INDONESIA DAN SEDERHANA

Berfikir besar itu sederhana. Jadi benar kata Rosul, hidup selamat dan bahagia itu harus sederhana saja. Kita yang sering memperumit diri dengan dalil kesuksesan malah sering ketiban gada ketidak-tentraman dan keputus-asaan.

Kesederhanaan itu mirip eksotika jembatan bambu pada kali pada lagu. Asal si pencipta lagu juga orang yang sederhana. Dia harus bisa mengibaratkan jembatan bambu itu menjadi jembatan beton yang kokoh dan berteknologi canggih untuk versi peruntukan yang lain. Sebab tanpa pengibaratan ini, prinsip sederhananya menjadi batal. Semacam mencukupkan diri pakai kaos oblong pendek pada saat cuaca sangat dingin dan hujan angin, sementara badan kurang sehat, adalah kecerobohan besar. Malah ingkar sunah tentang sederhana namanya.

Sekali lagi berfikir sederhana memang wajib. Seumpama seorang pakar atau profesor doktor memudahkan masyarakat awam memahami prinsip-prinsip dengan kalimat dan contoh yang sederhana tapi ngunci.

Para pendiri negri ini juga rupanya ngerti. Meskipun kadar ngertinya oleh tokoh tertentu sering dibenturkan pada pragmatisme politik. Sebut saja pemikiran jitu para pendiri negri ini yang sederhana itu misalnya, jiwaraga merah-putih, jiwa gotong royong, senasib sepenanggungan, bhineka tunggal ika, berketuhanan Yang Maha Esa, berpancasila, negara hukum, nusantara, bahasa persatuan, rahmatan lil alamin (kasih untuk semesta), keadilan dan kesejahteraan sosial, dst.

Semuanya simpul sederhana karena sangat mudah dipahami dan diterima oleh semua kalangan. Ya, tapi  berupa jaring laba-laba yang ngunci.

Saya juga ikut-ikutan terbiasa berfikir sederhana begitu. Misalnya ketika saya ngasuh komunitas seni dan sering ngumpulin komunitas-komunitas untuk banyak acara dan diskusi-diskusi, yayasan saya diberi nama, Cannadrama. Sebenarnya bisa disebut gak disebut karena Gilang Teguh Pambudi dan semua yang sepemikiran itu sendiri sudah Cannadrama. Ini yang namanya melembagakan pemikiran. Cannadrama atau kannadrama berarti kisah bunga tasbih. Betapa sederhana artinya. Kalau harus diterjemahkan dalam satu kata yang relijius sebagai hamba bertuhan, tidak berat saya menyebut cannadrama = muazin. Kalimat atau panggilan dari tempat baik yang dirahmati Allah SWT. Segala hadir (wajah) dan perbuatan (telapak tangan dan kaki) menjadi sebentuk penyerahan diri secara total ihlas dan penuh mohon ampun.

Karena cannadrama memakai motto, menuju masyarakat seni (seniman dan penikmat seni) Indonesia yang apresiatif, maka lingkup kerjanya di tengah semua orang, seniman dan pencinta seni. Sedangkan tema-tema dalam seluruh garapan atau karya seni itu menyangkut semua urusan hidup. Maka saya membuat kalimat yang tidak melulu berkode karya seni. Seperti yang sudah saya propagandakan pada promosi Wisata Sastra, yang pertama kali diadakan pada momen hari Kebangkitan Nasional. Kalimatnya, BANGKIT ITU ANTI. Saya yakin dengan kalimat sakti ini masyarakat awam tidak lagi terjebak pada proses berkesenian semata. Meskipun ini prinsip cannadrama. Suara muazin.

BANGKIT ITU ANTI. Anti menolak kuasa Zat Yang Maha Kuasa. Anti ingkar sunah. Anti pembodohan dan  pemiskinan. Anti penjajahan. Anti pemberontakan dan berbagai tindak kekerasan yang tidak berketuhanan dan tidak berprikemanusiaan.  Anti miras dan narkoba. Anti korupsi. Anti tindak kriminal. Anti tawuran. Anti diskriminasi. Anti terorisme. Anti perusakan lingkungan hidup. Anti pornografi, seks bebas,  pelecehan seksual dan pelacuran. Anti fitnah dan berita bohong. Anti kekerasan dalam rumah tangga. Anti menelantarkan anak keturunan, anak yatim dan kaum duafa. Dst.

Saya yakin tulisan ini akan tetap begini dibaca siapapun 100-1000 tahun yang akan datang. Kata Rendra, sebentuk 'kesaksian yang harus dikabarkan' juga. Terutama tentang prinsip universalitas nasionalisme di kancah perdamaian dan kedamaian dunia yang abadi. Bukan nasionalisme sempit seperti yang dipahami oleh pihak tertentu atau yang ditakuti itu.

Khusus soal prinsip BERKETUHANAN YANG MAHA ESA pada sebuah negara, saya perlu bikin alinea ini. Yang hakekatnya pokok pikiran sederhana untuk umat manusia. Tanpa kecuali. Pada sebuah negara, khususnya Indonesia, ada manusia-manusia yang telah menemui Tuhan Maha Sucinya. Misalnya ada yang selalu berzikir, subhanallah, Alhamdulillah, la Ilaha ilallah, Allahu Akbar dst. Atau, ya Nur Allah, ya Zat Allah, ya Sirr Allah, ya Rossul  Allah, ya Sifat Allah, ya Wujud Allah, ya Rahmat (kasih) Allah, dst. Seburuk-buruknya di sebelah itu, disebut para pencari Tuhan. Yang diluar keduanya, yang tidak mengakui eksistensi Tuhan, meskipun di KTP-nya tercantum bertuhan, sering terjebak ironis. Jika ketemu hidayah-Nya, Tuhan tiba-tiba menjadi ada. Jika membutuhkan manusia yang bertuhan, secara politis dia memberi ruang kepada mereka untuk dekat dengan Tuhannya. Dan itu sering mengharukan pihak yang tidak bertuhan. Yang malah kemudian sering berkomentar, sesungguhnya mereka ini bukan anti Tuhan, tetapi kecewa setelah menganalisa kelompok tertentu yang mengaku bertuhan. Pendeknya, berketuhanan yang maha esa itu selalu diyakini, menjadi posisi yang dicari manusia, atau setidaknya tidak mati diwacanakan dalam kekaguman-kekaguman. Kecuali pada manusia yang digelapkan dunia.

Saya sebagai budayawan (boleh juga kalo teman saya menyebut budayawan muslim), yang melihat semua, tentu senang dengan Senibudaya Betawi, ondel-ondel. Sebagai satu contoh. Sederhana saja untuk kado metropolitan dan kado ibukota negara, DKI Jakarta. Hidup ini kesetaraan pria wanita. Hidup ini komitmen suci. Hidup ini merah, hidup ini putih, hidup ini merah-putih. Hidup ini cinta dan berparadigma menikah dan beranak. Cinta menjadi kewajiban tiap pribadi, sedangkan nikah dan beranak menjadi wajib bagi yang menikah dan beranak. Sedangkan pada mereka yang belum menikah atau belum punya anak, atau karena suatu alasan yang halal tidak mau menikah dan tidak mau punya anak, paradigmanya untuk kelangsungan umat manusia di bumi, mereka telah diwakili oleh yang menikah dan beranak. Dan sementara pihak ini tidak terbebani dosa telah menolak kewajiban nikah dan beranak, sunah Rosul, karena mereka telah menerima, dan bukan karena niat mencintai atau cenderung pada nikah sejenis. Bahkan seseorang yang belum menikah atau yang tidak niat menikah --bukan karena lesbi atau homo-- biasa menyebut, "Anakku", pada semua anak manusia. Begitupun yang telah menikah tetapi tidak niat punya anak dengan alasan yang halal, pun biasa berkata, "Anakku".

Pada alinea terakhir ini terselip oto-kritik kepada pihak yang terlalu keras bahwa menikah yang sempurna itu hanya karena alasan ingin punya anak. Bisa ya bisa tidak. Apalagi jika yang dinikahinya seseorang yang telah divonis dokter tidak mungkin hamil, atau tidak mungkin hamil lagi jika si wanitanya janda yang pernah punya anak dari suami sebelumnya dan bermasalah dengan kondisi tubuhnya. Bagaimanapun nikah itu bisa juga dengan alasan karena ingin menikah saja. Menemui kebahagiaan Tuhan. Menemui cinta dan keharmonisan. Tetapi paradigmanya, karena setuju sunah pernikahan dan setuju bahwa Allah bisa mendatangkan anak dengan cara apapun, sehingga tidak perlu ditolak kelahirannya, serta terbuka rahasianya,  semua anak hakekatnya adalah 'anak kandung' kita.

Pembangunan Indonesia mengenal semangat, membangun karakter manusia Indonesia seutuhnya, jiwa dan raga. Ini sederhana. Kuncinya, menyelamatkan tiap pribadi manusia. Seluruhnya dibangun dan terbangunkan. Keselamatan pribadi-pribadi bisa menjadi keselamatan kelompok-kelompok atau suku-suku dan daerah-daerah.

Keselamatan pribadi-pribadi menjadi keselamatan lingkungan RT-RW sampai ke skala nasional bahkan berpengaruh secara internasional. Atau kalau dibalik, membangun bangsa dan negara itu harus membangun semua desa, semua lingkungan RT-RW, agar sampai kepada pribadi-pribadi masyarakat.

Bayangkan kalau tidak ada satupun nyawa di Indonesia ini yang terlantar, miskin, bodoh, teraniaya, jadi preman, pengangguran dst. Tentu saja nyawa-nyawa manusia indonesia itu akan membangun Indonesia yang selamat dan memiliki harga diri yang unggul.

Pribadi yang berfikir sederhana itu juga termasuk yang ingin kaya-raya. Sehingga dengan kekayaannya itu ia bisa berbuat baik apa saja untuk diri, untuk keluarga dan untuk masyarakat, yang hakekatnya untuk Allah semata. 

Meskipun dalam kondisi bagaimanapun setiap manusia harus tetap menjadi pribadi yang selalu syukur nikmat dan selalu merasa kaya. Segala sesuatu dilihat dari sisi baik dan manfaatnya, tidak selalu karena jumlah atau angkanya. Apalagi kekayaan seluruh hamba Allah adalah kekayaan kita yang harus dijaga sama-sama. Ibarat kekayaan di dalam lemari Allah. Kita harus tahu kuncinya kalau mau membuka dan mengambilnya secara halal. Semua. Apapun.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG