18. ORANG RADIO INDONESIA 0171-0180
0171
DUNIA IBU-IBU?
(tips untuk orang radio sukses)
Suatu ketika, pertama dan terakhir, wawancara 30 menit di radio Lita Bandung dengan aktor senior Didi Petet, yang namanya cukup dekat dengan anggota teater saya karena Didi adalah tokoh yang memulai karirnya dari atas panggung teater. Satu pertanyaan saya ingat, mengapa wacana publik termasuk di koran-koran mengkritik miring kualitas sinetron kita? Setelah wawancara dengan Didi Petet saya mewawancarai Chan Parwez dari Multivision Plus.
Didi Petet menjawab. Sinetron Indonesia tidak sepenuhnya salah. Dia hadir sebagai hiburan, terutama untuk ibu-ibu rumah tangga dan anak-anaknya yang lebih sering nongkrong di depan TV daripada para suami yang sibuk kerja. Saya jadi ingat, di Indononesia masih kental prinsip, suami wajib mencari nafkah, sedangkan istri kalaupun bekerja hanya semampunya dan seperlunya sekadar membantu suami. Meskipun dalil itu kadang dimentahkan oleh yang mengaku wanita karir.
Dikaitkan dengan program radio, apapun bentuknya, memang juga lebih sering ditongkrongi oleh pendengar ibu-ibu dan anak-anaknya. Persentasenya besar. Acara-acara off air dan iklan layananan sosial banyak diketahui suami dari istrinya yang dengar radio. Tentu gak masalah dengan ini. Coba cek catatan para programmer se-Indonesia. Apalagi yang mengaku radio untuk keluarga.
Tapi saya takut juga, apakah bisa disimpulkan, apresiasi, penilaian dan daya tafsir para ibu sebegitu rendahnya? Bahkan ceramah agama pun jadi sering berisi candaan dan ketawa-ketawa? Meskipun keuntungannya, bahasa media yang sederhana akan memudahkan ibu-ibu menjelaskan kepada anak-anaknya.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
-----
0172
KEUNTUNGAN
(tips untuk orang radio sukses)
Wawancara saya dengan Didi Petet disiarkan di beberapa acara, Titik Temu (acara sosial), Apresiasi Senibudaya, dan LPS PRSSNI Jawa Barat. Tentu akan memberi gambaran sinetron yang mendekat dengan daya nalar kebanyakan kaum ibu dan anak-anaknya. Apalagi, Didi Petet juga menyebut, jika kadar sinetron kita mau lebih dari yang nampak sekarang, Indonesia harus mampu meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Tanpa itu kebiasaan yang ada sekarang akan jadi pilihan utama bagi selera masyarakat. Bagaimana mungkin memproduksi sinetron untuk ditinggalkan? Padahal sebagai media rumahan, TV akan mengeruk pemirsa sebanyak mungkin.
Dari catatan itu, saya jadi menghitung jumlah kursi gedung bioskop dan pertunjukan teater. Benar! Kebebasan berekspresi, termasuk yang paling absurd sekalipun, adanya di film layar lebar dan teater. Jumlah kursinya yang terbatas memang diperuntukkan bagi penonton pilihan. Bukan pemirsa rumahan itu. Ini mungkin keuntungan untuk film dan teater.
Kaitannya dengan radio? Kalau seorang Didi Petet, dari latar panggung teater nongol di TV, apa bedanya dengan orang-orang teater jadi penyiar (aktivis radio)? Akan ada penyesuaian-penyesuaian. Adaptasi ruang dan keadaan masyarakat.
Bersyukur bertahun-tahun aula radio saya menjadi semisal laboratorium teater Indonesia. (Selengkapnya bisa baca Politik Kebudayaan Teater di grup fb Puisi Pendek Indonesia dll).
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
------
0173
PANGGUNG SANDIWARA
(tips untuk orang radio sukses)
Benar kata penyair Taufiq Ismail dan rocker Ahmad Albar, dunia ini panggung sandiwara. Kita semua bermain peran dalam kehidupan. Tetapi tentu saja di dunia beradab, peran kabaikanlah yang manusiawi. Berprofesi macam-macam, berhobi macam-macam, berpendidikan macam-macam, bahkan menggunakan tafsir yang bermacam-macam pula.
Terlebih-lebih di dunia radio, sebuah dunia ciptaan peradaban manusia. Maka tentu akan menunjukkan ekspresi berkebudayaan itu.
Berangkat dari data film dan sinetron kita, kita mengenal tema-tema yang menonjol yaitu cerita drama percintaan, komedi (humor), laga (action), perang kemerdekaan, dan cerita mistik. Maka sebagai dunia rekayasa yang menunjukkan khas masyarakatnya, radio dan TV pun akan menonjol oleh kesemua hal itu. Terkecuali dalam hal jurnalistik.
Menurut saya improfisasi mistik dalam program radio tetap saja menarik. Apalagi dalam siaran Dongeng Sunda dan drama radio tahun 90-an. Sebab apa? Kalau di Jepang Ultramen mengusir monster-monster jahat, begitu juga dengan Power Ranger. Maka di Indonesia setidaknya dari jaman 'baheula' sudah ada kalimat yang seragam, para pengusir syetan, iblis, kuntilanak, gendruwo, dst. Bahkan konon para wali penyebar Islam di tanah Jawa dulu bertempur melawan para gendruwo pemangsa manusia.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
-----
0174
LAGA INSPIRASI
(tips untuk orang radio sukses)
Tahun 90-an saya masih tinggal bersama bapak di Cikole Dalam, Kota Sukabumi, kadang di Jakarta bersama ibu. Hobiku adalah nonton film laga Indonesia. Maka saya kenal nama-nama Bary Prima, Adven Bangun, Piet Pagau dll. Bahkan Piet Pagau pernah bareng jadi juri karaoke di Selabintana. Tentu dia fokus di penampilan, saya di entertainernya, satu teman lagi fokus di vokal.
Film laga yang inspiratif tentu sangat perkasa dan menghibur, apalagi kalau lawan mainnya wanita cantik dan seksi. Tetapi film laga juga saya untit dari dulu, jangan sampai berpotensi jadi pengaruh main hakim sendiri. Ini berbahaya.
Saking terpengaruh film laga, sebagaimana masyarakat Indonesia umumnya, sampai-sampai untuk melawan perselingkuhan yang gila, yang sampai melahirkan lagu-lagu halalnya selingkuh itu, saya sempat membuat program radio harian tahun 2010 bertema keharmonisan pasangan suami istri. Sebenarnya hanya acara request dangdut biasa. Tetapi penyiar harus membuat improfisasi tentang pentingnya keharmonisan pasutri. Diselingi rekaman jurus dan celetukan humor. Misalnya, kenapa seorang suami malas mendekati istrinya? Maka Si Suami nampaknya salah memilih jurus. Sekali seminggu minimal dia harus belajar jurus Tupai Melompati Pohon Kelapa. Maka tenaganya akan prima. Akan selalu perkasa di depan istri. Sound efecnya, gerrrr ketawa. Selain acara ini saya juga jadi sering bicara halal poligami bagi 'yang mampu' di acara nasyid, daripada semua salah kaprah.
Reaksi juga saya lakukan tahun 1991, ketika saya kesal dengan maraknya berita pembuangan bayi di tempat sampah. Ketika itu saya menulis cerita pendek berjudul Bayi dan dimuat di koran Merdeka. Saya fikir, koran, radio, TV memang akan bereaksi atas apapun.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
------
0175
MUSIK IDEALIS
(tips untuk orang radio sukses)
Tidak jarang orang radio Indonesia mengidentifikasi musik idealis adalah musik yang kritis, berani atau cenderung puitis. Liriknya berisi keresahan sosial. Pendapat ini tidak salah, tetapi akan beriringan dengan pendapat lain yang juga tidak bisa disalahkan.
Suatu ketika, dalam kapasitas sebagai pembawa acara Koesplusan di radio Bandung saya mewawancarai personil koesplus, Yon Koeswoyo di ruang rekaman. Wacancara itu menjadi eklusif karena ada wacana tentang fenomena Koes Fans Club yang saya ketuai. Sementara wawancara proses kreatif dan rencana pentas saat itu sudah dilakukan secara on air oleh Witarsa Watarman.
Yang menarik, Yon menjelaskan Koesplus adalah grup musik legendaris Indonesia yang sangat idealis. Rujukannya, musiknya merakyat. Liriknya sederhana. Bahkan pop, dangdut, keroncong, dan qosidah pun digarap. Juga ada beberapa lagu bersambung dari album ke album mulai dari Nusantara 1. Itu gagasan dan realitas yang tidak gampang. Memang, perlukah grup lain membuat lagu berjudul Indonesia, misalnya, tetapi ada di 8 album, dari Indonesia I sampai Indonesia VIII?
Dalam multi interpretasi, lagu Kembali Ke Jakarta dan Kolam Susu menurut saya sarat semangat nasionalisme untuk kembali pada supremasi Indonesia dan kesejahteraannya. Maka lagu-lagunya saya sebut, bagaikan "tari pergaulan Nusantara". Sampai saya pernah menang dalam suatu lomba menulis di Jakarta dengan judul ini.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
-----
0176
MUSIK DOA DAN HIBURAN
(tips untuk orang radio sukses)
Awalnya manusia mengenal bunyi. Bunyi yang diciptakannya sendiri, semisal memukul batu dengan batu, atau suara alam. Semua yang tercipta lalu menjadi bagian dari komunikasi antar manusia. Seiring dengan kesadaran ruhaniah kepada penguasa alam, bunyi-bunyi itu menjadi bagian tak terlepaskan dari upacara doa-doa. Pada perkembangannya, manusia menemukan musik sebagai media hiburan. Begitulah singkatnya, jawaban saya dulu atas pertanyaan spontan Sigit Kamseno, seorang penyiar dan pengisi suara iklan senior dari RRI Jakarta, dalam acara pengenalan dunia radio di RRI Bandung. Selain dia, pembicara saat itu adalah Idrus, pembaca berita TVRI, kepala RRI Bandung.
Meskipun musik hiburan terkesan terlepas dari relijiusitas, tetapi para pengaji kemanusiaan (yang mustahil tanpa berketuhanan) akan melihat, relijiusitas akan menyatu di dalam bentuk prses kreatif hiburan yang lurus. Memanusiakan manusia.
Memahami teori itu nampaknya lebih lugas. Tidak sepelik diskusi panjang tahun 80-an ketika ada fatwa, ayat Alqur'an dan hadis nabi dilarang dinyanyikan. Bahkan tidak mudah ulama merestui menyanyikan qosidah berbahasa Arab. Rhoma termasuk yang kena kritik. Alasan utamanya? Banyak penyanyi lebih mengutamakan irama lagunya daripada pelafalan dan ketepatan bahasa Qur'an dan bahasa Arab umumnya. Selain itu, fatwa itu tidak percaya pada dunia hiburan.
Itulah sebabnya, ada kegamangan dalam proses kreatif di situ. Meskipun Rhoma Irama menyebut dangdut dapat pengaruh India dan Arab. Tetapi para penerus dangdut lebih ringan menyebut, dangdut adalah irama melayu yang dipengaruhi oleh musik India. Apalagi dianggap, teknis pelafalan dan cara menyanyi dangdut lebih dekat dengan musik dari India. Ditambah lagi, banyak juga penyebar ajaran Islam dari kawasan India.
Untung, kita masih punya pendirian yang kuat, di mana letak relijiusitas di dalam lagu hiburan? Di situlah pengaruh itu. Apalagi pada bangsa Indonesia yang 90% Islam. Maka ketika ramai soal Islam Nusantara, sesungguhnya maksudnya, pengaruhnya ajaran Islam, tetapi gerak budayanya sangat khas Nusantara.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
------
0177
SERUPA TAK SAMA
(tips untuk orang radio sukses)
Waktu itu sama sekali belum ada televisi lain. 1991. Bahkan TPI belum ada. Saya pertama kali secara teori justru lebih dulu mengenal dunia surat kabar, majalah, dan televisi, TVRI. Barulah setelah itu nyemplung ke radio.
Narasumber pertelevisian yang pernah berbagi ilmu kepada saya adalah pembaca berita TVRI, Didi Yudha Prawira dan Idrus. Masih saya ingat satu dari sekian banyak materi yang disampaikannya adalah soal kesalahan-kesalahan siaran TV. Misalnya, logo tv tidak muncul saat musik tune berita masuk, justru yang tayang seorang pembaca berita yang sedang garuk-garuk. Ada juga penyiar yang tib-tiba salah baca kalimat berita, tetapi ketika bermaksud neluruskan malah tambah belibet. Ada juga yang benar-benar salah berita, misalnya mengabarkan tokoh yang meninggal padahal masih hidup. Ada juga salah tayang gambar berita, padahal yang dibaca bukan itu. Dst.
Maka ketika saya nyemplung siaran di radio ada dua modalnya. Pertama, bermain vokal ala teater. Seakan-akan sedang berakting jadi penyiar, padahal emang penyiar. Kedua, menarik teori koran, majalah dan TV yang cocok ke dunia on air radio. Ditambah lagi, sempat juga digodok oleh senior 3 bulan 'ndekem' di ruang rekaman radio, setiap hari.
Begitulah radio dan televisi memang serupa tapi tak sama. Termasuk dalam hal salah siaran. Maka harus dihindari dan dilatihkan cara menghindarinya.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
------
0178
POPDUT
(tips untuk orang radio sukses)
Saya tidak lahir dan tumbuh di dalam keluarga dangdut. Mungkin berbeda dengan teman-teman saya. Koleksi lagu-lagu bapak dan ibu di rumah semuanya pop Indonesia, tembang Jawa dan qosidahan. Yang masih kuingat beberapa di antaranya, lagu Teluk Bayur, lagu-lagu Koesplus, lagu Ebiet G.Ade, lagu Waljinah, Qosidah P, dll. Ada juga kaset-kaset jaipongan, salahsatunya Daun Pulus. Maklum, meskipun lahir di Bogor dan tamat SMA di Bandung, bapak keturunan Jowo.
Sampai saya tamat SMA/SPG suasana rumah tetap begitu. Non-dangdut. Tetapi interaksi saya dengan teman sekampung memberi aroma lain. Di dinding mereka saya bisa menemukan poster A.Rafiq, Oma Irama, Mansyur S., Rita Sugiarto dll. Saya merasakan suasana di rumah itu sama hangatnya. Sama romantisnya. Dari lingkungan itu pula saya bisa menyanyikan beberapa lagu Oma Irama dan A.Rafiq, misalnya, Lirikan Matamu, Milikku, Bergadang dan Lailahailallah.
Begitulah, rumah pop tanpa dangdut itu tidak eklusif. Gaul dengan masyarakat yang rumahnya full dangdut. Sampai-sampai rasa ingin tahuku waktu SMA memaksakan diri beli karcis nonton pertunjukan dangdut Imam S. Arifin dkk. Bahkan sampai hari ini saya masih menemukan anak-anak ABG yang koleksinya full dangdut dan India. Aku terbawa romantis meskipun tidak pernah mengalami suasana itu.
Maka ketika teman radio, Yusman Kameswara, Uget Tamahana dll menyebut saya 'penyair dangdut' karena bertahun-tahun membawakan apresiasi puisi di tengah musik dangdut saya merasa berada benar-benar berumah di Indonesia. Meskipun koleksi kasetku di rumah lagu-lagu Iwan Fals, Ikang Fauzi, Ebiet G.Ade, Franky Sahilatua, Koesplus, Ruth Sahanaya, Armand Maulana, dll dan beberapa lagu mancanegara.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
-----
0179
PERMAINAN TIM
(tips untuk orang radio sukses)
Teman saya, Ahda Imran penyair dari Forum Sastra Bandung yang dikomandoi Juniarso Ridwan, pada suatu ketika berbisik, "Kadang saya tidak mudah paham proses kreatif sekelompok pemain teater". Maksud penyair yang sempat menemani saya menjadi narasumber senibudaya di radio Lita Fm Bandung itu, adalah masalah orisinalitas gagasan penulis dan kerja kreatif sekelompok orang.
Sederhana saya menerjemahkannya, setiap maksud teater dalam suatu proses kreatif satu tim adalah menyampaikan gagasan bersama. Membuka ruang pengajian bersama. Meskipun bermula dari seorang penulis sekalipun. Ini yang mengakibatkan, tidak mustahil gerakan politik budaya suatu bangsa mengakibatkan sekelompok teater menolak naskah tertentu. Karena dalam ranah humanisme-universal, mustahil jadi gagasan bersama di situ.
Nampaknya begitu pula dengan radio. Bagaimana mungkin para penyiar dicocok hidungnya oleh proposal tahunan seorang programmer yang dibekingi jajaran direksi?
Akhirnya kita memang harus tahu banyak soal permainan tim. Semisal dalam sepak bola. Apakah akan pakai teori total football? Apakah pakai 3-4-2-1? Apakah perlu pemain asing (bintang tamu)?
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
-----
0180
BAHKAN PRESIDEN SEORANG CHEERLEADER
(tips untuk orang radio sukses)
"Jangan-jangan samakan, dia dengan yang lain
Bibirnya yang merah, dan senyum yang menawan
Rambutnya terurai hitam dan bergelombang
Dia lah milikku, tempat berkasih sayang
Milikku seorang"
Sejenak renungkan. Bagaimana kalau orang radio Indonesia memutarkan lagu ini? Bagaimana kalau muslimah berjilbab memutarkan lagu ini? Bagaimana kalau saya, anak Ustadjah Hj. Dra. Siti Djaliyah dan Soetoyo Madio Saputro mantan kepala SMP Islam di Lampung memutar lagu ini? Ya, artinya kami tidak masalah dengan lipstik wanita, make up, dan rambut terurai. Yang penting jiwanya tetap berjilbab keimanan, 'lakulampah'nya suritauladan.
Itu sebabnya sebagai programmer saya sempat membela Inul Daratista sekaligus Rhoma Irama. Caranya, pada saat puncak konflik Inul-Rhoma, kedua lagu mereka diputar dalam satu acara yang sama, kalau perlu dirempetkan. Biar pendengar tahu maksudnya. Padahal di meja kerja saya ada surat dari Rhoma Irama untuk tidak memutar lagu-lagu Inul.
Penggalan lirik lagu berjudul MILIKKU dari A. Rafiq di awal catatan ini kiranya bisa membuka kajian kita. Bahkan seorang presiden adalah seorang cheerleader karena ia merestui bahkan meresmikan acara-acara yang mengekspos pemandu sorak itu.
SALAM PROFESIONAL!
(Gilang Teguh Pambudi)
Cannadrama.blogspot.Com
--------------------------------------------
Komentar
Posting Komentar