DJAROT PAMIT, 3 NAMA PAMIT (?)

Tidak terasa 5 tahun lebih (tepatnya hampir 7 tahun) saya sudah berdomisili dan ber-KTP Jakarta. Tapi saya tidak perlu pamit seperti Gubernur Djarot, 15 Oktober 2017. Apalagi pindah dari rumah dinas. Karena saya bukan pejabat.

Ya. Saya sudah biasa bolak-balik Jakarta dari tahun awal 90-an, karena ibu saya memang berumah dan ber-KTP Jakarta sejak tahun 70-an. Tetapi baru lebih 5 tahunan lalu saya domisili, kerja dan ber-KTP Jakarta.

Itu sebabnya saya sempat jadi pendukung gubernur petahana sebelum 5 tahun lalu, Fauzi Bowo. Meskipun akhirnya Jokowi-Ahok yang jadi gubernur DKI.

Ini yang menarik. Sangat menarik. Luar biasa menarik. Apa sebab? Saya dititipi Allah untuk mengamati sebuah peristiwa sejarah, dan berdomisili di era sejarah, 5 tahun dengan 3 gubernur.

Pada awal mula saya 100% tidak kenal Jokowi-Ahok. Logikanya, bagaimana saya bakal milih mereka. Yang ada di kepala saya malah pertanyaan-pertanyaan, siapa mereka? Beda dengan calon lain, Hidayat Nurwahid dan Fauzi Bowo, misalnya. Saya lumayan kenal ketokohannya. Maka wajar kalau saya berada di kubu ini.

Pada awalnya mendukung Hidayat Nurwahid. Lalu karena Hidayat kalah, oper gigi, sepaham dengan partai, mendukung Fauzi Bowo untuk kepemimpinan 5 tahun kedua.

Tapi setelah Pak Kumis itu kalah? Saya tarik nafas, maksudnya gak banyak omong. Meskipun secara konstitusional saya dan partai di depan Allah setia undang-undang. Maklum ini negara hukum. Yang artinya wajib mendukung Jokowi-Ahok.

Saya lebih dari itu. Tidak cuma dengan alasan konstitusi. Data-data tentang Jokowi-Ahok mulai masuk kepala saya. Maka jangan heran, saya mulai tahu dan suka pasangan ini. Sepak terjang pembangunannya di DKI Jakarta mulai saya untit.

Tapi sebagai masyarakat yang diiming-imingi pesta demokrasi tentu saya juga masih pingin pesta. Pesta itu dihidangkan berupa Pilpres. Dan saya seperti permisi kepada Jokowi dengan mengatakan dalam hati, bahkan kepada teman-teman, "Jokowi di Jakarta saja. Cocok! Yang jadi presiden-wakil presiden biar Prabowo-Hata". Itulah logika saya. Suka Jokowi sebagai gubernur DKI tapi wajib berkampanye Pilpres untuk Prabowo.

Dan kenyataan harus diterima sejarah. Mata dan hati konstitusi saya langsung mengerti. Jokowi memang layak memenangkan Pilpres 2014. Dan bagi saya tidak sulit untuk salut kepada Presiden Jokowi karena sudah mulai melihat ketenangannya berharga di DKI.

Sepeninggal Jokowi apakah Jakarta langsung ngedrop? No! No! No! Semua media seperti kompak sejak Jokowi mulai niat nyalon presiden, mewawancarai Wagub Ahok di multi acara. Dengan kata lain, Ahok naik jadi buah bibir. Jadi artis baru. Seolah-olah hanya Ahok yang bisa dipercaya Jakarta, tetapi butuh kata 'yes!' dari sosok khas ini. Bahkan saya menyaksikan, semua sudah pro-Ahok. Kecuali pemberitaan seputar FPI.

Sepak terjang Ahok pun saya ikuti. Jakarta baik-baik saja. Kegiatan ummat ISLAM Jakarta sebagai penduduk mayoritas juga progresif. Apalagi meskipun Ahok disebut non-muslim, tetapi wakilnya seorang figur muslim, Djarot. Bahkan Ahok pun tidak neko-neko dengan masyarakat muslim. Secara formal dia menjadi gubernur yang bersikap proporsional.

Pada saat FPI makin keras kontra-Ahok, saya sempat mrnggaris-bawahi pemberitaan media yang menyebut, FPI baru mau nerima Ahok asalkan Ahok masuk Islam. FPI pun demonstrasi bikin gubernur tandingan. Maka saya mulai sering nulis di akun sosial, apa salahnya kalau Ahok sendiri nurut dinasehati ulama, setidaknya secara sistemik. Artinya, penduduk yang mayoritas itu kan punya keterwakilan mayoritas juga di DPR dan di struktur pemerintahan. Tentu mustahil Ahok menyuruh aparat Pemda, walikota atau camat melawan ulama. Bahkan simbul Istiqlal dan mesjid-mesjid tetap dihidmatinya. Itulah amatan saya.

Bayangan ideal saya. Apalagi ketika Ahok bisa memasuki wacana besar keselamatan /Islam. Pesan warga Jakarta yang mayoritas. Dan mengamininya dalam sikap dan kebijakan yang humanis-universal. Artinya, tidak masalah Ahok di posisinya yang seperti itu.

Disela-sela ribet ribut yang masih kontra, saya merasa butuh ruang kecil untuk mengangkat tema besar. Setidaknya untuk saya ulang-ulang sebagai smash di medsos. Hasilnya saya ikut nulis dalam lomba di Lapangan Banteng, judulnya, AHOK (Aku Hapuskan Orang-Orang Korupsi). Yang intinya, Ahok punya fokus membangun Jakarta secara konstitusional, semisal tegaknya reformasi anti-korupsi itu. Gak usah ribut agama kalau ada yang mancing-mancing. Ini pesan moral. Bahkan pesan dari mayoritas. Pesan ulama. Dan saya fikir Ahok bisa ngerti.

Tapi kemudian situasinya jadi rumit ketika Pilgub DKI makin dekat dan Ahok nyata-nyata niat maju lagi. Buat saya niat itu sangat normal, karena sejak awal dia sudah terkatrol oleh cagub Jokowi. Dia melakukan politik garis normal malah. Bagaimanapun, Jokowi-Ahok pernah diterima publik, diterima ulama. Kenapa Ahok-Djarot tidak? Ahok tidak meledakkan isu yang aneh-aneh. Tapi akhirnya jadi benar-benar rumit. Padahal saya tetap melihat Ahok konstitusional.

Pada Pilgub DKI era ini, oleh sementara pihak Ahok tidak dilihat pernah berpasangan dengan Jokowi, tidak juga dilihat telah berpasangan dengan Djarot. Ia dilihat sebagai seorang diri. Pribadi. Rasanya tidak adil. Bahkan rasanya mengecilkan dan menjatuhkan Djarot. Seolah-olah Djarot tidak punya pengaruh dan kekuatan apa-apa. Djarot itu mahluk apa?

Bahkan keuntungan strategis sebagai petahana, yang gelengan kepala dan kedip matanya memang berpengaruh ke publik. Malah disebut mencuri kampanye atau bersikap tidak konstitusional. Lupa bunyi undang-undang, gubernur bisa berkuasa dua periode asal terpilih lagi pada Pilgub kedua, yang artinya kedip mata dan batuk ketika jadi gubernur pun memang bisa berpengaruh. Bisa bernilai kampanye. Itulah undang-undang.

Maka ketika Ahok-Djarot kalah, lalu Ahok dijebloskan ke penjara karena dituduh menghina agama, soal Almaidah, lalu Djarot menjadi gubernur pengganti di bulan-bulan terakhir masa 5 tahunnya, saya termasuk yang berteriak, "DJAROT bisa! DJAROT muslim yang bisa! Djarot bukan muslim yang  gagal! Karena secara politik dan sosial itulah posisi strategis yang selama ini diharapkan untuk berdampingan dengan Ahok".

Ternyata Djarot berhasil. Tenang. Berwibawa. Tidak neko-neko. Sampai akhirnya Sabtu dan Minggu, 14-15 Oktober 2017 dia berpamitan. Menjadi air mata Jakarta.

Menarik. Menarik. Menarik. Ini peristiwa sejarah. Djarot yang pamit, tetapi masyarakat mencatat, yang pamit dari Jakarta hari ini sesungguhnya adalah tiga gubernur Jakarta, tiga gubernur yang kharismatik,  pamit menyudahi 5 tahunnya, Jokowi, Ahok dan Djarot.

Sekaligus memang. Jakarta kehilangan ketiganya dari DKI Jakarta. Tapi masih untung, Jokowi masih presiden bagi warga Jakarta. Adapun kepada gubernur baru, saya diberitahu anak saya, ada sepanduk besar yang mencolok di Lapangan Banteng, "Trimakasih yang telah terbukti, selamat datang yang telah berjanji".

Yang jelas dalam prinsip gotong-royong kita tetap optimis untuk sukses pembangunan Jakarta ibukota negara kita, kampung kebanggaan kita, dan untuk Indonesia ke depan.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG