TIMNAS SEMANGAT PAKANSARI, 312

(siapa menolak sejarah Semangat 312?)

Kenapa tidak di Gelora Bung Karno (GBK)? Tentu ada masalah teknisnya. Tetapi itu malah bagus. Daya juang era-Jokowi tidak harus selalu pake merk Bung Karno. Karena nama dan nasionalisme proklamator itu sudah kadung besar dengan sendirinya dalam wacana nasionalisme pengusungan Presiden Jokowi. PAKANSARI kali ini justru terasa seru dan sarat makna. Berbeda dengan era Gus Dur dan Ibu Megawati ketika mulai mengangkat perlunya nama Gelora Bung Karno menggantikan nama Gelora Senayan.

312 adalah momen penting. Apa pasal? Karena belakangan orang mulai lupa nilai-nilai keindonesiaan itu apa? Atau lupa simbul-simbul yang bisa dpakai dan dipertahankan sebagai media penyampai pesan keindonesiaan itu apa?

Ya, timnas sepakbola yang dikerumuni pencintanya sejak Indonesia merdeka adalah media promosi keindonesiaan itu kepada dunia, setelah lebih dulu diyakini sebagai media pemersatu kecintaan pada bangsa dan negara di dalam negri. Melalui keikutsertaannya di berbagai perhelatan sepakbola ASEAN, ASIA dan DUNIA, Indonesia menunjukkan eksistensinya. Menyatakan, kami sebuah bangsa yang ada, kami hadir. Bukan sekadar membuat kalimat, tim kami ikut main.

Karena itu dari kacamata dan parameter kehadiran itu, kalah menang dalam sepakbola bukan nomor utama, meskipun penting untuk semakin mengenalkan harga nama Indonesia. Pengalaman ini dilalui oleh semua negara-negara, terutama yang baru merdeka.

Tanggal 312, hadir ketika bangsa ini ramai bicara pentingnya nasionalisme itu, pentingnya keindonesiaan itu. Terjadi perdebatan tentang kepemimpinan nasional dan daerah. Terjadi kesadaran pentingnya memahami lagi kegotong-royongan dalam prinsip ber-bhineka tunggal ika. Terjadi peristiwa kolektif, saat PILKADA serentak, bahwa demokrasi itu harus konstitusional karena Indonesia negara hukum. Juga soal menjaga persatuan kesatuan NKRI. Dll. Pada momen itulah persepakbolaan, tepatnya timnas pada momen 312 mampu membuka wacana keindonesiaan itu. Sampai presidenpun perlu hadir di stadiun, demi sepakbola dan demi Indonesia. Apalagi leg 312 adalah putaran semifinal dengan kemenangan mutlak. Titik balik sebuah kesadaran berkompetisi yang nyaman. Seperti Indonesia juga butuh kenyamanan, bahkan tanpa intervensi pihak manapun.

Kode 312, bukan cuma soal bola, keduniaan semata, tetapi lebih mendasar dari itu, yaitu soal kebangsaan yang dirahmati Tuhan YME, Allah Swt. Saking pentingnya nilai-nilai yang sedang diangkat, bahkan ketika timnas lolos ke babak final, pada leg final pertama wakil presiden pun harus hadir di lapangan. Sementata presiden Jokowi dari negara orang masih memantau lewat live streaming internet. Kenapa? Selain karena soal harapan atas prestasi, sungguh penting memahami rahasia sentrum eksistensi keindonesiaan di situ.

Sampai-sampai saya perlu meluruskan. Gagap keindonesiaan itu muncul dengan banyak kalimat viral di media sosial, salahsatunya, "Lihatlah para pemain bola, tidak penting apa agama kaptennya". Sepintas ini benar tetapi sesungguhnya ada kelirunya. Kebhinekaan dalam timnas memang diwujudkan dengan seluruh elemen bangsa bisa menjadi pemain atau pelatih. Bahkan dalam kontek kemanusiaan, pelatih asal Belanda pun boleh dipakai. Tetapi membaca politik kepemimpinan Indonesia harus hati-hati, ada aturan mainnya, tanpa mengabaikan humanisme universal itu sebagaimana diisyaratkan tim sepakbola itu.

Bahkan di media sosial ada juga tulisan-tulisan semisal, saatnya krikil mujahid mengalahkan pasukan bergajah (kafir Abrahah). Kalimat yang mengandung landasan pemikiran yang kurang intelektual. Jelas tidak nyaman kalau timnas Gajah Putih Thailand diidentikkan dengan Tentara Bergajah Abrahah yang menyerang Baitullah.

Dalam demokrasi Indonesia, semua, siapa saja, di Barat atau di Timur, punya kedudukan yang sama di dalam hukum. Oleh karena itu segala sesuatu harus konstitusional. Seseorang yang Islam dan seseorang yamg Kristen, misalnya, boleh saja  mencalonkan diri dan menjadi presiden RI. Boleh. Tetapi jangan salahkan kalau mayoritas muslim berharap, yang mayoritas menginginkan presidennya atau kepala daerahnya muslim. Ini halal. Yang penting prosedurnya konstitusional.

Saya pribadi dari tahun 1987 sebagai muslim sudah berharap presiden Indonesia memang sangat pantas seorang muslim. Tetapi pasti dicurigai oleh era Orde Baru, karena pemikiran itu berarti: bisa Pak Harto bisa muslim yang lain. Yang penting muslim. Kenapa? Sebab saat itu serba sensitif. Padahal saya juga pro-Soeharto. Kecuali kalau memungkinkan yang lebih bagus dari dia di tahun-tahun itu.

Artinya, masyarakat boleh terbuka membaca agama, termasuk membahas agama presiden atau gubernurnya. Gak apa-apa. Yang penting prosedur demokrasinya konstitusional. Ada kesepahaman. Ada saling cinta, saling melindungi. Apalagi antara yang mayoritas dan minoritas. Ada kegotong-royongan. Dan timnas selalu mengisyaratkan untuk cinta kebhinekaan Indonesia.

Kebetulan pada momen 312 itu suasanan DKI Jakarta, sebagai supremasi keindonesiaan karena berstatus ibukota negara, sedang menggelar PILKADA. Maka wacana demokrasi yang konstitusional dan kebhinekaan itu sangat mengemuka. Ditambah lagi berada pada kisaran momen hari toleransi sedunia. Apalagi baru pertamakalinya dalam sejarah punya gubernur non-muslim meskipun mayoritas masyarakat DKI Jakarta adalah muslim. Bahkan gubernur ini disahkan kembali maju sebagai calon gubernur untuk peride berikutnya.

Dari kisaran waktu 312 hingga babak final puncak piala AFF 2016 di Thailand, suasana di Indonesia juga masih diwarnai ledakan bom teroris. Selain juga secara kemanusiaan kita berduka atas ratusan korban meninggal akibat bencana gempa bumi di Aceh dan juga meninggalnya para pemain sepakbola Brazil karena kecelakaan pesawat terbang. Kita perlu membuka kesadaran atas sepakbola dan kemanusiaan. Ini momen.

312 akhirnya adalah sebuah kode sejarah. Untuk persepakbolaan sekaligus untuk keindonesiaan kita. Dengan istilah, untuk semangat garuda (PANCASILA) pantang menyerah, SEMANGAT 312. Setelah jauh hari sebelumnya presiden menyebut perlunya reformasi persepakbolaan Indonesia termasuk organisasi pengurusya, di leg 312 presiden bola Indonesia ini juga menyebut, "Ini awal yang baik". Tentu baik untuk kontek pertandingan berikutnya, sekaligus baik untuk membangun kesadaran, wacana dan semangat persepakbolaan di masa yang akan datang. Apalagi ini era kembalinya tim nasional setelah terkena sangsi FIFA karena keberanian proses reformasi itu.

Kalau kita jujur, dari semua presiden Indonesia, baru presiden Jokowi yang 'gerakan bolanya' menonjol. Bahkan dia berusaha menempatkan diri sebagai penonton yang antusias hari ini, tetapi juga berfikir strategis ke depan. Di tengah 'dunia bola' melihat semua persoalan, termasuk yang bersifat eklusif, prestasi sepakbola nasional.  Urusan bola memang tidak melulu soal menang dan piala. Tetapi melingkupi banyak aspek yang harus konsisten dijaga dan diperjuangkan.

Ketika ada penyiar tv menyebut, kemungkinan presiden pun akan terbang untuk menyaksikan final tandang, partai puncak, Thailand vs timnas, saya berkeyakinan dalam hati, "Kalau benar, sebagai penyemangat itu bagus. Tetapi bukan hal yang sangat penting. Karena momen utamanya sudah dibangun pada hari-hari sebelumnya. Kita satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air. Berusaha mengukir prestasi (termasuk dari ajang sepakbola) untuk mengharumkan bangsa dan negara adalah karena eksistensi bangsa dan negara kita. Bangsa yang nasionalis relijius. Berketuhanan Yang Maha Esa.  Bagaimana tidak, presiden sudi hadir di stadiun justru di babak semifinal yang masih berkemungkinan timnas tersisih sebelum puncak".

Ada yang tak kalah menarik menurut saya. Ini jelas bukan cuma soal pesta. Karena timnas juga berada pada prestasi ke 5x runners up. Waktu rombongan mereka pulang dari negri gajah putih itu, di bandara disambut spesial oleh Menpora. Keesokan harianya diundang Presiden ke Istana dan dianugrahi bonus. Jelas, ini garis dasar dan penebalan huruf nasionalisme di situ. Misi yang sempurna!

Kita tengok ke belakang. Ketika gegap gempita kita menyambut kemenangan timnas U-19 (cikal bakal timnas senior) di partai puncak. Tanpa mengurangi sukacita kita, saat itu para pengamat dan 'penggila' bola teriak-teriak, mana prestasi seniornya, masa kalah dari yunior? Atau berkomentar, semoga ini pemicu semangat untuk prestasi di tingkat senior. Artinya, berada di tengah sukses tim senior adalah momen penting. Lebih penting lagi kalau di tengah timnas garuda, kita merasakan pentingnya memahami dan menyelesaikan semua hal yang semestinya. Apalagi timnas bisa dipakai sebagai simbul pemersatu. Siapapun punya peluang untuk masuk timnas asalkan sesuai dengan kebutuhan tim saat ini atau di masa yang akan datang. Selamanya. Tanpa batas. Sehingga SEMANGAT 312 sering saya sebut sebagai SEMANGAT 312 TANPA JILID. Karena garuda (PANCASILA) harus terbang gagah mengangkasa ke mana-mana, berada di mana-mana, selamanya.

Lalu siapa menolak 312 yang aura semangatnya saya (kita) rasakan sejak jauh sebelum tanggal 312: "Ayo dukung Indonesia. Ayo dukung timnas. Ayo dukung semangat 312!" sebab secara prestasi, selalu atau sering masuk semifinal saja adalah sebuah prestasi, apalagi sampai jadi juara atau runners up, apalagi di tengah persoalan sepakbola yang sedang sulit dan perlu reformasi, apalagi karena pentingnya banyak persoalan vital di situ.

Final piala AFF 2016 juga menjadi waktu yang tepat ketika kita menerjemahkan arti profesional kartu kuning di laga puncak yang diterima oleh seorang pemain Indonesia. Kartu kuning itu boleh diterjemahkan versi Undang-Undang Lapangan Hijau: bisa menghalangi laju lawan asal tidak berniat untuk mencederai. Tetapi resikonya kartu kuning atau kartu merah. Tetapi tentu saja, versi peraturan ini tidak boleh berlaku di tengah kehidupan masyarakat dan politik tanah air. Bagaimana mungkin kita bisa melanggar ini dan itu asalkan tidak ada korban cedera, apalagi meninggal?

Terakhir ingin pula saya katakan, berbeda dengan negara-negara bola yang justru sepakbolanya dicintai dan ditonton oleh sebagian kecil warga negaranya, meskipun memenuhi stadiun, tetapi di Indonesia mayoritas masyarakatnya pencinta bola. Bahkan sepakbola sudah menjadi kegiatan dan tontonan masyarakat di seluruh kampung (kota dan desa) seindonesia. Sepakbola adalah juga bahasa.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

#GNPSIndonesia
#affsuzukicup
#pssi
#timnasjuara
#timnasday
#rumahlembang


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG