PENARI ISTANA HASIL SELEKSI

(Tulisan ini saya turunkan kembali. Pertama dipublikasikan di facebook, 6 September 2016. Sebelum burung cangkeling saya jadi hitam pekat berkilat kehijauan. Meskipun ulasan tentang ini sudah bertahun-tahun di Apresiasi Seni Radio.)

Pagi. Aku coba pindahkan burung Sangkeling (Sikeling) dari sangkar kecil ke sangkar besar. Burung ini lincah dan lucu gerakannya, meskipun suaranya tak seindah penyanyi Ruth Sahanaya. Benar penari. Liar yang eksotis dalam kelasnya (seperti iklan motor ya?). Kadang terlalu lincah bahkan. Warna hitam kehijauan, dada totol hitam di atas dasar putih kehitaman, mata merah sedikit seram. Tapi kepala  kecil, tidak besar kepala. Aku seperti melihat hasil seleksi penari istana juga. Dan aku pangeran yang puas. Lalu berangkat kerja untuk kembali membuat besi berkeringat.

Dulu aku pernah berfikir, kalau saja aku jadi bupati sebelum menikah, aku bisa menikahi satu dari sekian penari terpilih. Terutama terpilih oleh hati. Ini perlu untuk mengangkat citra daerah senibudaya dan pariwisata. Tapi tentu dengan pertimbangan, dia harus wanita salehah yang benar-benar aku cintai.

Kalaupun aku tidak menikahi satu dari mereka, formalnya bisa aku bikin model penari istana, untuk sekadar menyebut pendopo tidak jauh dari tradisi rakyat itu. Mereka adalah penari untuk acara-acara penting sekaligus para guru tari.

Supaya tidak terkesan sentralistik, ini selalu otokritik tentang hal terburuk, aku juga melakukan motivasi dan pembinaan kepada seluruh komunitas tari yang ada. Sebab istilah penari istana atau penari pendopo muncul karena harapan bahwa tari tradisional adalah kesenian istana representasi gairah kebudayaan rakyat. Ini penting.

Jangan salah, aku kadang terkena virus percaya diri, jadi saat memimpin radio misalnya, biarpun keliling pelosok daerah menemui masyarakat naik turun mobil inventaris, hatiku berkata, "Beginilah rasaku kalau jadi bupati atau wakil bupati". Yakin dan biasa saja. Itu uji nyali namanya. Bahkan direkturku saja mungkin gak mikir begitu. Maklum aku kan ngaji Punakawan, jadi sampai ke titik Alkisah Jadi Ratu juga dong. Apalagi ini urusan rasa tari sebenarnya. Tari ular tentu masuk di dalamnya. Tapi bukan ular penggoda Adam-Hawa atau ular jadi-jadian.

Aku sarankan, minimal di setiap agustusan panggung-panggung rakyat harus disemarakkan oleh tari tradisional, selain kesenian lain. Begitu juga panggung-panggung perpisahan sekolah, panggung-panggung promosi, dll. Jadikan tari tradisi sebagai simbul kearifan dan kebanggan kebudayaan lokal. Bikin kalimat, masyarakat terus bergerak dinamis dalam kontruksi pembangunan yang positif dan terdepan.

Haha. Meskipun di negri yang beriklim bodoh, ada yang geram dan berkata, tari oriented! Bahkan ada yang seronok lagi menudingku, bokong iriented. Mereka gak tahu maksudnya. Politik kebudayaannya.

Aku katakan, di dengar oleh burung jalak, perkutut dan kacer (haur), bahwa 1000 lomba tari tiap minggu oleh pemerintah, 100 even pemda dengan unsur tari daerah tiap bulan yang ditongkrongi bupati, bukan jawaban untuk pencitraan dan kemajuan daerah senibudaya dan pariwisata. Karena tarian rakyat itu tarian spontan, tarian semangat, gerakan sosial. Kawa'as (kebanggaan), obat rindu dan stempel pariwisata yang kuat. Tarian oleh wanita, pada wayang kita, adalah buku tebal Sri Kresna. Tari pria, adalah panah arjuna.

Tapi hidupku penyiar dan penyair kan? Bukan 'asli penari'. Guru gambar anak-anak. Penyelenggara berbagai aksi seni dan lomba seni. Juga pembina teater remaja. Tidak tergadai gara-gara sudut pandang tari.

Kesibukan sehari-hariku, ya nyari duit untuk nafkah keluarga. Meskipun kalimat terakhir ini diketawain burung pentet (toed), tekukur, crucuk, dan kutilang (cangkurileung). Mereka bilang, "Kalimat kesombongan seorang suami yang tidak pernah mampu". Maklum puisi pendekku mengatakan:

tak ada suami mampu
di depan anak dan istri

Tulisan ini saya buat semata membela tari rakyat yang khas bagi budaya Indonesia. Bahasa komunikasi. Bahkan dari suatu bentuk tarian itu bisa terdeskripsikan, siapa saja wisatawan yang boleh datang ke suatu daerah. Suatu titik wisata. Tidak harus selalu dalam persepsi sebagai tontonan turis. Tahukah? Sadarkah?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG