KAPAN BEDA DIANGGAP BERHASIL?

Saya memang beda. Apa salahnya dengan beda? Apa beda kurang intelek?

Tapi saya juga tahu. Satu penyakit laten yang merongrong bangsa manusia adalah, cuma mau beda. Sebab dengan beda peruntungannya bisa lebih besar. Katanya begitu. Meskipun kadang, alih-alih si Fulan jadi beda dari Rendra, tetapi malah tidak naik-naik prestasi sosial kepenyairannya. Sebab rupanya, ada argumentasi mendasar, dia tidak tahu penyair itu mahluk macam apa?

Alih-alih berbeda dari yang aktivitasnya di Mesjid, karena merasa kreatif memang tidak harus selalu di situ, di komunitas lain pun bisa, tapi kok malah nyemplung jadi preman? Jadi penyakit masyarakat? Alih-alih menjadi khas, kepenyairannya memang ingin ditempuh melalui jalur koran dan buku, tetapi kok malah berkoar kesana kemari, kalo belum pernah menulis puisi di koran belumlah penyair seseorang. Belum teruji. Padahal kualitas kepenyairan hasil ujian hidup bisa mumpuni. Maka ia pun mulai ditulis miring. Dan banyak lagi. Saya tahu itu.

Ya. Saya memang beda. Ketika lewat tahun 2010 di media sosial Indonesia booming HAIKU berbahasa Indonesia, yang tentu saja hasil pengaruh langsung dari sastra Jepang, saya tidak terlalu tertarik meskipun sangat menghargai.

Saya bisa tidak disukai dan tidak populer memilih sikap ini. Tetapi apa boleh buat, sejak awal tahun 2000-an saya memang sudah jadi penulis Puisi Pendek Indonesia. Bolehlah disebut juga, Pupenis. Kalo soal baca puisi pendek sudah dilakukan sejak tahun 91-an. Saya kenal puisi pendek Sapardi, Mustofa Bisri, Eka Budianta, Hamid Jabar, Sutarji, Diro Aritonang, dll. Bahkan dulu ada diskusi khusus di tengah-tengah latihan KDR-1026 (Kelompok Drama Radio 1026) Bandung, jika semisal puisi pendek Eka Budianta diinterpretasikan menjadi sebuah pentas teater. Juga saya baca ulasan-ulasan puisi pendek Jepang, Haiku di majalah.

Saat merekam musikalisasi puisi dari antologi Tangan Besi (Forum Sastra Bandung), yang digawangi musisi Ari Kpin untuk kebutuhan apresiasi sastra (1999), saya sudah tertegun di depan puisi pendek Diro Aritonang yang dinyanyikan Ari.

Tapi saya tegaskan sekali lagi, puisi pendek saya bukan Haiku dan tidak terpengaruh oleh Haiku sama sekali. Sama sekali. Lebih karena kebutuhan penyampaian puisi secara singkat. Itu saja. Mekipun ketika ada teman bilang, itu Haiku ya? Saya jawab, "Seperti Haiku. Ini puisi pendek saya".

Bahkan cerita pendek pun ada yang lebih singkat dari lazimnya. Bisa ditulis di atas selembar HVS saja. Bahkan kurang. Sangat singkat. Menurut saya tetap lazim masuk penerbitan antologi cerpen Indonesia. Menyertai proses kreatif ini, ada alasan sederhana, tapi utama dipertimbangkan, masyarakat pembaca kita juga butuh cerpen-cerpen singkat yang bisa dibaca singkat di di atas jok mobil ketika meluncur berangkat dan pulang kerja.

Puisi pendek Indonesia lahir karena pengalaman sastra Nusantara. Banyak karya sastra yang secara kreatif dibuat pendek-pendek. Tentu mulai dari sastra lisan. Ada lelucon singkat, ada kisah hikmah singkat yang biasa dimisalkan oleh Kyai sebagai kisah si Fulan dan si Fulan, ada pantun, pribahasa, kata mutiara, dst.

Puisi pendek sendiri menurut saya adalah puisi yang bisa diuji dengan cara baca cepat yang normal dalam setarik nafas. Tidak bisa diukur dari jumlah bait dan baris, karena kadang-kadang tiap baris hanya dihuni satu kata, bahkan satu suku kata. Sehingga jumlah barisnnya yang banyak. Juga tidak bisa memakai ukuran halaman buku terbitan, meskipun para guru biasa berkomentar, pilihlah saja puisi yang pendek-pendek, yang tidak sampai setengah halaman panjangnya. Meskipun demikian, kalimat para guru ini bisa dipakai untuk mengidentifikasi, puisi pendek Indonesia itu ada.

Satu-satunya puisi pendek saya yang memakai patokan suku kata 3-2-5-2 hanya NALIKAN. Dan sampai tulisan ini dibuat saya baru bikin satu, satu judul, tahun 2015 silam. 3 = tarekat, tujuan yang tercapai dengan sungguh-sungguh. 2 = syareat, mengulang kebaikan setiap hari. 5 = dalam posisi manusia penengah/ adil dan menengahi. 2 dan 2, persegi (Ka'bah). Setidaknya dalam satu kemasan Nalikan, memiliki kesatuan pesan, untuk menengahi kebaikan sehari-hari yang sampai pada titik kemuliaannya. Proses kreatifnya tetap ekapresif-eksploratif. Selain Nalikan tidak ada lagi yang pakai patokan. 

Di atas panggung seni Situbuleud Purwakarta, tahun 2000, yang digagas Ali Novel, saya pernah baca puisi-puisi pendek saya. Supaya cair, setiap berganti puisi saya tebar cerita, komen singkat, atau cletak-cletuk. Tetapi kalau di dunia siaran radio, saya sudah jauh sejak tahun 90-an baca puisi pendek itu. Satu orang yang pernah saya ajari baca puisi pendek di radio, dan hasil rekamannya diudarakan di acara Apresiasi Sastra  adalah Dahlia Rineva Suparman.

Di hadapan puisi pendek Indonesia, saya adalah pemulung khazanah sastra. Tidak seperti Soni Farid Maulana yang mencipta puisi pendek bernama, Sonian. Puisi pendek bukanlah bikinan saya. Ini sudah ada. Dan menarik saya untuk intensif membuatnya. Menjadi mencolok berbeda, tanpa niat membedakan diri atau mengasingkan diri, ketika marak karya Haiku di banyak grup sosmed Indonesia.

Meskipun di hati kecil yang kritis, normal saya berfikir, kenapa Haiku pengaruh Jepang itu yang mesti marak dan populer, tidak yang khas Indonesia, puisi pendek? Meskipun netral pada akhirnya saya ulas-ulas juga, Haiku berbahasa Indonesia, bukan terjemahan, adalah karya sastra Indonesia. Apa bedanya dengan lagu-lagu jazz, reageae, rap, country dan lain-lain yang disebut lagu Indonesia karena memang asli diciptakan dalam bahasa Indonesia. Satu karya anak bangsa yang dihargai.

Soal Jepang, sudah lama saya tidak berfikir sederhana. Ini perlu saya tulis di sini. Saya berkali-kali bicara, bahwa Bung Karno juga punya kalimat kepada Jepang soal kemerdekaan Indonesia. Asalkan tegas-tegas dipropagandakan kemerdekaan Indonesia bukan hadiah dari Jepang. Meskipun pimpinan tentara atau perwakilan Jepang di Indobesia bisa membalikkan kekhawatiran Bung Karno dengan mengucap, jangan ajari Jepang.

Kalimat Bung Karno yang saya maksud adalah, menyangkut segala rahasia. Termasuk salahsatunya, kenapa mesti terus berpolemik menjajah Indonesia ketika itu sudah mustahil, tetapi bekerjasama sebagai dua negara merdeka, Indonesia-Jepang, malah jauh lebih menguntungkan. Sedangkan istilah penjajahan malah justru meruntuhkan sama sekali wibawa Negri Sakura.

Indonesia-Jepang di belakang hari malah bisa sangat karib. Termasuk dalam hal senibudaya, selain di bidang ekonomi. Tetapi Gilang Teguh Pambudi tidak harus Haiku. Biarkan dia cemburu.

Saya juga beda, ketika di TV-TV marak bicara Stand Up Comedy yang katanya produk panggung komedi paling cerdas, kepada teman-teman seniman di media sosial, termasuk dengan Gaus, saya malah asyik bicara soal cara kreatif baca puisi pendek Indonesia. Karena puisinya pendek-pendek, dan menurut saya sangat terlalu singkat kalau mesti naik panggung untuk baca satu puisi, maka solusinya puisi pendek itu bisa dibaca sebagai satu rangkaian, satu paket, beberapa judul. Bisa dari satu penyair atau beberapa penyair. Tiap jeda diselingi  komentar, cerita, melucu, akting, dll yang dianggap paling sesuai.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG