POSISI TUHAN, NOMOR LIMA?

Saya lahir dan hidup di sebuah rumah, rumah Pancasila. Keluarga muslim. Di tengah perkebunan kopi dan cengkeh. Kalau ada yang membakar rumah saya berikut gambar Pancasilanya, tentu semua sila-nya akan tetap hidup dalam kenangan dan perjalanan hidup saya. Semacam kontra dari segala bahaya laten.

Bahkan kalau ada yang menyebut lambang burung garuda lengkap dengan lambang sila-silanya, apalagi yang berbentuk patung, disebut togut, saya pasti balik tanya, 'buku atau kalimat' yang menyampaikan syukur dan cinta kepada Allah kok togut?

Dalam prinsip hidup, Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, pastilah nomor satu. Utama. Terpuncak. Meskipun hadis-hadis kudsi mengurai-urai kalimat Allah, "Aku miskin, lapar, haus, terpinggirkan, terhina, tersiksa, terusir, direndahkan, dll, kau diam saja!" Ya, Allah tetap utama dan Maha Mulia.

Tapi dalam kalimat penyampaian, sebutan Allah atau Tuhan Yang Maha Esa bisa di awal, di tengah atau di akhir. Yang terpenting, paswordnya, Allah tetap nomor satu. Ibarat, meskipun doa-doa dengan menyebut nama Allah itu ada di akhir tiap tradisi acara, tetapi ghirohnya justru Allah sudah dihadirkan dari awal mula.

Maka rumusan Pancasila oleh siapapun di masa lalu, sebelum ditentukan yang tetap, asalkan terlepas dari dosa kekeliruan, maka hukumnya halal. Meskipun sebutan Tuhan ada di nomor satu, atau nomor lain, atau di urutan akhir. Maka rumusan Pancasila awal dari Bung Karno, tidak salah. Sama sekali.

Bahkan ketika ada wacana, di dalam Pancasila yang paling utama adalah kemanusiaan. Dalam kontek kehidupan sebuah bangsa (manusia), posisi kemanusiaan hanya akan ingkar terhadap segala hal yang tidak manusiawi. Maka posisi kemanusiaan di situ adalah, kemanusiaan yang berketuhanan, bertuhan kepada Yang Maha Memanusiakan Manusia. Artinya, yang utama adalah keselamatan hidup manusia yang mustahil tanpa berketuhananan. Hakekatnya, Allahlah yang utama.

Maka, mengapa kita mesti ribut-ribut soal Pancasila? Bahkan saya berani meyakinkan diri saya, lebih yakin dari yang ribut-ribut itu, bahwa sesungguhnya rumusan Pancasila dalam Piagam Jakarta pun, bagi setiap pribadi muslim asasinya memang masih begitu. Tidak ada yang merubah. Tidak pernah berubah. Tidak pernah ada kalimat yang dihilangkan. Gak perlu dikembalikan juga. Kalau ada yang tepuk dada telah berhasil menghilangkan kalimat itu, jatuh bodohlah ia. Pembohong besar! Artinya ketika kita membaca sila-sila pancasila sampai kapanpun, syariat Islamnya tetap akan jadi kewajiban hidup setiap muslim. Maka sebagai teks terbuka, yang lima sila sekarang inilah yang tepat. Tafsirnya, semua sila dari Pancasila kita dijiwai oleh ketuhananan Yang Maha Esa.

Bermula dari berulang-ulang membahas di acara Apresiasi Seni Radio, soal manfaat lagu Kembali Ke Jakarta (Koesplus) sejak tahun 90-an. Sampai saya membuka ruang komunikasi lewat group FB, Komunitas Kembali Ke Jakarta. Nampaknya spirit Kembali Ke Jakarta sebagai semangat nasionalisme itu, tidak akan pernah bersebrangan dengan sudut pandang saya sebagai muslim atas Pancasila dalam Piagam Jakarta. Bahkan yang tidak ber-KTP Islam pun bisa menangkapnya secara leluasa.

Hidup PANCASILA!

Gilang Teguh Pambudi

Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG

TEU HONCEWANG