POSISI SOETOYO MADYO SAPUTRO DI HARI AYAH
Soetoyo Madyo Syaputro, atau biasa dipanggil Pak Toyo adalah inspirasi buat saya. Buat kami sekeluarga, bahkan buat siapapun yang mengenal pendirian baiknya.
Di perkebunan, baik di Jawa Tengah atau di Jawa Barat dia dikenal dengan istilah, Pak Toyo Perkebunan.
Menurut saya dia sangat mencintai posisinya, baik secara pribadi manusia yang sangat dekat dengan alam, maupun secara struktural sebagai Mandor Besar di Perkebunan Kopi di Curug Sewu - Kendal Jawa Tengah maupun Sinder dan Kepala Kantor di Perkebunan Cengkeh Maranginan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
Kesimpulan dari dua posisi itu bisa diambil dari pernyataannya yang sering saya dengar, yaitu bangga sebagai Wong Alas (Orang Hutan), atau manusia perkebunan, atau manusia alam. Pendek kata, di situ terambil olehnya totalitas cinta alamnya, terambil juga rejekinya. Tentu rejeki orang biasa, kata awam, bukan rejeki orang kaya. Subhanallah.
Adapun tentang latar belakangnya pernah menjadi kepala sekolah SMP Islam di Pring Sewu Lampung, menambahi catatannya, bahwa dia seorang yang tidak takut hidup dengan label Islam dalam hidupnya. Karena di era modern, meskipun universalitas Islam sudah terbuka lebar, tetapi memasang label Islam di punggungnya banyak yang ketakutan. Takut dianggap tidak universal oleh sementara pihak, dan takut dimusuhi oleh banyak pihak.
Hal lain, dia punya banyak cerita heroik sejak masa perang dan masa awal kemerdekaan. Saya merasa tertolong, bangga punya bapak yang lahir tahun 1932, meskipun di KTP terakhir dia bilang, kelurahan salah ngetik, sehingga tertulis lahir tahun 1942. Padahal orang lain banyak dengar cerita masa perjuangan dari ayahnya yang lahir setelah lewat tahun 1945. Tapi datanya sama heroik, karena kisah perjuangan memang tercatat sangat panjang. Seperti di depan mata saja.
Di tambah lagi Kakek saya, Marto Miredjo seorang pejuang. Saya sempat mengira dia tentara sampai pensiunnya di Bogor, ternyata ibu saya, Ustj. Hj. Dra. Siti Djalaliyah menjelaskan dia seorang polisi. Dari bapak, saya tahu dia sangat kagum pada Kakek dan nenek, Mbah Kakung dan Mbah Putri, yang di akhir hayatnya dimakamkan berdampingan seperti permintaan Kakek. Bahkan jauh sebelum meninggal sudah menyiapkan batu nisan di samping makam Mbah Putri. Satu tradisi yang dilakukan oleh sedikit orang. Tapi secara umum, kunciannya, adalah ihlas membawa cinta sehidup semati. Bukan karena masalah makamnya berdampingan.
Kakek saya itu sangat kuat adat Jawanya. Konon sempat mengoleksi keris. Dengan nasehat, "Kalau tidak kuat menjaganya, tidak usah". Kebetulan bapak saya termasuk tidak banyak mendalami soal keris itu. Tapi bangga menceritakannya. Sekali lagi, bapak lebih suka pada tanaman. Sibuk dengan itu. Punya beberapa burung kicau tetapi nasehatnya keras, "Kalau tidak sanggup memelihara dengan baik, jangan memelihara burung atau binatang apapun".
Bapak, Soetoyo Madyo saputro melek pendidikan, bangga sebagai Islam, manusia alam, anak pejuang NKRI, dan ihlas menjalani takdir baik dari Allah SWT. Karena itu dia pantang menyerah. Bahkan setelah PHK dari perkebunan karena usia tua, dia tidak suka menganggur, mengisi waktu dengan buka warung, berjualan. Pesannya, "Lakukan apa saja yang halal, yang baik, besar atau kecil, seumur hidup, tetap bangga sebagai manusia terhormat". Karena itu sehari-hari menurut saya, nasehatnya tetap nasehat besar.
Saya merasa berpisah terakhir kali saat sholat Idul Adha. Di lapangan Merdeka Sukabumi. Saat itu dalam sujud saya menangis luar biasa sebagai haru dan bangga berislam, bangga juga bisa sholat Id bersama dengan bapak. Ternyata setelah itu saya cuma punya satu kesempatan untuk mengantarnya pindah rumah ke Sukorejo-Kendal, Jawa Tengah. Terutama karena keinginan ibu tiri saya yang pingin berumah di sana. Tak tahunya itu adalah kalimat-kalimat terakhirnya.
Sampai ketika anak laki-laki saya lahir selamat di malam Idul Adha, di malam takbir, sambil menitikkan air mata untuk Allah, saya 100% ingat bapak. Nama anak saya semoga bermanfaat untuk dirinya dan semua orang, Findra Adirama, anak laki-laki yang bangga dengan pencarian 'jati diri seorang bapak' pada dirinya.
Bapak saya juga Wong Cilik yang paham senibudaya. Dia yang pertama kali 'ngenalin' saya pada gambar, puisi, novel-novel terkenal, koran dan majalah sebagai bacaan harian, dengar wayang di radio, memberi komentar kepada film-film berkualitas di tv, bahkan membuat drama radio dengan merekam pakai tape recorder lama.
Dalam politik, ia penggembira yang konsisten. Sebagai warga pemilih dalam PEMILU, tiga partai pernah disebut-sebut disukainya, Masyumi di era Orde Lama, lalu GOLKAR dan PPP di era Orde Baru. Tapi ia tidak menyebut anti partai apapun, kecuali PKI. Bahkan ia menyebut dirinya Pengagum Presiden Soekarno, Sang Proklamator itu.
Pendek kata, saya punya keluarga besar yang selamat dan membanggakan. Begitulah bapak menjelaskan dengan kata-kata dan perbuatan.
Selamat Hari Ayah.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar