BESOK BANDUNG MENARI
Saya dapat kabar dari akun Facebook Endang Caturwati bahwa besok, Kamis malam, 26 Oktober 2017, De Majestik Bandung akan menari. Sundanese Cultural Performance. Pagelaran Budaya Sunda.
Akan tampil menurut ekspose acara itu: Tari Kembang Ligar, Tari Gawil, tari Ronggeng Blantek, Tari Kelangan, Jentreng Kacapi, katineung Rita Tila, dan patrem Sang Dewi Sinta. Dengan tiket sangat murah. Umum, 60.000. Pelajar 40.000. Rombongan sekolah 25.000.
Poster yang diunggah di akun sosial facebook itu, termasuk juga poster-poster tari dan kesenian lain, baik di Tatar Pasundan maupun di Nusantara ini, selalu menyenangkan saya. Kalau saya ilustrasikan, bagaikan menemui kembali kehangatan yang tidak dibohongkan di buku paket senibudaya sejak SD hingga SMA.
Kalau kita baca buku-buku senibudaya sekolah, kita mendapati kehangatan seni sebagai ruang komunikasi multi kultur Indonesia. Termasuk ragam seni di dalam satu suku sekalipun. Termasuk di dunia tarinya. Hangat sekali. Saya pribadi terbeli sejak masa kanak-kanak.
Maka membaca ekspose kegiatan seni di Braga itu, saya mencoba merasa-rasa lagi kehangatan yang saya rindukan. Apalagi momen 26 Oktober berhimpitan dengan momen Peringatan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Sehingga mendulang pertanyaan umum, apa sumpah apresiasi seni budayanya?
Tapi saya komentari informasi sukacita itu dengan merasa agak duka, sebab di hari itu saya di Jakarta sedang terjebak jam sibuk. Sungguh sibuk. Bahkan banyak kegiatan seni di Bandung yang khas, yang saya anggap sebuah momen, minimal momen untuk menyampaikan catatan budaya, tidak bisa saya datangi.
Sebab tulisan saya ini pun pada 5-10 tahun yang akan datang bisa menginspirasi seniman dan masyarakat penikmat seni untuk lebih memahami dan mau menonton pertunjukan seni. Minimal membuat anak kandung saya, yang buka-buka file bapaknya, bisa membaca-baca otak seni bapaknya. Apalagi kalau saya bisa nongkrongin acaranya di gedung pertunjukan.
Apakah Anda tertarik untuk nonton setelah baca tulisan Apresiasi Seni ini? Baguslah. Itu yang saya harapkan.
Khusus soal tari saya sendiri merasa begitu dekat, sehingga sampai tidak mungkin hidup saya tampa tarian. Di akun FB Endang Caturwati saya menulis komentar begini:
Tari? Dalam teater, kepada pemain yang terseleksi karena kemampuan narinya, saya suka minta tari ini tari itu. Minta gini minta gitu. Supaya pertunjukan jadi lengkap. Sudah tentu dalam rutinitas olah tubuh, dari yang sekedar bergoyang mengikuti multi-musik, pembebasan rasa terutama pada pemula, sampai gerak tematis teaterikal. Saya sangat lekat dengan tari. Apalagi sebagai orang radio, sebelum ngaku off tahun 2017, panggung hiburan apapun bisa berisi tari. Sampai banyak kebetulannya, dalam banyak seremoni formal yang saya ikuti, termasuk di organisasi PRSSNI, acaranya disisipi tarian. Mungkin nitip ke mata saya. Karena Allah sayang mata seni saya. Kalau untuk penjurian tari, poin orang panggung di radio yang punya multi event adalah, sisi entertainer. Penampilan yang menghibur, memikat. Ya, saya mensyukuri filosofi hidup saya, karena hidup memang dikelilingi prinsip-prinsip, diantaranya, hidup ini menggambar dan menari. Hirup teh ngagambar jeung ngigel. Ngagambar gagasan, ngigelan hirup.
Begitulah komen saya. Coba bayangkan kalau komen itu ditulis oleh seseorang, yang di kemudian hari dibaca oleh cucunya. Kira-kira tumbuh kembang seni seperti apa, atau setidaknya paham kesenian seperti apa yang akan lahir dari generasi mendatang? Generasi kemanusiaan yang berketuhanan dan beradab itu?
Semoga kearifan, kelenturan sosial, dan komunikasi melalui senibudaya begitu besar manfaatnya untuk kesejahteraan masyarakat.
Kadang saya perlu pula menggarisbawahi. Bahkan kita pun butuh lucu-lucuan, seru-seruan di panggung apapun. Tanpa harus salah. Tanpa harus ngakak-ngakak atau sampai gila terbahak-bahak. Sebab hidup ini susah. Banyak cobaannya.
Maka saya pernah gagal paham ketika di awal jadi gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan minta agar tari tradisi Sunda diperhalus penampilannya. Sebagai pembawa acara Apresiasi Seni Radio Pemda Purwakarta saya gak ngerti. Mungkin yang dia maksud keseronokannya. Tapi eksotisitas yang arif bijaksana dan sesuai dengan logika panggung, itu tidak seronok (mesum). Justru semestinya kalau dia mau, isu negatif di belakang para penarilah yang harus direm pakem. Diberi minyak malaikat. Bukan pertunjukannya.
Di depan remaja yang menari pakai rok mini atau celana pendek pun saya tersenyum manis saja. Sambil melontar apresiasi positif, tetaplah terang. Tetaplah baik-baik saja. Di depan tari tradisi yang dituding agak sensual, sebagai Kalijaga, saya cuma berseloroh, eksotika panggung itu yang penting aman untuk kenyamanan lahir batin kita semua. Sampai panggung pun mesti dijaga malaikat. Yang tidak suka, biarlah menikmati garis tarekatnya. Sementara untuk jutaan jilbaber yang menari-nari di youtube, saya berkomentar, "Beri jalan jilbaber untuk menari apapun, asal baik-baik saja".
Masih ingat seloroh saya? Goyang, gitek, geol dan Gilang. Gilang artinya Apresiasi Seni. Sebab kebetulan lebih dari 20 tahun saya menjadi narasumber di acara Apresiasi Seni di radio-radio. Menurut saya, yang utama itu mempertontonkan sesuatu dan menonton sesuatu dengan penuh tanggung jawab karena kenyamanan dan keselamatannya. Maka saya tidak pernah mendikte, gaun penari tradisi wanita wajib digober-goberin. Atau lebih khusus lagi, bagian bokongnya harus dikondisikan agar tidak terlalu erotis. Bagi saya, cukup disesuaikan dengan kebutuhan 'maksud baik', termasuk maksud menghibur, dan kebutuhan ruang. Sesuatu itu di lingkungan mana? Itu saja.
Mencoba membaca apa yang akan tersaji 26 Oktober di Bandung besok malam. Nampaknya itu akan menjadi apresiasi yang melekat bagi sisi psikologi-budaya pada para pelajar. Selebihnya menjadi hiburan dan momen mencitrakan senibudaya tradisi bagi penonton umum dan pengamat seni.
Perlu terus dan sering diadakan.
Saya termasuk beruntung. Meskipun sejak kecil tinggal di bukit perkebunan cengkeh dan kopi. Suasana di SD kala itu masih suka ikut-ikutan latihan nari sama teman-teman seumuran. Lalu di SPG, dapat materi dasar-dasar menari yang mesti dimiliki oleh seorang guru. Tetapi bagi yang cuma punya pengalaman menonton dan dapat materi seni umum dari mata pelajaran sekolah, setidaknya mereka bangga bersenibudaya Indonesia, bangga dengan ragam seni daerahnya, bangga pula karena komunikasi sosial kita terbangun dengan hangat dan mesra di situ.
Ekstrakurikuler tari di sekolah selama ini tentu hanya milik sekelompok pelajar saja. Dialami dan dinikmati mereka dengan sukacita. Sedangkan mata pelajaran senibudaya itu milik semua pelajar, tanpa kecuali. Itu maksud saya.
Selamat menonton, Bandung menari. Sunda menari.
Dari sisi jurnalistik, tulisan ini semacam tulisan rutin belaka. Informasi dan apresiasi seni. Tetapi dari sisi gerakan senibudaya Nusantara dan politik kebudayaan Indonesia, ini adalah sesuatu. Bahkan vital.
Pesan saya kepada semua komunitas tari dan panitia penyelenggara acara pertunjukan tari, jangan cuma melatih tari dan menyajikan tarian, tetapi harus pula berstrategi membangun rasa ingin menonton tari pada masyarakat secara cerdas dan terbuka.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar