SAJAK KEPADA SANG GURU BESAR, DENI IRWANSYAH

Sajak kepada Sang Guru Besar

adakah coretan ini tak jadi kaku
jika dalam kelas kami telah tertanam seratus janjimu
ujung pena menghujam dada generasi di garis depan
yang tak mengenal undang-undang dan rumusan masalah pendidikan

teknologi makin meruncing bagai kuku-kuku jaman
yang menancap di benak para anak-anak mungil yang tak paham
tatakrama dan kelak tenggelam pula di lautan skripsi dan tesis
buatan pabrik-pabrik kertas dan tinta warna-warnimu

kepada sang guru besar
anak-anak kita kini rakus dan haus hiburan
standar nilai dalam ujian adalah kenihilan
suplemen instan dan obat sakit kepala
sudah jadi barang dagangan lewat sms dan dunia maya
maka realitas yang kita pijak adalah bumi sunyi
dari keadilan bermasyarakat dan hak bersuara

hari demi hari
sistem mengajar dan belajar menjadi terasing
terkotak-kotak pada kolom absensi dan lajur nilai harian
bagaimanapun isi otak tidak bisa ditukar dengan sekarung beras
tapi bagaimanapun isi otak tidak lebih dari semangkuk bubur ayam
dan sekotak susu formula yang mengandung sakazaki
lalu bagaimanapun ia
telah menjadi gerombolan makhluk pengerat
otak bayi-bayi suci kita

bendera-bendera telah dinaikan hingga ke ujung tiang
mengenang jasa-jasa pendahulu kita dari sebuah sejarah panjang
menegakkan prestasi dan prestise di negeri tetangga
bukanlah menjengkal tanah kuburan
bukan sekedar pesta pora miras dan hura-hura selebritis
bukan sebuah aksi-aksi olimpiade regional dan internasional
semua bermula dari kencanduan gengsi mempertahankan harga diri

kini sekolah adalah tempat mangkal calo buku
gudang kutu-kutu busuk para spekulan ijasah
makelar nilai-nilai ulangan harian yang distandarkan
dan warung kopi tempat jajanan serba ada
eksakta, agama, seni budaya, bahasa, lingkungan hidup,
muatan lokal, pengetahuan dan pemahaman
korupsi dan undang-undang lalulintas
hingga diskusi-diskusi ilmiah remaja tentang
sex, alat kontrasepsi, dan penyakit kelamin

duapuluh persen hasil pajak kita adalah
milik sah teritorial kebijakan pendidikan
dan hasilnya
nol
moral
lalu selembar sajak usang
adalah caci maki yang hilang di antara bising
knalpot kendaraan mutakhir dan gemuruh mesin-mesin pabrik
pencetak batik, kartu-kartu suara pilkada, dan uang sintetik

akan kemana arah kita?
lulusan fakultas berpredikat sangat baik
jadi biang keladi kerusuhan dan dalang tragedi
harga mati kemanusian berbentuk bayang-bayang
jauh melayang semakin jauh mengangkang
tak berpijak ke bumi menembus atmosfer yang gaib
di semesta diri naluri kita mati dan raib
maka bermimpilah esok dan bangunlah hari ini
untuk jadi kuli-kuli kehidupan yang ajaib

-----
Deni Irwansyah
Nagreg, Pebruari 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG