DUA MOMEN SANTRI DI ANTARA DUA BULAN HALAL DAN SENIBUDAYA

Setidaknya, akhirnya saya harus mengamini dua hari santri di Indonesia ini. Setidaknya yang ada dalam benak saya. Bukan rekayasa maksud sosio-politis yang tidak-tidak.

Pertama yang sudah saya sadari sesadar-sadarnya sejak kanak-kanak. Bahwa 1 Muharom sebagai waktu pergantian tahun baru Islam adalah waktu untuk hari santri. Karena sudah lazim di hari itu semua pelajar dari seluruh sekolah, termasuk dari berbagai pondok pesantren tumpah ke jalan mengadakan pawai hijrah. Biasanya didahului oleh pawai obor pada malam pergantian tahun. Dan dilanjutkan dengan berbagai lomba, aksi panggung dan Tablig Akbar seputar tema hijrah. Ini sudah tertanam di benak siapapun di Indonesia ini sejak jaman dulu.

Kedua sejak pemerintah menetapkan hari santri secara khusus. Merujuk pada perjalanan sejarah perjuangan bangsa, khususnya kaum santri, yang mewarisi para ulama pejuang pendahulunya serta menginspirasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945.

Keduanya patut kita syukuri. Meskipun pada awalnya saya sempat menduga hari santri itu akan ditetapkan pada awal Muharom. Tapi setidaknya Awal Muharom tetap akan jadi semacam gairah santri sedunia. Seperti biasanya. Tidak berubah. Bahkan makin dinamis dan kreatif. Sementara hari santri dalam semangat nasionalisme itu juga sudah ada garis tegasnya tersendiri. Bisa punya pengaruh sosialbudaya yang besar juga ke depan.

Bicara soal peristiwa perguliran tahun hijrah dan kegiatan senibudaya (sosialbudaya) ini selalu menarik. Kita punya kode-kode zaman di situ. Ada yang masih kuat mengakar di masyarakat, ada juga yang sudah sampai di pintu 'dibuang sayang'. Butuh revitalisasi. Sementara pada poin menolak tradisi, jika pernah terjadi kegiatan yang kurang menunjukkan kearifan lokal, nampaknya tidak terlalu mengemuka. Artinya, selama ini baik-baik saja.

Pada malam pergantian tahun biasanya yang marak itu pawai obor, bahkan pawai lampion sebagai bentuk asimilasi budaya dengan muslim Cina. Atau Tablig Akbar yang menggelorakan spirit hijrah. Bahwa hidup itu adalah progres menggapai kemajuan dan kemenangan. Mencapai kulminasi kesaksian, kesadaran dan kepedulian tertinggi.

Ini sebabnya malam tahun baru Islam tidak terlalu semarak habis-habisan. Bahkan tidak ada acara begadang. Karena paling malam acaranya cuma sampai pukul 00:00. Mengapa? Karena semarak pergantian tahun itu masih akan berlanjut esok harinya. Tidak seperti pada pergantian tahun Masehi, siangnya banyak yang tidur kecapean.

Dari pengalaman saya mengawal pawai Muharom siang hari. Untuk persiapan pawai mulai pukul 08:00 saja pesertanya sudah berkumpul dari sebelum pukul 06:00 pagi. Sementara berbagai seremoni, lomba, aksi dan Tablig bisa berlangsung hingga lepas asar.

Itu pun belum selesai. Selama ini banyak sementara pihak yang lupa dengan selalu mengecilkan: tahun baru Islam itu sepi. Padahal semaraknya bisa satu bulan penuh. Dimulai sejak malam pergantian tahun sampai pekan Muharom (selama seminggu) dan berbagai festival Muharom yang bervariasi waktunya, mulai dari yang cuma satu hari sampai  lebih dari seminggu.

Itulah yang banyak dijadikan momen bersatunya rasa santri sedunia. Saatnya menghayati semangat hijrah. Hidup dalam kemuliaan Allah. Rahmatan lil alamin. Dan para pelajar (santri) Indonesia selalu butuh momen penting ini.

Kegiatan senibudayanya beragam. Dari bersifat tradisional dan modern, sampai yang bersifat eksplorasi, dan bahkan ekperimen.

Selain menyandingkan dua momen beraroma santri itu, saya juga bermaksud menyandingkan kemeriahan hijrah itu dengan momen senibudaya (sosialbudaya) di bulan Syawal ('nyawalan'). Bulan halal bihalal, dalam istilah tradisional kita yang populer.

Sebagai ummat Islam, kemeriahan dua momen besar, bulan Muharom dan Syawal itu harus senantiasa diberi label halal. Kalau prinsip hijrah  meninggalkan sesat, meningkatkan daya upaya. Maka dalam prinsip 'nyawalan' adalah menunaikan segala hajat hidup dengan paradigma halal, lalu saling menghalalkan. Srcara sosial berarti saling memaklumi dan memaafkan, meskipun cara dan pilihan tiap pribadi dan kelompok bisa beda-beda.

Pada bulan Syawal kita mengenal puasa Syawal. Sebaiknya untuk seumur hidup minimal sehari kita pernah melaksanakannya. Hal ini merujuk pada dua hikmah. Hikmah pertama hikmah Romadon. Segala yang haram itu tertolak. Bahkan yang halal pun bisa diatur, hingga sampai menemui titik haramnya pada suatu ketika. Sedang puasa di bulan Syawal memberi pesan, di masa segala halal pun kita disunahkan berpuasa agar memahami skala prioritas dan arti berjuang di jalan lurus.

Berhujah pada itu, maka segala bentuk kemeriahan bulan Muharom dan masa halal bihalal. Termasuk khusus dalam segala pentas seninya. Haruslah menunjukkan kesadaran ekspresi yang edukatif, informatif, dan rekreatif.

Ini bukan pengekangan sempit. Karena ruang tafsir itu terbuka. Dan yang bersifat terbuka itu, mau tak mau berupa pembatasan juga. Relatifitasnya ada pada nilai niat dan permaklumannya. Oleh sebab itu dalam adat Nusantara ada sebutan halal bihalal. Saling berbuat halal dan saling memaklumi yang halal-halal itu. Termasuk ketika saya menyebut satu contoh, eksotisitas panggung Qosidah, Gambus dan Marawis yang agak sensual pun bisa jadi lipstik dakwah. Sebab eksotisitas itu bisa diukur dengan rasa baik. Tak bisa dihindari sama sekali. Bahkan sekadar bedak tipis di wajah  seorang wanita pun sudah bernilai seksi. Artinya, itu boleh.

Seburuk-buruknya ukuran dalam etika dan estetika berkesenian bukanlah menerima haram. Tetapi sampai derajat makruh. Boleh dilakukan meskipun lebih baik ditinggalkan. Itu seburuk-buruknya. Demikian ini berlaku untuk semua rasa seni di berbagai bentuk kesenian.

Sampai di sini seperti lazimnya saya terkesan sedang berada pada fanatisme sudut pandang Islam. Di era ini suka dipermasalahkan. Padahal fanatisme yang mencerahkan itu bukan fanatisme sempit. Tetapi tetap saja itu fanatik kan? Bukan taqlid buta. Ini tetap bicara soal hidup yang universal.

Selanjutnya saya mau buka dua gerbang yang agak berbeda pada momen yang sama. Misalnya soal panggung kesenian untuk gairah Muharom dan halal bihalal tetapi di dua tempat berbeda. Yang satu di alun-alun yang ditonton masyarakat umum, yang lain di lingkungan sekolah dan pesantren. Jelas beda. Sebeda seni di panggung hajatan masyarakat dan seni untuk membuka acara Tausiah Keagamaan. Yang di satu tempat, masyarakat memiliki keleluasaan dalam berhibur, meski tetap terukur. Di tempat yang lain, situasi dan tempat meminta agar pelaku seni dan penonton tetap berkhidmad pada konsentrasi 'pendidikan'. Maka kadar eksotisitas, bahkan kemunculan sensualitasnya pasti jauh beda.  Meskipun tidak bisa 100% ditinggalkan.

Ini menarik untuk membaca ruang kreatif senibudaya (sosialbudaya) pada dua momen itu. Sama-sama satu bulan lama kegiatannya. Bahkan di intansi-intansi, meskipun antar karyawan sudah saling bersalaman, pimpinannya berfikir kalau belum ada panggung halal bihalal belum terasa klop. Meskipun terselenggara di akhir bulan Syawal. Karena panggung itu bisa mengumpulkan sebanyak mungkin orang dari berbagai divisi dan anak cabang. Begitu pula dengan organisasi-organisasi.

Maka kesukacitaan apa lagi yang kita dustakan?

Selama 12 bulan ISLAM, kita punya ciri khas seremoni yang beragam dan sambung-menyambung. Di bulan peringatan Maulid Nabi SAW misalnya. Selain kode ziarah, ngaji maqom diri sebagai Ummat  Muhammad SAW, kita juga merayakannya dengan membuat panggung-panggung santunan anak yatim. Di situ ada dakwah dan ada kegiatan seninya. Termasuk di bulan suci Romadon. Waktu buka puasa bersama, mimbar dakwah, aneka pentas dan lomba, serta bazar Romadon pun semarak. Subhanallah.

Selain kegiatan yang berkaitan dengan bulan-bulan itu, ada juga yang tidak memakai patokan bulan itu. Wanginya masih soal kedekatan seorang hamba dengan Allahnya. Misalnya pesta syukuran waktu panen tiba, musim tanam,  pesta sunatan, perkawinan, pesta kenaikan dan kelulusan, wisuda, seremoni intansi dan organisasi, dan seterusnya. Belum lagi kesemarakan hari-hari nasional dan internasional yang memakai patokan bulan Masehi tetapi spiritnya Islami.

Ini hanyalah catatan pendek yang semoga mencerahkan berbagai pihak. Terutama tentang kesadaran hijrah dan kesadaran fitrah. Kesaksian nyantri dan tidak nyantri.

Kebenaran dan kemuliaan itu semata-mata hanya milik Allah SWT.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DINDING PUISI 264

JANGAN KALAH HEBAT DARI BIMA

TIDAK ADA YANG BENCI KALIMAT TAUHID