KARAKTER MANUSIA KOMUNITAS

Kita harus belajar kepada kebaikan seorang Rendra. Dia pernah bekerja secara kusus di dalam sanggarnya. Di dalam komunitasnya. Tetapi ketika yang menjadi amggota kelompoknya itu juga menjadi anggota kelompok lain, atau membangun sanggar sendiri-sendiri, ia akan menganggap itu sebagai kemerdekaan manusia kreatif. Yang penting, selalu ada komitmen dan konsekuensi saat ada perencanaan yang sudah dibicarakan.

Ketika saya memiliki sebuah komunitas di Bandung, anggota komunitasnya juga aktif di mana-mana, ada yang punya kelompok sendiri juga. Wajar. Sebab siapa sih yang paling aktor? Yang paling penyair? Yang paling jagoan di kampung? Gak penting! Kelompok mana yang paling gangster? Malah lucu dalam wacana pluralitas masyarakat.

Semua dengan kelompoknya memiliki program yang mengasyikkan, humanis, dan harus dinamis sesuai tantangan yang ada. Bahkan saya pernah memanggil beberapa teman lalu berkata, aku punya gagasan bagus,  nama kelompoknya anu, kamu yang pimpin. Kamu jalan sendiri. Kalau mau konsultasi macam-macam oke. Begitu pula ketika di suatu mesjid gak ada Kelompok Remaja Mesjidnya. Aku temui DKM, aku temui ketua RW, lalu aku tunjuk satu orang yang pantas untuk memulai. Dari situ kelompok itu muncul, mulai dari satu orang, tujuh orang dst. Sementara kalau aku mau, aku bisa datang ke mesjid yang lainnya lagi.

Untuk sekolah, kubilang di beberapa diskusi, kenapa tidak diperkenalkan pripsip-prinsip, belajar dari 1000 komunitas/kelompok. Coba kita intip hobi pelajar usia SMP yang masing-masing memiliki lebih dari 5 siswa yang satu selera. Sepakbola, voli, bulu tangkis, catur, basket,  teater, sastra, musik, gambar, karikatur, tari tadisi, modance, marawis/nasid, kerajinan tangan, karya ilmiah, pramuka, osis, pmr, pecinta alam, paskibra, drumband, remaja mesjid, koperasi siswa, dst. Saya hitung-hitung, kalau mau dibuat '1000' kelompok kusus di satu SMA, itu bisa. Apalagi kalau untuk memecah jumlah anggota kelompok yang terlalu gemuk, dalam satu sekolah kelompok teaternya bisa ada 6. Ada teater Oh, teater No, teater Yes, teater OK, teater Huh, dan teater Hah. Kelompok musiknya bisa ada 12.  Gunanya? Tentu untuk membiasakan diri muncul di tengah kelompok yang berbeda-beda, atau sama tetapi bersaing, yang semuanya bisa terfahami sebagai hal normal di masyarakat.

Di satu Kabupaten misalnya, ada 7 organ tunggal, 3 sanggar jaipong, 4 kelompok sepeda, 7 sanggar teater, 2 sekolah sepakbola, ratusan organisasi remaja dan pemuda, dan minimal ada 1 majlis taklim di tiap RW, kan wajar saja? Ada juga organisasi keagamaan dan kelompok suku yang berbeda. Di Bandung misalnya, kelompok silaturahmi Bangka dll kan ada sejak puluhan tahun silam.

Dalam hal pemanusiaan manusia dan menghargai potensinya, berikut peluang suksesnya, aku punya kisah menarik. Suatu hari sambil tandatangan proposal aku diskusi dengan Manajer Telkomsel di kota Sukabumi. Kataku, "Parahnya, tidak seorang pimpinan perusahaanpun yang legowo melepas karyawannya pindah ke perusahaan lain demi membawa potensi suksesnya. Itu hak azasi. Itu memanusiakan manusia. Peluang sukses itu bisa datang tiba-tiba'. Trus kataku lagi, " Padahal, pimpinan perusahaan yang akan ditinggal anak buahnya itu bisa berwasiat, di sini kamu cuma dapat ini, cuma karyawan biasa, di sana dapat tempat dan fasilitas. Maju terus. Itu jalan Tuhan. Tapi kalau gagal di sana, aku masih butuh kamu, kecuali kalau tempatmu di sini sudah ada yang mengisi". Demi mendengar itu sang Manajer tertawa. Menurutku, negara-negara maju memikirkan ini. Sebab ada jutaan sukses di jutaan perusahaan yang ada, atas nama potensi manusia dan Tuhan.

Mangkanya, kepada teman-teman di Purwakarta dll, sambil minum kopi kukatakan, "Potensi dan prestasi manusia itu berkah Allah. Jiwa kepemimpinan dan sikap membangun itu mahal sekali. Termasuk membangun pemikiran. Wacana positif.  Jadi kalau ada yang merasa gagal jadi bupati, minimal buatlah komunitas yang berpengaruh di kabupaten itu. Jadilah pemimpin yang membangun dan mencerahkan. Karena Allah memanggil dan masyarakat menanti". Masalahnya, belajarlah pula dari organisasi-organisasi manusia yang beragam itu. Kita harus bersama mendewasakan diri. Apalagi di tengah persaingan organsasi politik, dibutuhkan kematangan sikap warga masyarakat yang punya kecenderungan mendukung partai yang berbeda-beda.

Upaya penularan berfikir positif memang tidak selalu harus dengan cara menjadi pimpinan organisasi atau ketua panitia kegiatan. Melibatkan diri dalam suatu kegiatan terpilih juga penting. Mangkanya, dalam lomba teater atau baca puisi, sebaiknya jangan cuma dianggap lomba. Soal lomba nomor sekian. Tetapi jadikan sarana pementasan, tampil, menyampaikan aspirasi. 

Aku punya empat contoh. Pertama, tahun 1991 aku ikut lomba pidato NKKBS piala Bupati Udin Koswara di kota Sukabumi. Aku ketua karang taruna kelurahan Cikole saat itu. Walaupun cuma juara 3, tapi itu penting untuk jihadku. Karena saat itu ada yang menganggap KB itu haram. Kataku, KB adalah satu solusi dari banyak solusi, bukan paksaan, tapi penting. Yang melakukan dan sukses boleh dapat penghargaan. 

Kedua, di Jakarta aku melihat wacana sensitifitas agama yang bisa terlalu dibesar-besarkan, selain itu medan kerja gubernur Jakarta sangat besar. Maka aku ikut lomba menulis. Judul tulisanku yang juara 1 ketika itu, AHOK (Aku Hapuskan Orang-orang Korupsi). Soalnya, kalau sensitifitas isu agama bisa ditentramkan oleh orang-orang pintar, Kyai-Kyai mumpuni, biarlah orang semisal Ahok, atau tokoh-tokoh Jakarta lainnya di pos masing-masing, bekerja keras membangun ibukota dengan amanah dan benar. Itu wacana positif dari sensasi kecil, satu lomba.

Ketiga, di Bandung di sela-sela sebagai Programmer Radio Lita FM, aku diajak kerjasama oleh SMPN 47. Awalnya cuma kerjasama merekam naskah kabaret. Tapi kemudian aku dimohon jadi juri puisi dan sutradara teater. Penyair Ahda Imran juga sempat jadi juri di sini. Kenapa aku tertarik? Karena sebuah misi. Selama 3 tahun aku ikuti kegiatan itu, Pekan Muharom. Kufikir-fikir, dasyat kalau di seluruh sekolah se-Indonesia ada pekan Muharom atau Festival Muharom tiap tahun. Sarana memanusiakan manusia sebagai hamba Allah yang taat sekaligus berkesejahteraan dan berbagi bahagia.

Keempat, ceritanya begini. Walaupun bapakku lahir di Bogor dan tamat SMA di Bandung, karena dia lahir waktu kakekku yang 100% Jowo dinas polisi di Bogor, ... tetapi aku lahir di Curug Sewu Kendal Jawa Tengah waktu bapak jadi mandor besar perkebunan kopi. Sampai kelas 4 SD di sana. Sampai kami pindah ke perkebunan cengkeh di Sukabumi, Jawa Barat. Nah, gara-gara itu masyarakat menyebutku orang Jawa sampai sekarang. Walaupun di aula radio sering kuadakan pertunjukan wayang golek, calung, lomba karaoke pop Sunda dll orang menyebutku orang Jawa. Padahal sudah berwujud Siliwangi Asli. 

Untungnya di Purwakarta aku lumayan tertolong oleh piala bupati Dedi Mulyadi untuk jadi juri Baca Puisi Sunda. Ini satu acara yang inisiatifnya orang lain. Menjadi beda dengan semua pentas seni Sunda yang sudah aku adakan. Tolib Mubarok yang ngajak. Aku bersyukur karena rasa Sundaku diterima di situ. Ini pembelajaran untuk orang banyak. Bukankah ketua lomba tari jaipong bisa orang keturunan Batak, Ambon, atau keturunan Mexico dan Jepang? Apalagi kalau mereka sudah menguasai bahasa daerah dan keseniannya. Apalagi sudah kelas budayawan. Aku juga jadi juri jaipong saat era bupati Lili Hambali. Selain beberapa tahun bersama Ali Novel jadi juri seni Hari Lingkungan Hidup Sedunia.

(Sebagian tulisan)
Gilang Teguh Pambudi


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG