NGARAK ONDEL-ONDEL

Saya tertarik pada ondel-ondel, seperti kebanyakan orang, sejak mendengar lagu Betawi yang lirik pertamanya, "Nyok kite ngarak ondel-ondel nyok...". Lagu yang sangat populer dinyanyikan oleh seniman legendaris Betawi, Benyamin Sueb.

Ketertarikan itu lebih lagi ketika sebagai narasumber acara Apresiasi Senibudaya di radio-radio saya merasa harus banyak tahu. Setidaknya secara umum dan prinsip.

Apalagi beberapa tahun terakhir saya ber-KTP DKI Jakarta. Di Kemayoran, satu wilayah dengan ibu kandung yang sudah di Jakarta sejak tahun 70-an.

Maka ketika beberapa tahun lalu istri saya membuat skripsi tentang metode cerita boneka untuk meningkatkan kemampuan bercerita pada anak, saya cerita banyak soal Indonesia yang menurut saya negeri boneka. Karena waktu itu istri juga guru PAUD dan TPA di Jakarta, maka otomatis saya sampaikan juga  hal-hal seputar ondel-ondel.

Mengapa Indonesia negri boneka? Sejak awal penyebaran agama Islam di Indonesia, para wali sudah biasa menyampaikan pesan dakwah melalui media wayang. Wayang menurut saya dapat dikatagorikan sebagai boneka Pipih atau boneka tipis.

Perjalanan wayang berikutnya sering ditanggap di mana-mana dengan ukuran, seorang dalang harus seorang yang ngerti agama atau Kyai. Meskipun pesan sosialnya bisa beragam. Bahkan pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru menjadikannya alat penyampai informasi pembangunan.

Selain wayang kulit, kita mengenal wujud Wayang Golek yang populer di Tatar Pasundan. Ini lebih jelas 100% berwujud boneka. Golek berarti boneka. Dalam bahasa Jawa (ternasuk di Cirebon di Jawa Barat), golek juga berarti mencari. Maka dalam terminologi Wayang Wali, wayang golek menyitrakan, proses pencarian, atau ritual perjalanan menuju pemahaman akan Keagungan dan kemenangan karena Gusti Allah.

Selain wayang (kulit dan golek) kita mengenal topeng dan tari topeng. Menurut saya topeng adalah bentuk boneka yang tidak sempurna, karena hanya berupa bentuk wajah. Tetapi dalam keadaan dipajang sebagai hiasan atau ditarikan, dia sama-sama punya pesan. Kalau tidak demikian, tidak ada yang mau beli topeng untuk dipajang di dinding atau di dalam etalase.

Apalagi topeng punya falsafah yang dalam. Saya katakan, seorang presiden atau bupati harus bertopeng petani, nelayan, buruh pabrik, supir, pedagang, penyair, desainer, penyanyi dangdut, penyanyi qosidah, penari tradisional, pegawai negri, polisi, kyai, dst. Tanpa itu ia tidak akan punya empatik, berpihak kepada rakyat.

Demikian pula ketika satu topeng sejenis dipakai tujuh orang, itulah membelah diri. Sehingga semua rakyat bisa bertopeng presiden. Masyarakat Jawa Barat bertopeng Siliwangi. Perpaduan semangat nasionalisme dan kearifan daerah.

Selain topeng dan wayang kita mengenal patung. Patung kita kenal sejak jaman dahulu. Bedanya dengan boneka yang bisa dibawa dan dimainkan, patung rata-rata berdiam di suatu tempat, terbuat dari batu (bahan keras) tetapi tetap bisa diimajinasikan dalam bentuk cerita. Dengan begitu patung juga media penyampai pesan. Termasuk patung-patung kecil yang dipasang di halaman rumah.

Lalu di Betawi kita lekat dengan ondel-ondel. Sebagai maskot ia melambangkan kota Jakarta. Sebagai pencitraan, ondel-ondel itu sebentuk perlambang sakral bahwa kunci kehidupan  masyarakat adalah kesejahteraan hidup lahir batin, sekeluarga, suami istri. Yang kemudian dinyanyikan Benyamin Sueb, "Ondel-ondel ade anakye".

ebagai karya senibudaya ia bisa di arak atau dipentaskan untuk mendulang uang sejak jaman lampau. Bisa menghibur buat yang menontonnya.

Sebagai bagian dari promosi, inilah yang menarik. Ondel-ondel bisa diarak dengan beragam cara. Tidak hanya melulu dengan cara konvensional di arak keliling Jakarta. Tetapi lebih dari itu, bisa keliling dunia.

Kita sering mendengar keluhan, sekarang ini yang ngarak ondel-ondel sering terlihat nelangsa. Orang-orang pinggiran yang kumal, ngarak ondel-ondel keliling Jakarta meminta saweran. Itulah sebuah kasus sosial. Ironis. Kontras dengan kondisi perkasa Metropolitan.

Masih untung itu cuma sepenggal kisah. Ondel-ondel yang lain tidak begitu cara ngaraknya. Biasanya ondel-ondel pentas/tampil di even-even besar yang rapih, berkelas, bahkan mewah. Selain itu ada juga pihak yang menyewakan ondel-ondel untuk dipajang di gerbang hajatan. Baik hajat masyarakat maupun hajat pemerintah dan swasta. Selain itu, ini menantang, pusat-pusat penyewaan alat pesta dan pelayan jasa dekorasi juga melayani pemasangan boneka ondel-ondel tanpa pemain.

Kita bisa menyimpulkan, bahwa kata ngarak ondel-ondel tidak cuma bisa ditafsirkan konvensional. Tetapi bisa ditafsirkan modern. Dengan cara apapun asal mengangkat citra DKI Jakarta dengan menggunakan lambang dan nilai maskot itu, itu sudah ngarak ondel-ondel. Termasuk menebarkan wacana tertulis ondel-ondel melalui koran, majalah maupun situs internet.

Tetapi pelestarian ibing ondel-ondel sepantasnya tetap terus lestari. Memang.

Selanjutnya kita ngaji ondel-ondel merah putih itu. Mengapa ondel-ondel berwarna merah dan putih?

Ondel-ondel merah untuk laki-laki. Suami. Ondel-ondel putih untuk wanita. Istri. Warna ini bukan untuk membedakan, justru untuk kesetaraan. Seperti saya uraikan dalam falsafah bendera Indonesia. Indonesia itu negara merah (berani karena benar), putihnya (kesuciannya) ada di merahnya. Tetapi negara kita juga negara putih, berorientasi pada kesucian, sedangkan merahnya sudah ada di dalam putihnya. Itulah kesetaraan. Kalaupun akan diumpamakan itu sebagai kode perbedaan, Indonesia sangat menghargai perbedaan pria-wanita, bahkan perbedaan suku, ras dan agama.

Ondel-ondel merah putih juga menunjukkan bahwa adat Betawi mengajari cara berindonesia yang harmonis, dimulai dari keharmonisan suami-istri, keluarga Indonesia. Ini kearifan yang sangat-sangat tinggi sekali. Ini merupakan pesan moral: semua anak manusia lahir dari sepasang pria-wanita. Maka kearifan ibukota sudah sejak lama menolak 'hubungan sejenis'. Kecuali kalau ada pihak yang punya niat ingkar sunah, sehingga konsistensi suami-istri itu cuma dianggap rekayasa dan tidak penting.

Sampai di sini kita menjadi merasa bertanggungjawab untuk melestarikan ondel-ondel, untuk mengaraknya dengan semua cara,  termasuk dengan menyimpan miniaturnya di meja guru dan di etalase rumah, untuk memanfaatkannya sebagai media nasehat dan hiburan.

"Nyok kite ngarak ondel-ondel nyok ....!".

Gilang Teguh Pambudi Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG