MOMENTUM PUISI KODIM

Begitu di halaman facebook, Rudy Aliruda mengekspos kegiatan lomba baca puisi Kodim Purwakarta, saya langsung komen sukacita, "Lanjutkan, Jendral!". Tentu kalimat saya beraroma TNI. Lalu saya teringat, pernah ingin nulis seperti dalam tulisan ini, seputar panggung baca dan lomba puisi:

Ada yang bilang saya tukang bikin ulah di panggung puisi. Tapi tidak mengapa asal ulah sehat. Kreatif maksudnya. Bukan bagian dari tanda-tanda penyakit masyarakat.

Dari umur 17 tahun saya sudah biasa baca puisi. Juga pidato. Bersama Jembar Candra Bayu, teman satu Gudep Pramuka, dia Ketua sedang saya Bidang Pengetahuan Umum, kami baca puisi berseragam mandor. Ini segaris dengan para pembaca di mana-mana yang suka pakai kostum macam-macam.

Di panggung Agustusan saya pernah baca puisi sambil tidur terlentang. Ini segaris dengan para pembaca yang membawa posisi dan gerak badan apa dan bagaimana saja.

Saya pernah baca puisi, waktu itu kelas II SMA/SPG, dengan menabur-naburkan daun hijau. Karena perlambang hidup tidak harus bunga. Menurut saya ketika itu, terminologinya tidak harus mewangi, tetapi juga harus kesejukan. Sampai akhirnya ketika saya membuat Yayasan Seni (untuk menemani diskusi teman-teman di berbagai komunias seni) dengan lambang bunga, saya pilih bunga tasbih (ganyong). Maka  jadilah, Kisah Bunga Tasbih, Cannadrama. Wanginya ada pada indah dan sejuknya. Karena sudah 'keterlaluan' yang mencari wangi hanya dari sudut daya endus moncong hidung. Daya lihat dari mata terbelalak. Apalagi saya teman para tunanetra yang melihat dengan rasa. Bahkan seorang tuna netra, Edy Kelana dari Subang, adalah pemain teater saya.

Saya remaja juga baca puisi berantai. Bahkan satu puisi tidak cuma bisa dibaca oleh beberapa orang dalam satu kali tampil, tetapi oleh tiga anak dari sekolah yang berbeda. Waktu itu perwakilan dari SPG, SMKK, dan STM. Seru tentu saja. Bukan bikin isu tawuran tapi membangun citra  kebersamaan. 

Lalu waktu saya aktif sebagai guru sukwan saya berinisiatif baca puisi dengan beberapa guru di Pantai Pelabuhan Ratu, kelak cara yang sama berlanjut bersama Ali Novel dkk di Taman Situ Buleud, bahkan berjadwal tiap minggu sepanjang tahun, ini yang menginspirasi istilah Wisata Sastra.

Saya juga baca puisi di tengah acara dangdutan. Itu terjadi sejak tahun 1991 di Radio Menara FM Sukabumi. Klasifikasinya, ini baca puisi di tengah acara seni yang menurut banyak orang  tidak lazim.

Saya juga baca puisi dan memberikan orasi budaya setiap kali menjadi Ketua Dewan Juri atau mewakili Tim Juri Lomba Baca Puisi. Sebab kalau tidak demikian saya tidak bisa menyampaikan hal-hal besar, persoalan prinsip, dan sesuatu yang masih serba rahasia di dunia puisi dan baca puisi. Ini penting. Meskipun tentu saja dibungkus dalam istilah, pengarahan juri.

Meskipun ada pengalaman uniknya. Ketika itu ada panitia penyelenggara yang sangat awam. Alih-alih disyukuri bahwa Dewan Juri adalah kepanjangan tangan panitia penyelenggara, yang tentu punya visi-misi samgat sesuai proposal, saya malah dicurigai sebagai motor penggerak ke arah tertentu, seperti melangkahi panitia, bahkan seolah-olah takut kalau jamaah yang hadir terbawa kode politik saya. Sangat lucu. Padahal universal. Ibarat manusia bicara kemanusiaan saja. Apalagi dia tahu saya sudah pengalaman jadi panitia seni dan juri seni di mana-mana. Untung saya masih nerima honor.

Apapun sudah kita lakukan. Termasuk naik panggung baca puisi membawa atau memegang sesuatu. Misalnya sambil memukul-mukul kendang, kaleng, atau batu-batu.  Saya bahkan bawa foto istri, Wilhelmina Mangkang, pada sebuah figura berukuran besar.

Bahkan dari banyak cara itu. Ada puisi-puisi teriak, tanpa alat bantu. Ada puisi pakai mikrofon dan sound system. Ada juga puisi yang paling familiar di segala perkemahan dan acara alam, yaitu PUISI MEGAPHONE.

Tulisan ini, jujur, saya tulis karena terinspirasi untuk menyampaikannya setelah membaca kabar tentang Momentum Puisi Kodim (maksudnya, Lomba Baca Puisi Romadon Ala Kodim 0619 Purwakarta), meskipun sudah lama terfikirkan.

Begini. Lomba baca puisi tentu bisa perorangan, bisa berkelompok. Ini sudah banyak yang maklum. Tetapi bahwa baca puisi perorangan juga kerja sebuah tim, ini masih sedikit yang mafhum. Maka pernah suatu waktu saya sampaikan uraian ini di sebuah SMK Kesehatan.

Singkatnya saya katakan begini, "Kalau ada seorang pembaca puisi akan tampil. Entah itu sebagai pribadi yang punya tim, representasi organisasi/komunitas, atau berasal dari sekolah/kampus tertentu, tidak mustahil ketika dia diwajibkan tampil tidak lebih dari 5 menit, maka ia akan melakukan protes. Atau boleh mengajukan keberatan. Sebab apa?

Sebab setelah dihitung-hitung, ternyata ketika akan tampil, timnya meminta untuk pasang properti panggung tertentu, backdrop, mengatur jumlah sampai ketinggian mikrofon, dll. Meskipun dijanjikan berwaktu cepat, tetapi jatah 5 menit bisa jadi tidak cukup. Apakah hal ini boleh?

Dari kaidah totalitas tampil, seorang pembaca puisi bersama timnya, termasuk dalam lomba, tentu saja punya kebebasan ekspresi. Itu disebut penuh persiapan namanya. Bisa disebut cara profesional juga. Tetapi persolannya, seberapa jauh panitia dan juri bakal memberi toleransi? Tentu harus ada aturan yang sudah dibuat. Karena sulit melihat ketentuan baku yang umum. Ketemu-ketemu pengalaman yang pernah dilihat, tidak termasuk yang belum dilihat, apalagi sesuatu hasil eksplorasi, atau yang masih bersifat eksperimen.

Inilah yang masih sering tidak dipelajari oleh panitia dan juri. Sehingga keduanya tidak cukup siap dengan rahasia eksplorasi panggung. Disangkanya cara persiapan model begitu hanya milik vestifal band saja.

Dalam lomba di SMK Kesehatan itu saya bebaskan jika ada yang melakukan itu, asalkan tidak menutup backdrop tema kegiatan, tidak baca puisi sampai ke luar arena panggung, dan waktunya tidak lebih dari jatah naik panggung  tiap peserta. Sesingkat mungkin. Sekaligus ngasih tahu, itulah tim yang mau menang maksimal, meskipun diwakili oleh seorang pembaca sajak.

Saya bangga ketika beberapa bulan kemudian jadi juri di lain tempat, seorang panitia sudah melakukan pencerahan sekaligus pembatasan itu. Rupanya waktu di SMK Kesehatan dia mengutus pesertanya yang sempat jadi juara.

Mumpung saat ini saya dengar kabar baik tentang PUISI KODIM itu (Kamis, 08062017), apalagi teman saya, penyair muda penggiat Wisata Sastra, Rudy Aliruda juga terlibat dalam kegiatan itu, tentu akan sangat mudah diingat kalau momentum ini sekaligus saya pakai bicara hal yang tidak kalah pentingnya seputar baca puisi.

Acara PUISI KODIM itu menurut informasi berjalan semarak dan apresiatif. Backdrop panggung yang besar menunjukkan keseriusan acara dan bernilai syiar dan promosi yang edukatif. Terutama pada poin puisi dan Romadon. Peserta juga sangat ekspresif.

Good-lah kalau begitu. Semoga kegiatan sejenis tiap tahunnya semarak. Istilah PUISI KODIM juga semoga bisa jadi isu Apresiasi Puisi Nasional. Momennya bisa beragam. Tergantung keadaan dan kebutuhan masyarakat setempat.  Bisa suasana Romadon, Agustusan, Hari Pahlawan, Kebangkitan Nasional, pekan Hijriah, dll.

Pada tulisan ini selain yang sudah saya kemukakan di awal. Saya mau mengingatkan dua hal.

Sudah semestinya kita mengenal dua hal ini dalam penampilan berpuisi. Ini memang soal penampilan. Tetapi tidak remeh. Sebab di atas panggung kita jual tontonan. Jual aura. Meditasi proses kreatif yang 'liar' tetapi terukur penuh tanggungjawab.

Posisi nilai di kertas juri sebenarnya bukan di urutan atas dengan poin besar. Sebab yang menyumbang poin besar dalam penjurian baca puisi itu misalnya, intonasi huruf, kata, dan kalimat, tehnik dan keberhasilan penyampaian pesan sajak, dan penghayatan. Ini logika umum.

Tetapi meskipun terkait soal penampilan, dua hal yang saya maksud sangat penting. Pertama, soal kostum/pakaian. Kalau lomba antar pelajar dan mahasiswa, atau yang melibatkan pelajar dan mahasiswa, tetapi penyelenggaranya dinas pendidikan, okelah peserta lomba baca puisi pakai seragam sekolah. Itu punya muatan pendidikan karakter di situ. Bangga sebagai pelajar atau mahasiswa Indonesia. Tetapi kalau penyelenggaranya intansi lain atau organisasi masyarakat dengan maksud tidak memberi penekanan khusus pada simbol seragam di situ, menurut saya lebih tepat peserta di beri kebebasan memakai kostum panggungnya. Biar merasa selayaknya penyair pada umumnya. Ini kelak berkaitan dengan pengalaman dan jam terbang. Pernah begini dan begitu. Tidak monoton. Dan panitia yang sudah memberi akan dihargai oleh kenangan peserta.

Kedua, sebagai tontonan dan fokus fotografi setiap peserta yang tampil tidak selalu harus tampil konvensional dengan nomor peserta disematkan di badan. Dari jarak jauh maupun close up, gambar peserta dengan nomor di badan kadang terasa mengganggu hasil gambar. Bahkan untuk dimuat di berita website maupun halaman koran.

Itu sebabnya kompetisi di layar tivi minus nomor peserta, kecuali pada audisi awal ketika bejibun. Ketika sudah mulai jadi pertunjukan panggung, meskipun itu sebuah lomba,  penomoran itu hilang.

Singkatnya, kalau nomor peserta diakali dengan cara lain, peserta akan nampak di layar video atau kamera selayaknya penyair yang beraksi. Ini bukan tanpa alasan lain yang lebih utama. Kita kan tentu punya misi, propaganda: Ikut lomba baca puisi dengan tema tertentu, misalnya tema Kebesaran Romadon, adalah sebuah kontribusi peserta untuk menyampaikan pesan tema itu. Artinya apa? Dia juga sedang bekerja, sedang bersyiar, tidak cuma sedang lomba. Dalam pesan demonstratif, penomoran itu, bahkan menjadi juara, menjadi tidak penting sama sekali.

Lalu apa salahsatu solusinya? Banyak. Misalnya tiap kali peserta tampil, bisa saja peserta membawa nomor selayaknya papan nama di meja, lalu ia letakkan di dasar panggung di depan juri. Baru peserta memulai baca puisi. Begitu seterusnya. Atau dengan solusi lain. Misalnya, ada layar monitor yang menayangkan nomor peserta di satu sudut ruangan acara.

Kalau dalam tema dan lomba lain peserta mau teriak tema tani, biarlah mereka pakai baju apa saja, termasuk baju tani, atau selayaknya demonstran memakai jaket dan celana jeans tetapi berikat kepala, peduli tani!

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG