KE KOTA TUA TRUS KE MUSIUM SENIRUPA DAN KERAMIK

Ke Kota Tua Jakarta ada apa? Itu pertanyaan keponakan saya. Simpel saya jawab, ada gedung-gedung tua yang eksotik untuk  berfoto-foto. Karena gambar bisa bercerita dengan sendirinya tentang kita dan masa lalu.

Lalu apa lagi? Ada museum-museum tempat kita mengetahui perjalanan sejarah Indonesia dan Jakarta khususnya.

Lalu apa lagi? Masuk Museum Seni Rupa untuk ngaji rasa.

Itulah tiga jawaban beruntun, satu paket yang paling nyaman dan tegas menggambarkan Wisata Kota Tua atau Wisata Kotu versi saya. Meskipun di sosmed sering kita jumpai para muda yang berfoto-foto naik sepeda, saya fikir itu eksotika hiburannya, termasuk mendengar musik jalanan dan belanja pernak-pernik, selain bisa pesan bikin lukisan diri.

Romantisme dan gelak bisa kita dapati di ruang museum Seni Rupa dan Keramik. Siapa yang tidak tergelitik ketika ada ibu-ibu berjilbab berkomentar, "Ini gambar perempuan perasaan kelihatan susunya, kok gak pake baju ya?" Maklum yang namanya wisata keluarga kan segerombolan orang. Tidak hanya orang yang ngerti lukisan saja yang ke Kotu terus ke Museum Senirupa.

Hal menggelikan lagi ketika terdengar komentar, "Kok lukisannya cuma begini? Jelek. Anak saya aja bisa bikin yang beginian. Bahkan lebih bagus".

Romantisnya ketika kita menemui tahun lukisan lama, nama perupa yang dikenal, atau menelusur ke dalam karya kanvas yang sarat imaji pencerahan.

Di depan lukisan yang dianggap sederhana, bahkan dianggap jelek, orang awam tidak tahu bahwa ia harus menjawab ada apa di balik lukisan itu. Setidaknya menunjukkan rekaman jejak apa dan memberi katarsis apa?

Kita yang sabar dan sadar tiba-tiba diajak kaya kesadaran dan peduli. Setidaknya peduli pada karya lukis dan pada tema. Peduli tema berarti memahami 
tanggungjawab sosial sebagai tindakan praktis, bukan semata teoritis.

Berkali-kali saya cerita. Seorang perupa yang karyanya dituding sederhana dan jelek kenapa bisa membukukan ulasan karya-karyanya, membuat banyak gambar ilustrasi, bahkan dibiayai negara pula?

Selidik punya selidik ternyata ia adalah aktivis sosial, mewakili zaman atau aliran rupanya, atau minimal ia vokal menyampaikan tema lukisannya di depan banyak forum. Sebagai dampaknya, tema itu menjadi kontemplasi pemikiran sosial yang terus menggejala. Ini gotong royong dalam pembangunan di segala bidang tentunya.

Berhadapan dengan seorang perupa yang aktivis sosial atau seorang perupa yang budayawan, kita bisa dibuat termangu. Mereka berhasil menyingkap tabir rahasia, memunculkan gagasan dan solusi terbaru, bahkan menggambarkan sakit manusia ketika diperdaya payah, perjuangan cinta, dan seterusnya.

Itulah nilai seorang pelukis yang konsisten. Bisa vokal secara khas. Melalui lukisannya. Oleh karena itu selalu memerlukan ruang publik. Terutama pameran dan galeri yang terpromosikan dengan baik.

Memang ada pertanyaan, bukankah Musium Senirupa kadang dianggap tidak merepresentasikan seluruh pelukis Indonesia? Selain itu hanya sedikit yang bisa 'terpromosikan' di situ? Benar. Untuk itu membaca senirupa Indonesia tidak cukup di Musium itu. Jujur. Harus membaca simpul-simpul lain, baik yang dibuat pemerintah, swasta, sekelompok perupa, atau personal. Semua bisa sama pentingnya. Tetapi Musium seni rupa jangan ditinggalkan, harus terus diapresiasi supaya bisa hadir lebih optimal.

Jawaban ini juga saya sampaikan untuk argumentasi semua seni, termasuk penyair. Tidak benar sebuah konggres bisa dianggap selalu sempurna mewakili semua seniman. Harus ada pintu-pintu lain juga. Tidak benar temu penyair Nasional dan sebuah antologi bersamanya adalah satu-satunya eksistensi kepenyairan Indonesia. Semua harus diakui. Ini realitas dan demokrasi.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.Com


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG