UJI CEPAT PUISI PENDEK INDONESIA

 ... kalau mengefektifkan pilihan kata, bahkan suku kata, huruf, tanda baca, dan simbul-simbul, itu adalah kewajiban semua puisi. Sen maksud saya, kode, sinyal sekejab, singkat, tidak berlama-lama, tidak panjang, tetapi sampai.

Pertanyaanya, apa ukuran puisi pendek atau puisi singkat itu?

Memperhatikan contoh-contoh akan membuat orang menirunya, terpaksa. Terutama di kalangan awam dan pelajar. Tetapi tidak kuat bagi penyair. Penyair butuh ekspresi dan eksplorasi yang bebas bahkan liar, bisa membuat yang belum pernah ada contohnya, tetapi tidak salah. Itulah.

Maka saya menulis:  

Karena puisi pendek Indonesia adalah puisi singkat berbahasa Indonesia (bukan terjemahan) yang bisa dibaca dengan intonasi normal dalam setarik nafas, maka tariklah nafas dalam-dalam, teman (yang pemain teater pasti sudah biasa).

Tahan!

Mulailah  membaca sebuah puisi pendek Indonesia (jangan terjemahan puisi asing) dengan metode baca cepat menggunakan mulut sesuai kesemestian intonasinya sehingga tidak merubah isi puisi.

Judul tidak perlu dibaca, karena bukan lomba baca puisi. Kelak tanyakan kepada para penyair, mengapa pada saat menulis satu puisi, penyair mesti membaca bolak-balik tanpa membaca judulnya?

Itulah  sebabnya, ada puisi berjudul dan ada yang tanpa judul.

Jika di dalam setarik nafas itu, puisi selesai dibaca, maka putuslah pendapatmu, teman, itu puisi pendek Indonesia.

Tak diperlukan tarikan nafas kedua.

Begitulah cara menguji puisi pendek, bukan cara membaca puisi pendek di atas panggung. Beda tentu saja.  Bisa dimengerti, teman?

Berikut beberapa puisi yang bisa diuji:

puisi Chairil Anwar,

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta

puisi Sutarji Calzoum Bachri,

pun

puisi Hamid Jabar,

amin

puisi Diro Aritonang,

jangankan rakyat
belalang pun ikut terbakar

puisi Gilang Teguh Pambudi,

ingat waktu kita berlari-lari
kuteriakkan, "Bersamaku Putra Mahkota!"
dan ini aku di gerbang terakhir
sambil mengenangmu lagi
sebab kemenangan tidak akan pernah mundur
semangat tak akan pernah kendur

Puisi Taufik Ismail,

Tiga anak kecil
Dalam langkah malu-malu
Datang ke Salemba
Sore itu

Ini dari kami bertiga
Pita hitam pada karangan bunga
Sebab kami ikut berduka
Pada kakak yang ditembak mati

Siang tadi

Puisi Sapardi Djoko Damono,

dalam kamar ini kami bertiga :
aku, pisau dan kata --
kalian tahu, pisau barulah pisau kalau ada darah di matanya
tak peduli darahku atau darah kata

Demikian. Lalu ingin saya katakan: Hidup adalah simpul pertemuan. Di sekolah, di kantor, di masyarakat, di majlis ta'lim, di komunitas-komunitas. Dalam forum silaturahmi itu selalu ada jembatan pendidikan yang menghibur. Lagu dan bunga bisa menengahi sukacita. Puisi bisa diambil dari dapur sebagai pisau pemotong kue ulang tahun, atau bahkan sebagai kue ulang tahunnya.

Gilang Teguh Pambudi
(Pemulung Khazanah Sastra Indonesia)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG