MESJID BEDUG INDONESIA

Kalau kita sedang ada di luar negri, termasuk di negara-negara Timur Tengah. Atau ketika kita bertanya kepada mereka yang ke luar negri. Pernahkah atau adakah di antara mereka yang heran, mengapa di sana tidak ada bedug? Ya iya lah. Karena mereka tiba-tiba wajib mengakui tradisi khas mesjid Indonesia yang ada bedugnya. Kita sebut saja, Mesjid Bedug Indonesia.

Maka ketika saya menjadi Narasumber Senibudaya di radio-radio, 'mendengar' debat di koran dan majalah, tentang tidak perlunya bedug di mesjid, kontan saya heran. Bukan menolak pandangan, bahwa Rosulullah tidak membuat bedug di mesjid. Bukan. Bukan menolak itu. Tetapi khas bedug Indonesia juga bisa dibilang 'nyunah'. Bukankah secara umum dan prinsip, Rosulullah bersabda agar ummat Islam berdakwah dengan menunjukkan daya tarik untuk hidup mulia di jalan Allah? Argumentasi yang tidak sederhana ini sungguh mudah diterima oleh kaum awam maupun intelektual.

Analoginya, tidak ditolak seorang muslimah berjilbab memakai kain kebaya batik tradisional.

Saya bisa berbagi beberapa pengalaman seputar bedug yang mungkin tidak hebat, tetapi membeli hati saya.

Pertama. Kelas III SD saya pertama kali diajak guru SD ke Mesjid Curug Sewu untuk belajar gerakan sholat. Empat hal membuat hati kanak-kanak saya takjub. Gedung mesjid itu berlangit tinggi, bersih, sejuk dan tenang. Ubinnya mengkilat, bahkan enak buat berbaring anak-anak seperti saya. Ada burung gereja di atapnya. Ada speaker (pengeras suara azan). Dan satu lagi, seneng lihat bedug. Bedug menjadi sesuatu yang khas dan wah. Itulah kata hati saya, kelas III SD.

Kedua. Dari pengalaman mendatangi banyak mesjid, saya merasa tentram mendengar dua kata. Yaitu ketika seseorang (mungkin DKM) berteriak, "Azan!" Atau, "Bedug!". Lalu setelah kata-kata itu akan terlibat dua orang spontan berdiri. Satu ke tempat bedug untuk memukul bedug, yang kedua ke depan untuk azan.

Ketiga, pada hari raya suara bedug yang ditabuh mengiringi suara takbir seperti tersenyum-senyum. Seperti degup jantung yang yakn dan mantap. Kemenangan yang gagah. Gegap gempita yang tentram.

Tetapi ada juga beberapa mesjid yang membedakan bedug untuk azan dan untuk takbiran. Biasanya mesjid juga punya bedug yang lebih kecil. Disimpan untuk keperluan takbiran itu. Di Tatar Sunda biasa disebut dulag karena berfungsi untuk ngadulag, takbiran.

Bahkan bedug dulag ini juga bisa dimiliki oleh ketua RT/RW, sekolah-sekolah Islam, organisasi Islam, dan Pesantren. Selain itu organisasi-organisasi apapun  biasa membuat dadakan sebelum malam takbir dari bahan sebuah drum dan kulit kambing/sapi. Biasa juga diarak keliling kampung memakai gerobak dorong atau mobil bak terbuka.

Wajar di kampung-kampung ngadulag (takbiran) keliling semarak, karena jarak antara mesjid yang satu dengan yang lain berjauhan. Sehingga bedug/dulag keliling adalah daya tarik tersendiri. Bernilai gairah keislaman dan syiar tersendiri. Sensasional. Tetapi kalau di kota Metropolitan seperti Jakarta sebenarnya tidak terlalu demikian. Mengapa? Karena jarak antara mesjid yang satu dengan yang lain sangat berdekatan. Kadang satu RW saja punya lebih dari satu mesjid. Belum lagi jumlah musola sangat banyak. Tanpa bedung keliling pun suara speaker itu sudah bersahut-sahutan luar biasa. Langit Jakarta seperti sudah sangat semarak oleh suara-suara itu. Belum lagi, takbir keliling di Jakarta kerap terjebak macet, atau bahkan jadi penyebab kemacetan. Belum lagi gara-gara kemacetan dan kepenatan di situ kadang memunculkan hati yang kurang kusyu ketika takbir keliling. Bahkan ada yang mengakibatkan tawuran. Sangat disayangkan.

Kembali ke soal bedug mesjid Indonesia. Kita bisa melongok dari berbagai sudut pandang. Pertama, secara historis. Sejak mesjid-mesjid pertama didirikan untuk syiar Islam di tanah air kita, bedug adalah daya lihat masyarakat tradisional kita yang sudah biasa dengan bunyi-bunyian. Seni. Apalagi ini beda. Propagandanya beda. Dibuat besar, bahkan sangat besar, menakjubkan. Sekali tabuh, suaranya menggelegar menggetarkan. Berisi panggilan Illahi. Itu sebabnya orang Jawa biasa menyebut, Kyai Bedug, atau bedug punya nama tersendiri, Kyai Fulan. Hal itu wajar karena bedug itu bukan lagi barang tergeletak, tergolek diam. Tetapi sudah membawa visi-misi para Kyai.

Kedua, secara filosofis bedug adalah daya panggil. Upaya pemanfaatan yang besar untuk dakwah. Segaris dengan Muazin. Bukankah setiap pribadi muslim harus berlomba-lomba, panggil manggil, dalam kebaikan dan kesabaran? Bahkan semua barang-barang kita, termasuk semua fasilitas umum yang dibangun, harus membawa bismillah, bernilai memanggil kebaikan. Mendatangkan manfaat. Bedug adalah juga sentrum, titik peta suara, sumber panggilan suci.

Kehidupan masyarakat Nusantara dahulu sesungguhnya telah melahirkan kesadaran kemanusiaan berketuhanan yang bahkan sampai merakyat dengan  istilah, frase, "Yang ini, atau yang itu, atau berupa pertanyaan, yang mana?" Atau kita biasa mengucap, "Punyaku yang ini bukan yang itu". Atau kalimat lain, "Yang ini atau yang itu sama saja tapi kita harus memilih". Kata 'yang' menunjukkan sikap keberpihakan kepada Allah. Membedakan. Itu sebabnya Islam diterima dengan damai karena Al-Furqon (Al-Qur'an itu). Kitab pembeda yang  benar dan yang salah, yang adil dan menentramkan. Dan tidak main-main. Orang-orang pertama yang mengakui ISLAM justru orang-orang pintar, kaum intelektual, bukan orang bodoh yang 'dijebak' atau 'digiring' .

Ketiga. Secara sosiologis bedug adalah buah rasa seni masyarakat. Rasa halus jiwa masyarakat yang sudi digetarkan untuk tegaknya kalimat Allah. Sehingga bedug sudah sangat bermuatan tauhid bagi masyarakat Islam  dan para pencari Tuhan. Bahkan ada perasaan yang lucu tapi masuk akal. Meskipun semestinya tidak demikian. Kalau anak-anak berjalan di tempat gelap samping bedug hatinya tentram. Tetapi kalau jalan di samping krenda mayat di pojok mesjid meskipun di tempat terang, biasanya anak-anak bilang, serem banget. Terlepas dari kesemestiannya tidak begitu rasa kita pada krenda mayat, tetapi rasa mereka pada eksistensi bedug menunjukkan, alat untuk memanggil ke jalan Allah itu ternyata serba menentramkan.

Demikianlah. Semoga catatan singkat ini besar manfaatnya.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG