PUISI PENDEK INDONESIA, PUISI SAKIT HATI

Mengapa sejak tahun 1991 saya termasuk orang yang serius mencermati eksistensi puisi pendek Indonesia? Meskipun menulis puisi pendek bukan satu-satunya proses kreatif saya. Karena juga menulis puisi seperti pada umumnya, cerita pendek dan artikel. Tentu yang paling rutin, profesi sehari-hari, adalah menulis naskah berita atau materi siaran untuk keperluan siaran di radio.

Puisi pendek Indonesia adalah khas Indonesia. Budaya bangsa ini sebagai persembahan untuk dunia.

Selain menulis dan membaca puisi pendek di berbagai panggung atau kegiatan komunitas, saya juga harus mendalam memahami sastra sebagai pertanggunghawaban total. Termasuk untuk menyelamatkan kejelasan, akulah puisi. Apalagi sebagai orang media dan orang komunitas saya membawa fokus sekian banyak orang kepada proses kesadaran sastra. Tentu tidak bisa menebar racun, melainkan virus kebaikan. Demi proses kreatif yang ekspresif-eksploratif, dinamis, membangun karakter bangsa.

Saya sering merasa dicemooh sebagai pihak yang sedang berandai-andai, sementara yang mengaku orang panggung atau orang pintar di mimbar sudah sangat jauh melangkah ke depan dengan 1000 panggung, 1000 buku. Dibiayai negara pula.

Saya konsisten saja. Terus membacakannya di radio. Bertahun-tahun. Air mata ketulusan yang berpusar di titik keinsyafan. Apalagi sebagai pribadi muslim saya meyakini, perjuangan selalu di titik akhir tiada henti.

Mengapa saya terus berargumentasi hal puisi pendek Indonesia?

1. Puisi pendek Indonesia adalah sebuah alamat sastra. Artinya pintu ini adalah kesadaran seluruh hal tentang sastra Indonesia.

2. Hidup adalah simpul pertemuan. Dalam forum silaturahmi apapun itu, formal atau non formal, selalu ada jembatan pendidikan yang menghibur. Di situ lagu dan bunga bisa menengahi sukacita. Puisi bisa diambil dari dapur sebagai pisau pemotong kue ulang tahun, atau bahkan sebagai kue ulang tahunnya itu sendiri.

3. Terlalu banyak yang merendahkan sastra Indonesia tidak memiliki akar dan argumentasi yang kuat. Tidak cukup intelektual. Sekedar keliaran proses kreatif dari waktu ke waktu. Posisinya selalu kalah dari sastra asing. Saya sakit hati.

4. Selama saya mendalami puisi pendek Indonesia saya menemui perjalanan sejarahnya, sikap kritis dan intelek masyarakatnya, menyingkap kedasyatan potensi puisi pendek itu, bahkan membaca ruang bermain-main di dalamnya. Subhanallah. Meskipun jujur, politik praktis yang pragmatis, yang bersinggungan dengan proses berkesenian atau berkebudayaan selalu dalam posisi merusak sangat serius. Padahal mendesak pula kebutuhan politik kesenian (politik kebudayaan) untuk membangun bangsa ini.

5. Saya membawanya ke radio menjadi Puisi SMS. Ke kegiatan Wisata Sastra menjadi teriakan  yang cair penuh improfisasi. Ke kegiatan teater menjadi pengajian dan pertunjukan teater. Ke dalam buku menjadi lautan ilmu. Merekamnya untuk apresiasi dll.

6. Saya membaca, teori sastra yang ada dan sekarang beredar, untuk beberapa (banyak) hal sering tidak memuaskan saya.

Belakangan ini di forum apapun, setiap kali bicara puisi pendek Indonesia pasti menyinggung haiku, pengaruh sastra Jepang itu. No problem. Pada kenyataannya ketika kita berhujah soal puisi pendek, selalu disertai pemahaman, haiku berbahasa Indonesia (bukan terjemahan) adalah bagian dari puisi pendek Indonesia. Bahkan daya prikemanusiaannya adalah daya bangsa Indonesia yang membuatnya. Argumentasi ini sekaligus saya maksudkan untuk menengahi, pihak -pihak yang tidak suka dengan pengaruh asing.

Khusus soal Jepang dan kedekatan budayanya dengan Indonesia, saya sampai berkali-kali harus nengok sejarah kemerdekaan. Meskipun Jepang yang sudah kalah mau berbuat baik, membantu proses kemerdekaan, Indonesia yang tatu tetap bersikeras menyatakan bahwa kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan lahir batin (tumpah darah) yang payah dalam kurun waktu yang sangat panjang. Bukan hadiah. Tetapi karena peristiwa kemerdekaan berakhir dengan aman, Soekarno patut punya bicara, punya diplomasi strategis dengan Jepang. Termasuk dalam hal utama, masa depan ekonomi, kebudayaan dan kesejahtersan rakyat.

Berkaitan dengan hal ekonomi sastra, saya punya curhat (curahan hati). Setidaknya untuk membangun masa depan:

Sayangnya, akomodasi, honor dan hadiah sering tidak menjamin apa-apa. Entahlah pada sedikit orang, mungkin karena lumayan besar penghargaan yang pernah ia terima. Tetapi mungkin juga kita penah memasuki ruang seminar atau pelatihan enterpreneur. Isinya selalu mengejek semua jenis upah, bahkan UMR: dapat beli apa dari  sisanya dalam setahun, sepuluh tahun? Paling-paling habis untuk hal pokok ini-itu.

Peluang kedudukan dan peluang politis karena popularitas seorang penyair lebih lagi, mungkin hanya bisa didapat oleh satu-dua orang. Saya malah tertarik cerita dalam suatu film India. Saya lupa judulnya. Meski cuma sebuah film. Seorang penyair dinilai sangat tinggi, disegani, berhadapan muka dengan raja, duduk bersebelahan degan panglima perang. Tetapi raja sampai tak pernah bisa memberi apa-apa. Mungkin juga tidak perlu. Bolehlah kasih anggaran untuk beberapa kegiatan, meluluskan proposal, tetapi statusnya tetap saja kegiatan sosial sewaktu-waktu.

Penyair tentu sudah cukup sibuk untuk ekonominya sendiri. Ia hanya meminta 'kata-katanya' didengar. Kalau tidak, jangan salahkan rakyat akan bergerak melawan kekuasaan rajanya. Karena kekuasaan yang lengah cenderung korup, tidak berkeadilan, dan represif mengalahkan rakyatnya.

Dalam teropong yang lebih sederhana, saya mencintai ritus usaha atau kuli para penyair, untuk mendukung perjuangan syairnya. Atau sebagai pembuktian kerja nyata puisinya. Karena syairnya harus bekerja, merubah kesalahan-kesalahan kehidupan. Mempertahankan sekaligus membangun sistem nilai yang beradab.

Kalau mau, selain merespon panggung-panggung/sanggar seni/komunitas, pemerintah bisa menyentuh dunia usaha penyair. UKM, misalnya. Atau lapangan kerja. Karena penyair wajib hidup. Terlalu mahal 'kata-katanya' untuk mati atau dimatikan.

Penerbitan sebuah buku oleh seorang penyair ibarat KTP. Juga bagi sastrawan umumnya. Tidak selalu harus berapa banyak terjual. Tetapi berpusar dari buku itu, puisinya bekerja apa untuk pembangunan di segala bidang? Menginspirasi apa? Tidak ada sebuah rumus baku, penyair yang banyak menerbitkan buku adalah penyair yang hebat.

Pedagang kaki lima atau direktur warung kopi meskipun total kritis pendapatnya, proses kreatif bersastranya, tidak akan bertekuk lutut pada kebijakan atau pragmatisme politik. Justru selalu menyelamatkan kehidupan berbangsa, bermasyarakat. Tidak 'udar kaanginan'. Sementara pihak yang merasa mengejar (sikut-sikutan) anggaran kegiatan seni dari pemerintah sering menggadaikan proses kreatifnya. Lemah darah sastranya, meski tekstualnya (liriknya) bisa saja sempurna.

Tapi apa mau pemerintah perduli kepada pihak yang selalu bersikap kritis kepada pemerintah? Saya kira di era tertutup mungkin begitu. Tetapi di era terbuka, sikap kritis justru menjadi energi penggerak pembangunan yang dinamis. Apalagi ada yang patut diluruskan, sesungguhnya sikap kritis yang konstruktif bukan musuh pemerintah. Yang harus dicurigai justru itikad pemerintah mendukung 'anak nakal' dengan dalih meredam gejolak masyarakat. Nakal kok didukung? Preman kok disuruh sukses!

Gilang Teguh Pambudi
pemulung kazanah sastra Indonesia
(yayasan seni dan pustaka Cannadrama)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG