PUISI YANG BAIK?
Puisi itu baik kang. Kalau tidak baik bukan puisi.
Sebut saja ambiguitas (multitafsir) dalam humanisme-universal, akan menunjukan kode kebaikan puisi itu, akan terasa kemanusiaan berketuhanannya disitu. Hidup seperti dalam celupan, misi kebaikan.
Maka kalau ada lomba cipta puisi, penilaian pertama adalah standar teknis penulisan puisi. Biasanya merujuk kepada ketepatan berbahasa.
Setelah didapati puisi-puisi yang memiliki standar bahasa yang benar, barulah kita melihat puisi-puisi 'yang sesungguhnya sudah baik itu' dari berbagai sisi keunggulan. Tetapi yang paling utama adalah kesesuainan dengan tema yang telah di tetapkan oleh panitia.
Ketika seorang penyair menumpahkan gagasan puisi berbentuk kode, karakter, gambar, foto instalasi, suku kata, kata-kata, rangkaian kalimat, pasti pernah merasa hal-hal yang dirasa bakal menjenuhkan, termasuk menjenuhkan jika harus mengulang kata atau kalimat yang sama dalam satu puisi. Itu sebabnya ia sama sekali tidak melakukannya. Tetapi pada saat yang lain, penyair yang sama malah merasa wajib untuk mengulang kata, bahkan kalimat, bahkan bait, bahkan tidak cukup sekali mengulang. Dia berkeyakinan, itu bagian intrinsik dari kekuatan puisi, integral. Tetapi ketika disidangkan oleh pengamat sastra, ada yang menyebut hal itu bagian dan kebebasan proses kreatif, tetapi ada juga menggunakan naluri bersyairnya secara pribadi, "Kalau menurut saya cenderung menjenuhkan". Contoh ini bisa jadi satu pembangkit kesadaran atas banyak hal, bahwa kita tidak bisa mematikan suatu karya dengan memaksakan pendapat yang salah. Itu saja. Kalaupun akan tegas, bisa berbentuk persyaratan karya yang akan dinilai oleh panitia, misalnya harus berupa rangkaian kata atau kalimat, tidak dalam bentuk lain, panjang karya maksimal 20 baris, dst. Adapun untuk kata-kata yang diamati oleh seseorang kurang enak dibandingkan alternatif lain, itu hanya soal selera. Paling-paling mentok di pemberian saran, bukan di pemaksaan.
Sedangkan di luar kontek lomba semua puisi yang baik adalah puisi baik. Tetapi ada satu pertanyaan, apakah puisi itu bekerja praktis secara sosial, atau hanya menjadi puisi kamar?
Nah sekarang menurut anda mana puisi yang baik itu? Karena penyair kamar pun tetap seorang penyair. Sah. Meskipun lazim tidak dikenal masyarakat sastra. Kalau disebut, itu salahnya sendiri, mungkin pernyataan yang lebih tepat, itu pilihannya sendiri.
Saya pernah marah, "Katanya penyair, tapi nafsir frase Rendra, 'pelaksanaan kata-kata' saja tidak bisa. Kapan jadi puisi?
Karena puisi itu melawan syetan, raksasa, Buto Ijo, dajal, gendruwo dan monster. Kalo perlu penyairnya pake celana Superman, rok Sailormoon, atau berkuda seperti Khalid Bin Walid. Para Kyai juga harus apal (hafal). Bersaksi. Dalam makrifatullah Jawa dan Sunda, apal itu artinya tahu. Tahu itu menunjukkan, perbuatan adalah kesaksian, perbuatan itu tahu. Kalimat puitiknya, ketika tangan dan kaki berkata.
Begitu saya menjawab singkat, atas pertanyaan Iip Saripudin yang tergabung di Grup Puisi Pendek Indonesia, "Bagaimana puisi yang baik itu?"
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar