POLITIK BODOH ALA GILANG, KATAMU

Kampungku banyak. Termasuk Kota Sukabumi. Pernah waktu aku pulang kampung ke Kota Sukabumi, teman di Karang Taruna dulu nanya, "Sudah jadi anggota DPR, Kang?" Mungkin karena dia tahu, waktu umur 18-an aku sudah riwa-riwi pake kaos partai.

Tapi aneh kataku, kenapa semua cenderung nanya begitu. Padahal berpartai itu bisa sebentuk kegiatan sosial saja. Kontribusi untuk demokrasi. Paling-paling bisa muncul dianggap sebagai tokoh dari partai itu di kampung, meskipun sebatas anggota dan penggembira.

Tapi begitulah tokoh masyarakat (TOMAS) itu. Bahkan tokoh agama (TOGA) juga. Bisa begini, bisa begitu. Bisa ada logo partainya. Mau apa lagi?

Lagipula pada saat ditanya begitu, bagiku secara pribadi jadi anggota DPRD tidak lebih membanggakan jika dibandingkan jadi Kepala Studio Radio atau jadi Programmer. Apalagi kadang-kadang, jadi anggota DPRD pun cuma 5 tahun doang.

Tahukah kalian. Ini malah lebih menarik daripada nanya peluangku ke DPR. Aku tuh gak pernah menang lho dalam teori dukung-mendukung politik. Untung aku selalu ditolong oleh konstitusi sehingga masih sehat berfikir positif, siapapun terpilih dalam pemilu akhirnya adalah Bupati saya, Gubernur saya dan Presiden saya.

Di era Orde Baru aku anggota dan pendukung PPP. Meskipun tidak anti-Soeharto sebagai calon presiden dari kalangan Muslim. Tapi sejak kapan Orde Baru dimenangkan oleh partai yang bergambar Ka'bah lalu bergambar bintang itu? Gak enak juga di masa itu sana-sini diomongin sebagai bukan orang Indonesia. Sudah nasib memang. Apa anda merasakan juga saat itu? Seperti anak tiri atau anak yang tidak diakui. Padahal pentas teater pertama yang aku sutradarai tahun 1989 berjudul Lautan Merah Putih (beberapa bulan kemarin kulihat judulnya mirip karya Jose Rizal Manua).

Ngalamin kalah telak juga. Gini. Waktu itu jadi saksi di TPS utusan partai. Gagah dan ngartis pake baju dan topi ijo. Masyarakat di kampung sendiri tentu 100% kenal aku. Eh, pas dihitung di TPS gak lebih dari 5 orang pemilihnya. Benar-benar pernah merasakan sunyinya Orde Baru.

Di era reformasi aku anggota dan pendukung berat PAN dan Amin Rais for President. Nyatanya Amin Rais kalah capres meskipun berprestasi sebagai Ketua MPR.

Di era Megawati menggantikan posisi Gusdur sebagai presiden RI aku sangat mendukungnya untuk menang pemilu. Saat itu ibu Mega bersaing dengan SBY yang sebenarnya juga aku kagumi. Berita-beritaku di radio 70% Mega dan PDI-P. Normal dan profesional. Tapi nyesek juga Megawati yang aku cintai itu kalah. Untung aku bisa menghibur diri, secara intelektual dan kontekstual, aku pernah punya presiden wanita pertama di Republik ini, mengalahkan Amerika Serikat yang katanya serba maju demokrasinya. Jauh di belakang hari aku kira Amerika akan punya Hilary Clinton. Ah aku kalah sama Trump. Haha!

Di Purwakarta (2007) aku pernah mendukung calon Bupati Lili Hambali dari PDI-P. Malah aku sempat mikir, mestinya aku cawabupnya, hehe. Sampai istriku yang asal Bandung keturunan Manado ikut sibuk nempel-nempel poster dan pasang spanduk PDI-P. Ternyata aku kalah. Nasib.

Di DKI meskipun baru KTP-nya, aku pendukung calon dari PKS. Tapi sebenarnya dulu pernah datang lapor RW domisili di Jakarta tahun 1991 waktu tamat SMA (SPG). Beda dengan ibuku yang sudah domisili sejak tahun 70-an. 

Istriku yang asli Jakarta keturunan Wonogiri itu memang pengurus PKS di tingkat RW. Dia biasa sibuk di RW karena bapaknya juga ketua RW. Waktu dukung Hidayat Nurwahid aku kalah. Lalu ketika berlanjut ke putaran kedua, PKS dukung Foke, aku dan Foke KO. Kuda hitam, Jokowi-Ahok yang menang.

Untuk capres aku pun tentu mendukung capres dari PKS. Aku kalah lagi. Waktu masuk putaran kedua, kami dukung pasangan Prabowo-Hatta. Ternyata aku juga kalah lagi dan lagi. Apes ya?

Seiring perjalanan waktu, terdorong oleh getaran nurani  sekarang ini (2017) aku dukung pasangan Ahok-Jarot. Sampai pintu rumah pun ditempeli foto Ahok-Jarot. Pintu dan jendela dicat merah. Di mana-mana, termasuk di media sosial, ada yang meledek aku sebagai Si Ahok, Si Cina, komunis atau bahkan Si Kafir. Ah, sekali ini aku berharap mudah-mudahan menang. Bukan sebagai kafir.

Apa menurut Anda saat ini aku bakal menang? Jawabnya setelah ada gubernur terpilih saja. Biar jelas.

Mungkin ada yang bilang, Politik Gilang tidak rasional. Padahal banyak penyair yang gak berani ketahuan partainya. Demi netralitas katanya. Tapi ada juga yang berani terbuka. Tanpa mengurangi daya kritisnya. Masabodoh saja.

Tapi kalau aku diberi tiga*) lembar kertas dan harus menulis kisah nyata, perjalanan hidup sejak lahir hingga huruf terakhir di kertas ke tiga itu. Insya Allah, anak cucu dan orang yang ngerti akan marah dan ingin rasanya melempar kertas itu ke laut sambil berteriak, "Harusnya bukan cuma kertas". Aku merasa terlalu rasional bahkan. Seperti ketika aku mengatakan, hal paling nikmat dalam  hidupku adalah ketika dulu sering memijit betis (alm) Bapak. Soetoyo Madyo Saputro. Orang hutan. Manusia perkebunan. Anak polisi itu.

*)Tentang angka kertas, 3 lembar,  bisa dipelajari di grup FB puisi pendek Indonesia, pengantar puisi pendek, NALIKAN

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG