WASPADA ATHEIS

KETIKA TUHANMU ABU-ABU?

Ini jaman pemikir mudah mengajak untuk atheis. Tidak bertuhan. Tanpa harus melihat komunisme. Lebih kepada cara hidup masyarakat. Soal ketidakcocokan pada komunisme, cukup kita tengahi dengan keyakinan, tidak ada urusan dengan pengaruh asing yang tidak manfaat.

Setidaknya pengaruh atau virus negatif itu dengan dua cara. Cara pertama, jelas dikatakan, sebenarnya Tuhan itu tidak ada. Yang ada cuma urusan kepentingan sesama manusia. Cara kedua, mengakui Tuhan ada tetapi menolak agama. Padahal pendekatan ketuhanan itu melalui agama yang lurus. Agama artinya, anti kacau, anti salah, berorientasi kepada benar dan mulia, meskipun universalitas di situ 'multi-tafsir yang tunggal'. Kecuali murtad.

Tetapi bagi kaum atheis, sekali lagi tidak selalu harus komunis, cukup anggap saja Tuhan ada tapi tanpa kepentingan apapun. Tuhan tinggal nama. Tetapi masih berguna untuk mengumpulkan manusia bertuhan (yang percaya kepada Tuhan) pada waktunya. Apalagi untuk pragmatisme organisasi politik. Eksistensi Tuhan sebenarnya menjadi di-abu-abu-kan, dan masyarakat pengikutnya sesungguhnya sedang gamang.

-----
walaupun kau
patahkan kaki-kakiku
setia aku berjalan
dengan mata hati

ketika kau culik
anak-cucuku
aku menanti dari rindu
yang tak pernah mati
--- #PuisiPendekIndonesia

Kadang ada kecurigaan yang besar membaca dua pola yang bahkan merayapi badan birokrasi, tubuh pemerintahan, yang tembus mulus ke lembaga-lembaga masyarakat, sampai ke lembaga informal keluarga, bahkan pendirian pribadi. Pola pertama, tentang pemikiran, bahwa sesungguhnya Allah itu tidak ada. Tak patut pusing-pusing. Padahal korbannya berbahaya, berbentuk pelanggaran-pelamggaran hukum atas nama hak hidup manusia. Tak ubahnya hak hidup binatang saja jadinya. Seperti kucing-kucing liar. Pola kedua, anggapan Tuhan ada, tetapi cukup disimbulkan saja, karena selain rumit jalan menuju Allah itu, toh ujung-ujungnya kemauan manusialah yang dianggap menentukan hari ini dan masa depan. Sungguh memprihatinkan. Pembelaan terhadap syariat agama pun sering terlihat pragmatis, semisal memberi ruang palsu, karena ada 'yang ditunggu'. Dan pihak 'yang ditunggu' tak mau tahu.

-----
bahkan
Siliwangi 'ngaping maung'
kau terjemahkan
memelihara tangan kanan
menggembala preman
sungguh jauh dari Musa
dari Isa
padahal hitam, putih dan lorengnya
adalah budaya
bukan ibukota sorga sekaligus neraka
------

Sebuah karikatur coba dijual kepada jaman yang gersang. "Kalau kutembak mata kakimu sekarang, berteriaklah minta tolong kepada Tuhan. Apakah dia datang menolong? Pada saat yang tepat?". Ucapan itu berakhir pada titik, ketika tembakan diletuskan dan mengenai sasaran. Dan perumpamaan ini menjadi dalil panjang. Hingga tidak terasa terus membuat Tuhan hilang dalam segala-gala. Bahkan anak tak mau berbapak. Bapak durhaka kepada anaknya. Ibu kandung dibunuh. Anak-anak diperkosa. Para pekerja adalah budak. Lembaga-lembaga itu cuma soal peluang, kerja dan uang semata. Tawuran di atasnamakan kekuatan kelompok. Pendidikan hanya hitungan lama belajar dan gelar. Bahkan berpacaran, bercinta, diartikan penguasaan, penindasan, penyiksaan pasangan atau pembunuhan. Segaris dengan 'budaya grebek' yang non-prosedural, 'OTT' yang gagap, entah merujuk dalil yang mana. Tanpa kalimat langit. Kecuali berangkat dari kekejian penafsiran.

----
rakyatku,
kata jiwa raksasaku,
nyawa dan tubuh-tubuh semua,
panggilah Allah sekali ini saja
sampai kau heran
berabad-abad ia di depanmu
dan kau tak melihatnya
-----

Aku teringat teman-temanku yang dari semula orang baik-baik. Kalau mereka melihat orang yang berprinsip, "sing penting apik". Yang penting hidup baik-baik sebagai orang baik. Lalu pertanyaannya, mengapa susah-susah amat mengakui yang dekat? Ketika kebaikan itu begitu besar arti adabnya, mengapa untuk menyebut Yang Maha Baik telah membukakan rahasia itu, kita begitu sulit? Begitu angkuh dan sombong? Untuk menyebut, jalan atau proses memahami itu adalah cara (agama) yang lurus, kenapa kita jadi rumit, berbelit-belit? Maka bukan uji materi soal agama (jalan lurus) yang penting, tetapi uji kesungguhan sebagai manusia, itu yang mendesak.

Dan bukan soal agama yang disamaratakan. Itu pragmatis. Sensasi sesaat. Justru agama yang lurus itu cuma satu. Langit luas, langit tinggi. Tak bertepi. Abadi. Hak Allah menyebut Islam (jalan keselamatan), atau sebutan-sebutan yang berarti Islam itu, seperti yang dipakai sejak Nur-Muhammad SAW dan Nabi Adam AS.

Menyamaratakan semua yang diberi merk/label agama itu dosa besar. Bid'ah. Sesuatu yang baru, yang diada-adakan. Dipaksakan. Padahal tidak akan pernah ada di langit Allah. Dampak penyamarataan agama itu misalnya, kita  tidak akan pernah bisa menolak jika suatu ketika ada ajaran sesat atau muncul suatu agama yang merusak sendi kehidupan manusia.

Apakah kau menyebut keyakinanmu, caramu, hikmah dan kebijaksanaanmu, pendekatanmu, segala-galamu, jalan yang lurus? Maka, berterus teranglah kepada Tuhan. Karena Allah Maha Terang Terus.

(SUATU SAAT AKU TERUSIN BRO)

Gilang Teguh Pambudi

Cannadrama.blogspot.com 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG