DASTER DAN PUNGGUNG GUNUNG YANG DITINGGALKAN LAHAR
Benar. Kadang kita terlalu bersungguh-sungguh, keras kepala, ingin menasehati para pihak yang tidak pernah mau dinasehati. Mereka yang merasa bahwa ketidakbenaran bisa mendatangkan kemenangan dan kepuasan.
Bersyukur kita mendapat hikmah, bahkan Muhammad SAW tidak bisa meluluhkan angkara Abu Jahal yang membawanya ke neraka. Musa tidak berhasil menginsyafkan Firaun.
Awal tulisan ini begitu menegangkan. Tapi penting untuk ngaji ruang besar sebuah kehidupan alam raya.
Selanjutnya kita bisa menelusur kasus-kasus sosial budaya yang sering mendatangkan sikap bersitegang satu dengan yang lainnya. Bahkan ada yang nekad memilih ketegangan dan permusuhan permanen. Entah apa maunya. Karena waktu pun menyebutnya sebagai peristiwa yang harus dibaca oleh orang-orang sidik yang terpilih.
Seperti lazimnya semua yang menggenggam berkah kebenaran, kemuliaan, dan kemenangan hidup. Kita selalu merasa mesti bertahan pada dalil-dalil tinggi itu. Tetapi punggung gunung seperti lahar panas yang mengelupas pergi meninggalkan ketentraman. Memilih sia-sia dan durjana. Kecuali jika hidayah itu datang. Dan beberapa, sedikit atau banyak, kembali pada keteduhan, kehangatan dan kesuburan tanah. Atau ketika gelombang celaka itu mati ke dalam semedi suci.
Sayangnya orang-orang yang bagaikan lahar yang mengelupas pergi dengan kemarahan dunia itu sebagian juga menggenggam dalil tinggi, kunci langit, yang dipegangnya dengan sikap keras yang salah. Tidak mengaji dari pokok hidupnya. Melahirkan fitnah-fitnah.
Rasanya ini seperti bagian tulisan kedua yang juga menegangkan. Ah. Kita seperti orang sakit menulisnya. Sakit untuk Allah.
Di depan layar TV, tanpa harus merasa sebagai generasi televisi karena sebagai media ia seperti media bermain belaka. Selayaknya koran yang dimainkan penyair melahirkan nama-nama penyair. Meskipun harga dan popularitas penyair tidak wajib identik dengan surat kabar dan majalah saja. Kecuali untuk suatu sebutan, penyair koran.
Ya di depan layar TV saja, misalnya, kita sering menemui sesuatu yang mestinya muncul bersahaja menjadi sangat diharam-haramkan di situ. Tetapi untuk segala yang tidak dibutuhkan malah menjadi santapan rohani baru. Dengan bersikeras pada propaganda apapun. Kita diajak meraih kemunduran dan kegelapan dengan seakan-akan memeluk cahaya dan kemenangan. Dan ya, kita seperti pesakitan yang ditinggalkan di tengah gurun. Terkucil dan dingin dari gemerlap di situ. Padahal di bawah bintang-bintang malam kita pernah leluasa bicara gemerlap, syair, musik, gambar, dan tarian juga. Tapi itu bukan.yang mereka cari.
Radio dan internet juga sering jadi 'bancakan' lahar panas yang mengelupas pergi dengan nafsu tinggi tak terkendali.
Kita dikentuti ketika hanya bicara seksinya sebuah daster. Karena ternyata mereka seumpama sedang 'membuat film' atau 'panggung pertunjukan' dengan gaun-gaun modern yang panjang dan lebar, dengan beberapa pemerannya yang diketahui umum seorang pelacur atau pelaku seks bebas dan ahli selingkuh.
Pada rotasi waktu berikutnya, kita seperti dibela, padahal sedang ditinggalkan dan dihina untuk kesekian kalinya. Daster-daster seperti berpesta di panggung, video dan televisi. Tetapi di luar kalimat kita di bawah purnama dulu. Ini menjadi sindikat penghancuran. Mengelupas lagi seperti lahar meninggalkan punggung gunung. Propagandanya, "Tenang sajalah, mode itu berkembang dan berputar. Sekarang waktunya ngasih kepada yang belum dikasih". Oo, celaka!
Menulis ini kadang saya sambil merasa-rasa, umur saya yang tidak pernah tua dan tidak pernah muda. Atau selalu ada pada keduanya. Atau polos dan jujur sebagai bayi. Dengan catatan yang sama. Tidak berubah. Tidak berubah.
Kita tentu masih merindukan kota santri dengan jilbab yang berkibar. Tentu sebagai paham nilai. Bukan fanatisme sempit. Kita tentu masih merindukan kampung yang indah, karena ragam masyarakatnya yang bekerja sama, gotong royong membangun keselamatan dan ketentraman.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar