JILBAB DANCER
Dalam #SajakCekakBosoJowo saya menulis:
takonono
tukonono
Dalam tafsir bebas bahasa Indonesia artinya:
tanyailah
belilah
Puisi itu terinspirasi setelah saya menelusur internet. Banyak video penari berjilbab mulai dari umur TK sampai SMA, ibu-ibu, bahkan para pembantu rumah tangga. Itu fenomena. Fenomena yang bisa diserap enerji positifnya.
Jauh waktu sebelumnya, sejak tahun 1998 saya vokal di acara Apresiasi Seni di Radio, bagaimana bisa berkembang senibudaya Islam, kalau semodel tari jaipongan banyak dipropagandakan haram? Padahal yang berjilbab pun bisa tertarik dan tetap bisa menari jaipong dan semua tari tradisi ketika para penarinya merasa halal-halal saja.
Soal pakaiannya yang konon terlalu ketat bisa dilihat dari dua sisi. Pertama, penyesuaian pakaian/gaun tari bisa dilakukan secara fleksibel dan kreatif. Kedua, pertunjukkan Qosidah pun sebagai lipstik di gerbang kegiatan budaya Islam bisa tampak eksotik meskipun nampak seksi.
Dengan melihat dua sisi itu, jilbab menari tradisi yang seksi, bisa dikatagorikan lipstik di pintu dakwah juga. Hiburan santri versi lain. Hiburan panggung universal. Adapun penyesuaian longgar dan ketatnya gaun, bisa dikondisikan sesuai ruang dan waktunya.
Tetapi kalau jaipongan, ketuk tilu, dll saja sudah dicap haram, itu bisa mematikan pihak kreatif untuk menyentuhnya dengan alasan 'ragu dengan konsekuensi sosialnya'. Meskipun hak sementara pihak untuk mengharamkannya dalam kedalaman kontemplasi keagamaannya. Semacam paham tarikat tertentu. Cara pendekatannya kepada Allah SWT. Itu hak halal.
Kalaupun ada yang maju, berjilbab menari jaipong dengan argumentasi, menyelamatkan jaipong dll, itu akan memasuki tafsir terbuka juga. Memasuki ruang komunikasi senibudaya. Di satu sisi ada pihak kreatif berjilbab menari sambil meluruskan, di sisi lain ada pihak penari yang tidak berjilbab yang konsisten dengan gerakan penradisian tari dengan hujah, yang penting halal.
Maka titik temunya, yang penting tari tradisi harus meninggalkan peluang masuknya unsur-unsur maksiat. Berjilbab ataupun tidak. Dan, tidak bisa menyebut goyang, gitek, geol dan 'gilang' adalah petaka. Tergantung apa, bagaimana, di mana, dalam rangka apa dst. Eksotisitas panggung yang juga disukai dunia pariwisata dan promosi itu juga bentuk kemurahan Allah SWT.
Maka daripada para penari berjilbab itu kehilangan arah antara halal dan haram, gamang, lebih baik tanyailah (pake ilmu, jangan pakai pertanyaan), lalu belilah!
Maka daripada penari tradisi yang berkebaya dan bersanggul itu dibantai haram, tanyailah baiknya, belilah baiknya!
Apalagi di ruang pendidikan. TK sampai SMA, tari cenderung sebagai sarana pengenalan dan kecintaan pada khazanah kebhinekaan Nusantara. Tidak langsung ke arah maksud jualan tari.
Tari juga sebuah metode, untuk penyampaian banyak pesan baik. Pesan moral.
Edukasi melalui sanggar tari bisa ditafsirkan, setidaknya sebagai pusat kegiatan positif.
Maka saya pernah dihibur Tuhan dengan banyak tarian. Beberapa di antaranya: Pertama, umur kelas 4 SD baru pindah dari Jawa Tengah ke Jawa Barat pernah belajar jaipong. Kedua, sejak umur SMA saya biasa jadi panitia/MC Agustusan yang dari sore hingga malam hari bisa mementaskan lebih dari 50 tari anak-anak, sebagian tari jaipong.
Ketiga, di suatu panggung seni, ada pertunjukan tari jaipong dari ahwat berjilbab. Saya nikmati benar. Menarik sebagai sebuah pertunjukan. Entertainer. Ketika penari itu turun, yang pertama dia datangi adalah saya. Saya kaget, ternyata dia anak teater saya yang di panggung itu terbias cahaya lampu, gaun dan kosmetik.
Keempat, ketika Musda PRSSNI di Cianjur. Acara dibuka dengan tari jaipong. Saya fikir, wah ini seperti sambutan untuk saya pribadi.
Kelima, waktu saya menjadi narasumber/juri audisi bintang JatiluhurTV. Di minggu kesekian, muncul penjeda acara, tari jaipong. Wah saya banget. Bisik saya pada diri sendiri.
Keenam, waktu mengantar anak mengambil piala juara cipta puisi Surat Kabar Pikiran Rakyat ke satu hotel di Bandung. Acara itu dibuka dengan tari jaipong yang sangat memukau. Sampai saya videokan.
Ketujuh, waktu saya jadi narasumber Acara Bulan Bahasa di sebuah sekolah di Pondok Pesantren Al-Muhajirin. Acara itu dipungkas dengan pertunjukkan, Jilbab Dance. Bercadar pula.
Saya berucap, terimakasih Ya Allah.
Kalau ada yang bertanya, apakah proses kreatif seni saya berkepentingan dengan tari? Setahu saya, hampir semua pertunjukan teater yang saya sutradarai dari tahun 1989 selalu ada tariannya. Apalagi remaja SMA dan anak muda suka itu. Apalagi di panggung entertain radio, sisipan tari sudah biasa.
Di akhir catatan pendek ini masih ingin saya tulis, bahwa yang menari janger, jaipong, tayub, Lengger, bedoyo, gandrung, dolalak, saman, jaran kepang, dll adalah presiden, gubernur, Bupati dan semua tokoh masyarakat Indonesia.
takonono tukonono (tanyailah belilah), memang bukan rumus untuk tarian saja. Semisal tari juga tidak menjadi bahasa/cara terpisah dari segala bahasa/cara. Dia mesti representasi semua bahasa.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar