh para siswa SMA Angkasa Bandung untuk menyutradarai pementasan Teaternya. Waktu itu saya sudah Programmer/Kepala Siaran Radio Lita FM Bandung. Setelah dari SPGN, ternyata Bu Kokom mengajar di situ. Pertemuan tak sengaja yang ajaib.
Ajaib yang lain. 18 tahun setelah tamat SPGN, ketika saya tugas sebagai Kepala Studio di Radio Elmitra FM Selabintana Sukabumi, meskipun tidak lama tugas di situ, karena lalu pindah lagi ke radio Purwakarta, seorang seniman datang ke kantor saya. Dia siap membantu saya untuk persiapan Lomba Gambar Piala TELKOMSEL di Lapang Merdeka. Saya minta dia menyebut beberapa nama yang pantas jadi juri. Ternyata Kang Pendi dia sebut. Spontan saya bilang, "Sudah, Kang Pendi Ketua Dewan Jurinya. Dia teman guru saya, Bu Kokom!"
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar