PANGGUNG PUISI PENDEK INDONESIA

Gairahnya bermula dari sastra tulis dan sastra lisan Nusantara yang serba pendek (singkat) penulisan atau penyampaiannya.

Bahkan di dunia cerita, kalau cerita singkat atau cerita humor singkat yang sangat jauh lebih pendek dari cerita pendek (cerpen)  saja lahir sebagai bentuk proses kreatif, kenapa puisi pendek atau puisi singkat tidak mungkin?

Tidak beralasan kalau rujukan puisi pendek hanya dengan membandingkannya dengan panjang puisi pada umumnya, apalagi dengan melihat halaman. Sebab seperempat halaman buku terbitan bagi puisi naratif itu banyak dan padat kata-katanya.

Maka menjelajah data sastra Nusantara lampau yang menginspirasi puisi pendek, serta melihat beberapa karya yang pernah dibuat dan dipublikasikan, puisi pendek adalah puisi singkat yang bisa dibaca dengan intonasi normal dalam setarik nafas. Dibaca cepat tetapi jelas intonasi dan maksudnya. Seperti yang lazim dilakukan oleh komunitas teater. Bahkan biasa diberikan sebagai praktek dasar siaran radio dan TV.

Tipografinya bebas, bisa memanjang perhuruf, suku kata, atau perkata-kata ke bawah. Atau memanjang ke samping selayaknya menulis cerita.

Haiku, sebagai puisi pendek, sastra berbahasa Jepang, memang punya pengaruh terhadap puisi pendek Indonesia belakangan ini, itu bukan pengaruh pertama dan utama. Sedangkan haiku berbahasa Indonesia (bukan terjemahan), dia termasuk ke dalam kelompok puisi pendek Indonesia.

Saya sendiri sejak menjadi narasumber senibudaya di radio-radio tahun 1991, selalu menyebut model puisi seperti itu sebagai puisi pendek. Termasuk ketika di radio Bandung memandu Apresiasi Seni bersama penyair Ahda Imran. Lalu seiring dengan komputerisasi di dunia radio (jelang tahun 2000-an), puisi-puisi pendek biasa dikirim ke layar monitor di ruang siaran via SMS. Maka disebut juga puisi SMS.  Serba singkat. Praktis. Singkat bentuknya, singkat nulisnya, singkat ngirimnya.

Secara normatif, keberadaban, puisi pendek saya sebut puisi sen. Kode singkat untuk maksud yang luas dan dalam.

Awal tahun 2001 saya baca puisi-puisi pendek di panggung seni di obyek wsata Situbuleud. Sebelum tahun-tahun program Wisata Sastra. Koordinator acaranya Ali Novel Magad. Setelah turun panggung saya kasih dua kumpulan puisi pendek berbeda kepada Ali Novel dan Budi Rahayu Tamsyah. Lalu ada yang berbisik, "Itu kumpulan haiku, Kang?" Saya jawab, "Bukan, ini puisi pendek Indonesia".

Pada tahun-tahun Wisata Sastra saya merasa puas membaca atau meneriakkan puisi-puisi pendek (yang kadang terdengar seperti pekik) di alam terbuka, di bawah pohon, dipinggir danau, dilindungi langit. Juga membacakan puisi-puisi pendek terjemahan, karya Rumi. Sampai-sampai Satpol PP datang. Disangka demo.

Tahukah anda bab  cara membaca puisi pendek? Hanya yang biasa membacanya yang tahu. Ini rahasia besar. Bisa lebih seru dari stand up comedy yang populer belakangan ini di Indonesia, dengan komunitas kampus se-Nusantara.

Saya buka rahasianya. Berbagi. Semoga segera diikuti oleh komunitas puisi pendek Indonesia se-Nusantara. Atau komunitas baca sajak seperti yang pernah saya sarankan kepada Tolib Mubarok. Boleh juga semisal komunitas Wisata Sastra.

Seorang pembaca puisi pendek, penyair, atau seorang pupenis (penulis puisi pendek), akan leluasa membaca lebih dari satu puisi ketika naik panggung, meskipun cuma 10 menit. Karena puisinya pendek-pendek. Hal yang runyam bagi pembaca puisi biasa. Nah, di sela-sela pembacaan puisi pendek itu si pembaca bisa bicara-bicara hal puisi yang baru saja dibaca atau yang segera akan dibaca. Bisa berorasi budaya. Bisa melucu, bermonolog, seperti main teater atau sambil pantomim. Dalam bahasa bodor Sunda disebut, ngacapruk loba gaya (banyak bicara banyak gaya). Bahkan di momen begitu saya pernah cerita, adakah cara sukses onani?

Dua tahun sebelum peristiwa panggung Situbuleud itu, 1999, yayasan saya cannadrama, bekerjasama dengan Forum Sastra Bandung, studio Radio Lita FM, dan yayasan Rumi yang dipimpin Cecep Syamsul Hati sempat merekam dan meluncurkan album musikalisasi puisi TRISAKTI untuk kepentingan apresiasi sastra. Musisinya Ari Kpin. Saat itu Ari berani mengambil puisi yang sangat pendek Diro Aritonang untuk dimusikalisasikan. Cuma dua baris. Salut. Itu reformasi.

Sekedar penjelas, meskipun dalam proses penciptaan, puisi pendek adalah puisi singkat yang bisa dibaca dengan intonasi normal dalam setarik nafas, tetapi dalam pembacaan di panggung tentu lain. Ekspresi, bangunan interpretasi imaji, teknis pengucapan, dan ekplorasi gerak pembacanya bisa memakan waktu panjang untuk satu puisi pendek. Maka dalam lomba pun, menurut saya, tetap harus diberlakukan pembatasan durasi. Baik untuk satu puisi pendek, maupun untuk beberapa puisi pendek sekaligus.

Sungguh tak masuk akal ketika panitia baca puisi pendek menyebut, tiap orang maksimal boleh baca tiga puisi pendek, paling-paling memakan waktu 5 menit. Padahal kalau tidak dibatasi waktunya, seseorang bisa membaca satu puisi pendek (puisi singkat) lebih dari 5 menit, apalagi sampai 3 puisi.

Gilang Teguh Pambudi
cannadrama, Jakarta, 2016


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG