KALIMAT JAKARTA DAN REALITAS AHOK

Kirang kumaha cobi, Lur.

Aku teriakin. Dari pra-kemerdekaan. Budi Utomo, BPUPKI dll, mayoritas muslim di situ. Sampai ke hari H Kemerdekaan. Lalu dengan membawa Pancasila (piagam Jakarta) dan UUD-45, kita terus memproduksi undang-undang.

Jentre-tre! Mayoritas muslim dengan bismilahnya yang memimpin, menandatangani, dan penentu dengan suara terbanyak. Maka kubilang secara tersirat, Muslim Indonesia itu Mandor Besar. Ayah Besar. Maka saya bilang pantes pisan mun presiden, gubernur, bupatinya saumur-umur muslim. Kecuali di daerah yang mayoritasnya non-muslim. Logis aja. Tapi hak calon tetep sama.

Nah, Ahok termasuk mendapati keberuntungan dari hak yang sama itu. Padahal realitas cagub sebelum-sebelumnya, dan prediksi cagub-cagub yad, sungguh sulit non-muslim jadi gubernur DKI. Itu harus dilihat sebagai logika sosial saja. Bukan fanatisme sempit.

Oleh karena itu kalau Ahok-Djarot kepilih lagi. Ya biarlah. Itu "kalimat jadi". Masa Sang Mandor Besar kaga tahu? Lalu nitis kemana ilmu para ulama dan para pahlawan?

Mangkanya, kalau ada yang berlebih-lebihan benci dan menolak 'realitas Ahok', seperti belakangan ini, itu malah gak enak buat sejarah kontribusi pemikiran mukmin muslim di Indonesia. Sebagai sesuatu yang kepalang terjadi. Tidak akan terbeli suasananya meskipun hari ini kita berbondong-bondong menyebrangkan para non-muslim, panas-hujan kita berdiri di pinggir jalan. Karena itu akan dinilai pragmatis. Bukan begitu cara mesranya.

Terkecuali kalau dengan bukti dan tegas diputuskan bahwa Ahok korupsi, misalnya, lalu Ahok ditahan dan langsung diberhentikan dari jabatan gubernur, semua pasti akan diam.

-----
Kita punya sejarah. Positif negatif amatannya.

Kehadiran Raja (pemimpin) selalu diharapkan sebagai kehadiran 'Tuhan'. Maksudnya, mewakili Allah di bumi manusia. Itu sebabnya di jaman dulu raja-raja identik dengan titisan dewa-dewa langit. Lalu eksistensinya melahirkan candi-candi besar yang menakjubkan.

Dari sisi positif kita melihat. Ada harapan, dari yang mayoritas itu, muncul seorang Raja (presiden/pemimpin) yang mewakili Allah, bermufakat membangun kesejahteraan lahir batin. Inilah titik tolak mengapa yang mayoritas menginginkan kalimat tebal, kemudahan berkoordinasi. Ditambah dengan kalimat, berdiri sejajar dan melindungi minoritas.

Tetapi dalam kasus Ahok, seperti catatan saya di awal. Ini logika sosial. Konsekuensi. Komitmen. Kemanusiaan yang beradab dan berketuhanan YME. Lebaran negara konstitusi. Negara hukum.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG