GENDEWO LAN JEMPARING
Penyair dan penggiat seni kelahiran Wanayasa Purwakarta, Ayi Kurnia Sukmasarakan membikin aku tertarik untuk membahas singkat soal gondewah jeung jamparing alias gendewo lan jemparing.
Pasalnya di Minggu akhir Romadon 2017 ini dia yang lagi ngadain kuis/lomba bikin status FB, nulis status di medsos Facebook yang isinya ngritik musisi Ahmad Dani. Yang dinilainya salah bikin lirik lagu ini: "Tatap matamu bagai busur panah yang kau lepaskan ke jantung hatiku"
Menurut Ayi, "Saliwat siga nu betul (matak laguna payu ka ABG oge) padahal lamun ditalungtik, ini jelas ngacapruk. Busur panah mah gondewa nu dicekelan ku leungeun kenca, nu aya tali pembentang paragi melepaskan anak panah. Lamun Busur panah dilepaskan atuh meureun ngabetrik kana beungeut. Kuduna yang dilepaskan mah anak panah, lain busur panah.
Bukti bahwa Ahmad Dhani sebenarnya ngacapruk (asal jeplak, pen.)"
Lalu saya komentari dalam bahasa prokem medsos, bahwa saya sendiri sebagai Anak Perkebunan yang sejak kecil tukang bikin alat pemanah dari bambu, tali dan daun kering, malah tidak banyak mikirin itu. Untungnya ada orang tua yang menjelaskan soal gondewa dan jamparing. Padahal penting juga sebagai khazanah tradisi dan mengetahui tafsir-tafsir.
Tapi bisa jadi, kalau benar Ahmad Dani keliru soal lirik itu, dia akan berposisi sama dengan tidak sedikit orang di negri ini. Bahwa maksud dan perbuatannya sudah benar, tetapi istilah dan kalimatnya salah.
Bahkan ada juga masyarakat kita yang merasa benar menyebut secara terbalik jamparing adalah busur yang memakai tali, sedangkan gondewa adalah anak panah. Itulah. Mungkin ada juga yang memahami anak panah adalah busur panah. Atau maksudnya, melepas busur artinya melepas jepretan talinya.
Atau kalau mau 'ngeles' pakai teori hiperbolik, Ahmad Dani mungkin bermaksud menyerang cinta dengan menggunakan busur, tali dan anak panah sekaligus. Membabi-buta. Nafsu birahi. Dilemparkan semua. Bukan dalam pengertian ngabetrik (melempar gendewa ke muka). Haha.
Di usia dewasa, hidup di Tatar Sunda saya sudah sering dengar istilah dalam lagu dan sajak Sunda, jamparing asih. Menurut saya frase itu menunjukkan arti segaris dengan panah asmara dalam lirik dangdut dan pop. Jadi okelah, saya juga dipaksa ketemu dengan lirik model made in Dani.
Tetapi yang lebih menarik sebenarnya, mengapa hal gondewah jeung jamparing itu bisa begitu penting untuk ngaji suci, ngaji sakti? Sampai-sampai harus ada hadis Rosul SAW yang bersabda soal memanah, berkuda dan berenang.
Gondewa atau gendewo, dalam bahasa Indonesia biasa disebut busur panah. Sedangkan jamparing atau jemparing adalah anak panah. Di antara keduanya ada penghubung berupa tali busur, atau yang biasa disebut juga tali panah.
Ini adalah alat untuk berburu dan berperang. Berburu dalam pengertian beradab, mencari nafkah untuk kesejahteraan fitrah hidup, sedangkan untuk berperang dalam maksud membela atau mempertahankan nyawa dan harga diri dari prinsip-prinsip yang benar dan mulia. Lain itu, tentu di luar kontek prikemanusiaan. Ingkar sunah. Bukan sunah Rosul SAW.
Maka alat panah ini sudah merepresentasikan semua jenis senjata untuk berburu dan berperang. Tidak lagi dalam posisi cuma satu jenis alat. Itu tafsir besarnya. Di dalamnya sudah termasuk tank baja, helikopter, pesawat tempur dan kapal induk.
Kesatuan busur, anak panah dan tali panah adalah perlambang keterikatan, kemelekatan seluruh elemen pembentuknya sehingga menjadi kuat, berdaya, dan bisa dipergunakan untuk mencapai tujuan kemenangan. Apapun. Busur bisa berarti sistem perburuan atau pertahanan kramanan. Tali panah bisa berupa ilmu yang menjelaskan semuanya. Dan anak panah berarti cara kerja efektif efisien, eksekusinya, atau ujung tombaknya.
Kalau sudah sampai ke titik pemahaman ini, siapa berani menolak hadis Nabi?
Saya tidak bermaksud menjelaskan sekaligus soal berkuda dan renang dalam tulisan ini. Silahkan teruskan saja wacananya dari sini.
Dalam dunia pewayangan ada beberapa nama yang bisa disebut untuk memperjelas posisi alat panah dan prinsip memanah secara tradisional. Salahsatunya adalah Arjuna. Sosok ganteng yang memiliki multi-panah. Untuk berburu (mencari nafkah), berperang (bela diri dan bela negara) dan bercinta.
Sekali tarik tali busur, ribuan anak panah akan melesat. Karena wacana Arjuna adalah teori ketentaraan. Sekali kokang senjata seluruh prajurit akan menyerbu. Sekali Jendral Soedirman menarik gagang keris, belum lagi mengacungkan ke langit, seluruh bangsa Indonesia sudah maju bertempur.
Secara ilmu kontemplasi. Dalam mistisisme Islam. Jika seorang muslim sejati menguat puasanya, menjerit nadi sucinya, mendarah mengairmata, di atas sajadah sendirian pun ia bergerak berderap bersama seluruh pejuang kemanusiaan. Hadirnya lebih dari sekadar raksasa, tapi bukan monster, gendruwo, buto ijo, apalagi dajal.
Ketika ia menghuni satu gerakan atau organisasi. Sesungguhnya ia telah bergerak dalam seluruh gerakan dan organisasi di garis depan. Bahu-membahu. Dukung-mendukung. Jaga-menjaga. Wangi-mewangikan. Haji-menghajikan. Syahid-menyahidkan.
Bahkan mengakui eksistensi Adipati Karna. Kebenaran panah itu, meskipun pada Kurawa (tubuh yang sesat binasa), tetap sebuah kebenaran. Seperti misal, apakah Firaun tidak mengasihi ibu kandungnya? Apa tidak ada sekecil apapun kebenaran dalam percintaan itu? Tentu ada. Begitulah Karna. Kebaikan yang mati di tubuh penjahat. Kebaikan tetap saja saudaranya kebaikan. Lain tidak. Kita mesti jujur. Jangan plintat-plintut. Meskipun Pandawa harus memanah mati Karna. Maksudnya membunuh Kurawa. Membinasakan Fir'aun. Itu Satria namanya.
Dalam prinsip gairah asmara, bahkan dalam asmaragama, pola percintaan sebagai kebutuhan hakiki manusia, kecerahan pengetahuan bercinta, dan cara merealisasikan cinta sejati adalah tiga unsur utama.
Bagaimana mungkin persetubuhan pria-wanita yang telah menolak pihak ketiga, syetan, sekaligus telah berupaya menghadirkan pihak ketiga, enerji malaikat Allah, tanpa nikmat klimak yang membangun kesadaran cinta akan disebut harmonis dan sempurna?
Bagaimana mungkin kita kataji kapati-pati (cinta berat, cinta mati) oleh jamparing asih, panah asmara, kalau menggauli tubuh terkasih tidak laksana pestapora paling besar, sekaligus pelampiasan spirit sholat yang tinggi, meledakkan hasrat kepasrahan, menghargai motivasi kesedihan-kesedihan. Airmata di atas sperma.
Kalau kegantengan Arjuna seumur dengan ilmu panahannya. Lalu disegariskan kalimatnya dengan gantengnya Nabi Yusuf AS, disegariskan juga kayanya dengan Nabi Sulaeman AS. Sesuai paradigma Wayang Sunan. Wayang Dakwah. Maka bisa diumpamakan, pesan ketokohan Arjuna adalah Yusuf Sulaeman. Ya ganteng ya kaya. Tapi tetap multi tafsir. Gantengnya Nabi Yusuf tidak harus dengan parameter melebihi wajah pemain film India. Sebab bisa jadi karakter solehnya yang ganteng, bukan fisiknya. Yang membuat para wanita tertarik karena kemuliaannya. Budi pekertinya. Bahkan ada wanita-wanita yang khilaf, malah berbuat salah melukai tangannya sendiri, merayu-rayu Yusuf dengan cara yang salah. Padahal sebagai figur ganteng, Nabi Yusuf tak terpengaruh oleh dosa.
Demikian pula soal kekayaan. Tidak harus parameternya melebihi Aburizal Bakri atau Raja Arab, misalnya. Sebabnya, syukur nikmat atas segala kepemilikan, sekaligus merasa memiliki dan bertanggungjawab atas seluruh milik Allah, adalah hakekat status kaya juga.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com
Komentar
Posting Komentar