SENYUM SAKIT HATI

Kalau dituding orang sakit, saya tetap bangga. Yang penting pendapat dan sikap hidup saya berisi senyum kemenangan.

Kalau dituding orang gila, saya gak malu. Tetapi ijinkan saya tidak masuk ke dalam kamusmu, nek ora edan ora kumanan (kalo gak gila gak kebagian). Kitab dan takdir saya lain.

Sebagai orang yang lahir di hutan atau kebun (perkebunan), bolehlah kalau saya sakit dituduh kampungan. Tetapi semangat saya membawa kota, bahkan membawa ibukota daerahnya, sejak kecil sudah ber-ibu kota negara. Maka ketika di kota jadi Kepada Studio dan Kepala Siaran Radio, kalimat pertama saya, orang kampung bisa apa sih? Bisanya kan cuma memimpin radio dan bikin panggung-panggung!

Sebagai orang yang mau masuk tentara bolehlah saya sakit hati. Cita-cita itu kandas karena situasi ekonomi keluarga yang sedang buruk. Belok mau jadi pengabdi melalui jalur pendidikan, batal jadi guru. Pasti banyak yang menyebut saya gagal. Begitu. Tetapi, sejak masih di bangku SMA/SPGN, baik melalui tulisan di koran, mengajar sebagai sukarelawan/honorer, guru swasta, dan keterusan selama 20 tahun lebih di radio, toh terus ngurus komunitas anak sekolah. Bagi saya itu, senyuman seorang yang 'bukan guru'.

Bahkan bertahun-tahun sebagai Aktivis Wisata Sastra, sebagai anak Idul Adha sekaligus berhikmad kepada Kebangkitan Nasional saya punya tiga teriakan besar: bangkit itu anti, kerja puisi (sastra), serta pendidikan karakter itu tanggungjawab siapa?

Dengan modal semangat penulis, seniman, dan jurnalis akhirnya Jakarta memberi saya sertifikat pendidikan yang menyemangati. Sertifikat jurnalistik itu didapat setelah selama beberapa waktu ikut pendidikan di Pusat Dakwah Muhammadiyah Pusat Jakarta, tetapi sertifikatnya saya susul ke kantor Dewan Dakwah Indonesia di Jakarta.

Tentu malu kalau tidak berjuang demi izzul Islam wal muslimin. Apalagi saya terbaik di situ.

Itulah yang memberi pencerah di masa-masa yang dilematis. Tetap menjadi guru sukwan/honorer di SD-SMP-SMA sambil siaran radio, atau memilih salahsatu? Lalu saya pastikan 100% di radio saja.

Di dunia politik praktis, orang pasti menyangka saya mau jadi anggota legislatif. Bahkan sejak tamat SMA.  Meskipun tanpa perlu mengatakan haram, karena saya merasa bakal mampu di situ, sekali lagi, bagi saya anggota DPR bukan segala-galanya untuk berkiprah di masyarakat, membuka kesadaran manusia tentang arti kebenaran dan kemenangan. Mendukung pemerintah dalam pembangunan di segala bidang. Maka saya tidak ngotot.

Tetapi kalau soal dukung-mendukung yang halal dan konstitusional itu, ya iya! Gunanya, ada prinsip 'pola tanam' yang ingin saya tularkan, setidaknya melalui pintu kepenyairan dan kesenimanan saya yang humanis-universal. Saya juga pakai prinsip muazin (bunga tasbih). Pakai prinsip, pribadi ber-ION-PION (Isi Otak Nasional dan Pelaku Isi Otak Nasional). Nasionalis Relijius. Manusia berketuhanan.

Maka sebutlah saya sakit hati atau gila sekalipun. Tapi keihlasan saya akan terus berjalan, merunduk ruku dan sujud melalui pintu-pintunya. Ada atau tidak ada yang melihat. Sama saja. Tetap saja.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEU HONCEWANG

TONGKAT WALI

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG