THR PENYAIR
Penggagas grup medsos Facebook Lumbung Puisi Sastrawan, RgBagus Warsono menulis status: Ada sekitar 51.400 penyair di Indonesia, silahkan Pemerintah memikirkan THR-nya.
Saya tergelitik asyik untuk menurunkan tulisan ini di Cannadrama.blogspot.Com. Sedikit di bawa ke ranah serius santai. Begitulah. Dan judulnya saya bikin segaris dengan maksud, THR PENYAIR.
THR adalah singkatan untuk Tunjangan Hari Raya. Biasanya berlaku untuk dua hal. Pertama, sesuai peraturan pemerintah tentang pemberian THR kepada kaum pekerja. Kedua, pemberian-pemberian yang tidak mengikat, berupa uang atau barang, kepada seseorang dengan maksud sebagai hadiah spesial lebaran.
Peristiwa kedua inilah yang secara sosial sering mengakibatkan seoang pedagang eceran suka nyeletuk kepada Si Engko pemilik toko grosir, "Ko, mana nih THR-nya?" Begitulah.
Model THR kedua ini pula yang pernah membuat negara gerah karena dikhawatirkan akan banyak parsel atas nama THR, padahal sogokan. Gratifikasi. Korupsi.
Bagi penyair Indonesia, berapapun jumlahnya. Tentu memang punya jumlah. Setidaknya keterwakilan sekian banyak penyair yang menonjol di tiap propinsi, lalu terakumulasi secara nasional. Bagi mereka, upah, honor, nafkah, atau THR adalah bagian dari hak hidupnya yang paling asasi. Dalam relijiusitas Islam, itu bagian dari kewajiban menjawab definisi awal zakat fitrah kepada diri pribadi manusia telanjang tanpa punya apa-apa, lalu dalam terminologi sosial terangkat menjadi gerakan wajib hidup dalam lingkaran zakat fitrah itu, terutama kepada diri kita, tubuh kita yang membelah diri di mana-mana, kaum miskin.
Maka beribu berjuta kali sudah saya bilang. Di acara Apresiasi Seni Radio, dalam orasi dan diskusi, juga melalui tulisan medsos dan blog ini, bahwa puisi harus bekerja.
Khas kerja puisi adalah menjadi sebentuk kesaksian yang bersifat katarsis. Mencerahkan. Membangun kesadaran, kebangkitan dan kemajuan. Tentu mediumnya karya sastra puisi atau syair. Baik lisan maupun tulisan. Termasuk ketika dilantunkan atau diiringi musik berubah menjadi musikalisasi puisi.
Selanjutnya, lagi-lagi secara humanis-universal, logika spiritual, kemanusiaan siapapun akan menyebut kebenaran pada puisi adalah kesadaran yang dibangun oleh kondisi sadar penyairnya. Maka berpengaruh atau dipengaruhilah puisi itu oleh kondisi hidup penyairnya.
Bukan. Bukan soal kaya miskin. Itu tidak adil. Bukan soal sebutan agama atau suku. Itu primordial. Bukan pula karena kedudukan-kedudukan. Itu keangkuhan dan kesombongan. Melainkan soal kesepahaman tidak tertulis soal kemanusiaan yang adil dan beradab. Hingga benarlah Pancasila kita bersumber dari akar hidup bangsa Indonesia. Bahkan bisa menginspirasi manusia sedunia. Karena kumparan awalnya, hakekat kemanusiaan di muka bumi sejak Nabi Adam AS.
Penyair akan berada di makan tidak makan. Beristri tidak beristri. Beranak tidak beranak. Bermurid tidak bermurid. Berpengaruh tidak berpengaruh. Dan seterusnya. Logika saja. Tetapi mustahil bersekutu dengan syetan. Kecuali yang masuk ke dalam konspirasi tipu-muslihat. Toh sebutannya, bukan penyair lagi. Pecundang namanya. Manusia-manusia gagal.
Maka saya teriakkan, penyair harus kerja! Baik kerja puisinya agar membentuk diri penyairnya, minimal. Dan berpengaruh bagi kehidupan umum, sunahnya. Dan kerja menafkahi dirinya, minimal. Dan bersedekah atau turun membangun sistem ekonomi untuk kesejahteraan manusia secara uniersal. Kalau tidak demikian. Mati kutu. Bahkan mati juga depan calon istri dan mertua. Lalu dilaknat dengan sindiran, "Maaf, anak-istri dilarang cuma makan puisi!" Itu tidak menyudahi. Tidak sampai di titik sampai. Tidak bisa disebut tinggi. Tertolak dari kesadaran mendasar.
Keja formal penyair bisa apa saja. Kuli, pedagang, petani, nelayan, pegawai negri, buruh pabrik, wartawan, supir, polisi, pengusaha, anggota legislatif, mentri, presiden, tukang sablon, artis sinetron, dan lain-lain. Yang penting dalam ruang relativitas itu, kebahagiaan lahir batinnya terbeli oleh rasa syukur nikmat. Lalu kata-kata dan puisinya menjadi jimat masyarakat. Keramat adat. Semangat sebuah bangsa. Harga manusia dan kemanusiaannya.
Dan THR pun mengalir dari pintu-pintunya. Itulah THR para penyair. Tidak benar THR seorang penyair yang seorang direktur atau mentri jauh lebih baik dari THR seorang penyair yang sedang sibuk kuli ngaspal jalan tol. Siapa tahu, meskipun gak bikin kaya raya, antologi milik penyair kedua justru lebih laku, populer dan berpengaruh, daripada milik penyair pertama.
Gaya panggung penyair yang tak diduga-duga sebelumnya pun bisa tiba-tiba menggetarkan halaman koran, layar tivi, gelombang radio, sinyal internet, dan tiang panggung. Tanpa basa basi.
Tetapi secara sistematis wajar kita berkomunikasi efektif dengan pemerintah. Begini analoginya. Masa' sih, pemerintah daerah melalui intansi terkaitnya tidak punya data, siapa-siapa penyanyi populer di kabupatennya? Siapa-siapa penari dan penyairnya? Berapa Dalang dan pelukisnya? Di titik mana saja ada majlis taklim dan grup Qosidah, marawis dan nasyidnya? Dan seterusnya. Padahal ini akan melahirkan pengakuan-pengakuan formal informal. Baik berupa penghargaan, maupun keikutsertaan mereka dalam hajat-hajat pembangunan daerah.
Data di kabupaten tentu milik kabupaten. Data propinsi akan melebur ratus-juta nama itu sepropinsi. Nantinya akan menjadi data nasional, menjadi wujud penghargaan, pengakuan dan pelibatan mereka pada ajang-ajang nasional dan internasional. Jangan sampai menjadi potensi besar yang dimubazirkan, apalagi dibunuh.
Merujuk pada pengkritisan saya untuk forum temu seniman se-Indonesia yang difasilitasi negara, misalnya. Sistem apa yang digunakan untuk sebenar-benarnya menciptakan keterwkilan seluruh potensi seni dan kabupaten, bahkan seluruh RT-RW se-Nusantara?
Kompetensi seperti apa yang menjadi rujukan seseorang bisa masuk pada forum serupa itu? Apa asal goblek? Asal S-1? Asal komunitas? Asal dekat? Asal apa saja? Proyek menghambur-hamburkan uang belaka? Yang penting mewakili seluruh propinsi?
Kecuali pada swasta. Kalau sebagai swasta saya ngadain temu penyair se-Nusantara, bahkan mungkin ada yang akan merasa ewuh-pakewuh untuk hadir, karena melihat saya ada partainya, misalnya. Mereka akan masabodoh saja akhirnya. Biasa saja. Padahal seni atau sastra bekerja menembus ruang dan waktu. Atau, forum swasta yang saya gagas itu cuma dianggap ecek-ecek atau sempalan. Meskipun dunia mengakui resonansinya dahsyat.
Sedangkan forum yang difasilitasi negara tentu lain. Lain! Bukan soal lebih hebat dari forum swasta. Belum tentu. Tetapi bagaimana merebut peluang untuk jadi hebat itu. Dengan mengefektifkan anggaran, fasilitas, dan pengakuan negara berkedaulatan rakyat itu untuk sebesar-besarnya mengemban amanahnya.
Ini yang saya sebut ruang kerja besar. Ini berada dalam ruang Politik Kebudayaan. Politik kesenian. Bukan politik partai. Bukan pula pragmatisme politik partai penguasa. Ini soal pembangunan bangsa di segala bidang. Karena tema dan pengaruh seni itu segala bidang.
Nah, selamat menikmati THR untuk seluruh penyair se-Indonesia.
Saya bilang, kalau cuma sekedar pingin sering dilibatkan dalam hajat seni yang difasilitasi pemerintah, itu malah fikiran sementara pihak yang kecil. Bagaimanapun hajat pemerintah itu hanya satu pintu dari semua pintu. Pernah terlibat pun sudah sangat bagus. Terkecuali kalau nasib baik membuat kita dipercaya lama terlibat.
Tapi siapa yang nolak kalau pemerintah mau bagi-bagi sarung atau mukena untuk seluruh penyair Indonesia. Yang non muslim setidaknya dapat kemeja batik. Apalagi di dalam kemasannya ada amplopnya. Haha!
Kalau THR-nya berupa pembuatan antoligi puisi nasional, 12 buku setahun, 1 judul tiap bulan, saya mau bilang, belum tentu yang tidak terkatrol masuk antologi adalah penyair buruk atau bahkan tertolak sebagai penyair. Sebab halaman buku dan promosinya selalu terbatas. Tidak selalu sampai pada telinga semua. Belum lagi yang sedang uzur gak bisa ngirim puisi ke antologi itu, bukan berarti terpecat dari daftar penyair Indonesia. Saya perlu membela dan mengamankan yang kurang mujur, sekaligus ihlas menegur yang terlalu sombong.
Maaf lahir batin.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com
Komentar
Posting Komentar