DARI KODE BUDAYA BOROBUDUR MENANGIS UNTUK TRAGEDI MUSLIM ROHINGYA?
Kalau kita tidak kenal Budha di Myanmar, kita tidak bisa menyimpulkan. Itu pertama. Kedua, yang kita kenal justru Budha Indonesia sangat baik. Lalu apa bisa simbul eksistensi 'masyarakat Budha' di Indonesia dipaksa sebagai representasi simbul Budha Myanmar?
Kalau peristiwa tragedi kemanusiaan di Myanmar, pembantaian Muslim Rohingya, adalah peristiwa yang ditumpangi kepentingan politik tertentu, misalnya, apa itu representasi Ummat Budha?
Kalau masalahnya soal kewarganegaraan yang tidak diakui, yang juga viral disebut oleh pihak tertentu bukan karena masalah agama itu, apakah HAM dan hukum di muka bumi memberi syarat untuk membolehkannya? Lalu apa yang kita tahu dengan sejarah muslim Rohingya di Myanmar sebagai warga negara di sana?
Kalau dianalogikan. Ketika ada ummat Muslim di luar sana dibakar mesjidnya, bahkan sampai ada jamaah mesjd yang meninggal dunia, dan pelakunya pakai simbul gereja, apa kita akan demo di depan gereja di Indonesia? Padahal Kristen di Indonesia baik-baik saja. Apa itu artinya Gereja di Indonesia bisa disimbolkan untuk sekelompok orang yang bergejolak di luar sana? Apakah ummat Kristen Indonesia mau gerejanya disimbolkan untuk kekerasan yang di luar sana itu?
Jangan-jangan, meskipun diteriakkan atas nama Budha bagi sekelompok orang, kekerasan di Myanmar tidak mewakili semua ummat Budha di sana. Karena ummat Budha di sana yang baik-baik tidak berkepentingan dengan tragedi kemanusiaan itu.
Padahal demo kemarin di depan kedutaan Myanmar jauh lebih tepat.
Kalau rencana aksi damai di sekeliling Candi Borobudur, Magelang, untuk mengutuk kekerasan atas muslim Rohingya, dimaksudkan untuk menunjukkan pada dunia (dengan sensasi populartas Borobudur) bahwa ummat muslim dan Budha di Indonesia baik,-baik saja, apakah yakin itu 'tabungan wacana' yang akan berkembang? Meskipun aksinya sendiri akhirnya dikaim damai total.
Yang jelas kode budaya, Borobudur, pada cara yang tepat bisa disebut, bukan milik suatu rezim di Myanmar.
Saya pribadi punya anak tiri, muslim, tapi dia lahir dari seorang ayah yang Budha. Ayahnya telah berpulang. Bagi kami, ketika anak tiri saya itu punya kebanggaan pada Papanya. Itu wajar. Berarti masih ada kisah Budha di tengah keluarga.
Pengalaman pribadi saya yang lain, selain merasa sangat nyunda karena sejak kecil di Jawa Barat, tetapi lahir sampai kelas IV SD sebagai anak perkebunan di sekitar Obyek Wisata Curug Sewu, Kendal. Dan obyek wisata yang pertama kali dikunjungi keluar dari Curug Sewu adalah, Candi Borobudur. Konon, belum terasa Jawa Tengahnya kalau gak tahu Borobudur. Itu romantisme budaya di kalangan muslim Jawa Tengah.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar