TENTANG SONIAN

Ini tulisan di grup FB: Puisi Pendek Indonesia. Tulisan spontan yang belum selesai sebenarnya. Tetapi saya fikir sudah bisa bermanfaat:

Awalnya aku kaget. Begitu aku tahu, ternyata sonian adalah bentuk puisi-puisi pendek ciptaan penyair Soni Farid Maulana. Dengan ketentuan jumlah baris dan suku kata yang kusus, mengikat, serupa haiku asal Jepang, tetapi beda ketentuannya. Jujur aku kaget.

Kenapa kaget? Karena aku sempat berfikir sepihak, romantisme atau kesadaran kreatif seperti itu hanya akan menjadi bagian dari masa lalu kesusastraan Indonesia. Bahkan dunia. Yaitu ketika masyarakat membutuhkan media penutur (lisan) atau media penyampai (tertulis) yang bisa ditularkan dengan mudah, semisal syair suluk pesisiran, pupujian, atau karya sastra melayu silam, atau syair tembang-tembang daerah.

Kalaupun aku curiga akan lahirnya model syair yang serupa tapi tak sama, pasti karena suatu sebab yang kuat. Misalnya ketika Acep Zamzam Noor menulis puisi berpantun di awal era reformasi. Kufikir itu bisa menginspirasi lahirnya ekspresi menyindir melalui pantun di kalangan orang banyak. Tidak hanya pada para penyair tertentu, tetapi bisa sampai ke penyanyi pop, dangdut dan campursari, bahkan secara lisan di kalangan aktivis/demonstran dan orang awam.

Untuk suasana sekarang ini aku sempat mencari-cari, argumentasi apa yang dipakai Soni Farid Maulana. Tetapi ujung-ujungnya kujawab sendiri, apa salahnya sebuah proses kreatif? Gitu aja kok repot, kata Gus Dur.

Soalnya aku memang sedang menyorot pertumbuhan dan masa depan puisi pendek Indonesia. Jujur, tambah terbangun karena haiku berbahasa Indonesia (bukan terjemahan) tiba-tiba marak di media sosial belakangan ini. Kupertanyakan, pertanda apa di dalam kesusastraan Indonesia dan dunia? Dari kacamata sentimen pada mulanya wajar mendatangkan kecurigaan, sok Jepang.

Ada pendekatan yang logis untuk memahaminya, kalau haiku yang asal mulanya dari Jepang saja bisa tumbuh di Indonesia sebagai bagian dari geliat puisi pendek Indonesia, kenapa semodel sonian tidak? Kalaupun sonian disebut sebagai sesuatu yang baru, ada masalah apa dengan hal baru?

Belakangan ini aku juga sedang tertarik dengan Dongeng Pendek atau Dongeng Mini. Mungkinkah gairah dongeng pendek seumpama yang pernah hidup di Tatar Pasundan bisa hidup layak dalam kesusastraan Indonesia? Bahkan menjadi  sastra lisan di pos-pos ronda atau di ruang-ruang gaul. Marak di media sosial dan media penerbitan. Dongeng-dongeng Kabayan, misalnya, atau dongeng singkat ulah masyarakat (fiktif), selama ini biasa dilisankan oleh masyarakat hanya dalam beberapa menit, lalu disambut tertawa, lalu dilanjutkan atau dibalas dengan cerita konyol yang lain.

Selain bentuk dongeng humor pendek, kisah-kisah hikmah yang sangat singkat juga lama kita kenal. Bahkan beberapa kisah pendek juga berupa kisah nyata yang disampaikan secara serius di majlis-majlis pengajian. Kisah-kisah hikmah memang bisa bersumber dari kisah para nabi dan sahabatnya, tetapi banyak juga bersumber dari kisah fiktif (mitos) dan cerita pengalaman masyarakat yang disampaikan secara serius sebagai nasehat.

Dongeng pendek dan kisah pendek seperti itu dan turunan kreatifnya di belakang hari tidak mustahil akan terus tumbuh. Tidak ubahnya karya sonian yang juga bisa disebut sebagai karya  turunan, atau buah dari kemungkinan membuat puisi pendek dengan ketentuan baris dan suku kata yang ketat. Dalam hal puisi pendek, puisi naratif bisa juga mirip dengan dongeng pendek dan kisah pendek itu. Walau kadang hanya ditulis dengan satu kalimat pendek tetapi sudah mendongeng atau berkisah. Misalnya:

MALL BULDOZER

seorang jompo depan mall tiba-tiba teringat rumahnya yang dibuldozer, dulu, seperti baru saja

(Lanjut nanti)

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Grup FB Puisi Pendek Indonesia


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG