KHAS PENYAIR

Saya ingat pelatih teater Tarung Taring waktu masih berseragam putih abu dulu, Drs. Asep Sastra Djuhanda. Dia pernah bilang, dengan memberi kritik konstruktif kepada Iwan, anggota teater yang belakangan jadi pengajar seni di Bangkok Thailand, bahwa seorang pemain teater tidak perlu membawa gaya akting ke luar arena latihan atau ke luar panggung. Menurutnya, di masa-masa awal latihan itu Iwan punya kebiasaan begitu. Baik dari gaya bicara, pilihan bahasa maupun olah tubuhnya. Padahal akting panggung cuma kebutuhan panggung.

Kalaupun ditarik keluar panggung, adalah pada saat kita butuh memerankan sesuatu  karakter kuat ketika menguatkan komunikasi. Sebut saja ketika seseorang berkisah Siliwangi, maka totalitas mengekspresikan gaya bicara Siliwangi menurut interpretasinya dalam perbincangan itu bisa serupa dengan akting panggung. Meski cuma sesaat.

Selain itu, adalah ketika kita difoto. Baik di puncak bukit, tepi pantai, di atas batu karang, di atas kawah, di tengah laut, di taman, depan patung, di galengan sawah, dst. Bisanya seseorang yang sudah biasa latihan dan pentas teater, dia akan ekspresif di depan kamera. Kadang agak 'gila' juga. Baginya setiap jepretan kamera adalah ruang bermain peran.

Hal yang mirip juga terjadi pada para penyair dan aktivis komunitas baca sajak.

Karena sudah biasa berlatih dan naik panggung baca puisi, bahkan juga sudah jutaan kali baca puisi di meja kreatifnya di rumah, maka pada saat dikamera, ia biasa berakting supaya menunjukkan bahwa dia penyair. Intelek, nyeleneh, khas. Seperti apapun interpretasinya.

Terlebih-lebih ketika di suatu titik-titik tertentu ia merasa pantas dijepret kamera, baik sedang pura-pura ataupun sungguh-sungguh baca puisi di situ. Kalau perlu di kolong jembatan atau di atas pohon besar.

Apa yang saya ceritakan ini adalah ruang khas yng hampir tidak pernah diangkat ke permukaan oleh para manusia, bahkan para seniman.

Itu sebabnya ketika saya dan teman-teman memperkenalkan Wisata Sastra, di situ bisa hadir baca puisi, diskusi sastra, musikalisasi puisi, menggambar, teater, tari dan tidak ketinggalan fotografi.

Kami biasa saling mengambil gambar ketika bergantian baca puisi. Bahkan ada beberapa fotografer profesional juga hadir di lokasi Wisata Sastra. Sangat menarik dan menyenangkan.

Tapi tidak cuma pada saat baca puisi. Ini dasar sudah kebiasaan. Pada saat tidak baca puisi pun kadang kami keluarkan kertas atau buku tiba-tiba, tergantung insting, lalu berakting depan kamera pura-pura baca puisi. Itulah dunia fotografi. Punya dunianya yang bebas. Pun penyair dan pembaca puisi yang punya cara-cara.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG