KAU JUAL BUKU AKU JUAL PENYAIR
MUSIM NULIS STATUS
ini status tanpa tahun
Kemayoran, 30102017
#puisipendekindonesia
-------
Mungkin kau tak dengar, ketika aku menjajakan diri, "Penyair, penyair!" Ya, seperti jualan sayur atau sate. Atau mungkin kau dengar, tapi tidak penting untuk menyebut, aku dengar. Tapi aku juga mengakui ada yang dengar, buktinya kita bicara puisi. Sudah lama peristiwa yang super tidak mubazir itu terjadi. Bahkan jarak jauh pun kita masih bisa 'tos', ngopi besama.
Bahkan jangan salah, tulisan ini pun selagi aku masih hidup, bagian dari jual diri kepenyairan itu. Siapa tahu ada yang manggil untuk sesuatu seperti biasanya. Jadi jangan dianggap ecek-ecek. Haha.
Menjajakan kepenyairan diri adalah juga teori menjajakan kepenyairan para penyair secara menyeluruh. Gak egois. Begitu juga ketika seorang pelukis ingin dibeli karyanya, dia bilang, "Karya pelukis-pelukis itu layak diapresiasi". Dia tidak cuma membawa dirinya sendiri. Meskipun secara khas, dia punya sisi menonjol, popularitas dan punya bandrol harga spesial. Dan maunya semua pembeli lukisan 'cuma' ngantri di pintu rumah atau depan galerinya.
Waktu aku SMA/SPG, beberapa cerpenku dimuat koran. Lalu puisiku juga. Yang terpikirkan saat itu, aku sastrawan, aku penulis, aku penyair, dan aku seniman.
Tapi saat itu rencanaku jadi guru, sebuah cita-cita yang serius, meskipun akhirnya belok ke radio, sebuah profesi yang serius juga. Sebab kalau cuma nulis, bagaimana kalau honornya cuma sebulan sekali dan tidak seberapa? Hidup ini kan ada untung-untungan.
Kupikir, diantara dua penulis yang sama-sama punya lima novel percintaan honornya bisa tidak sama. Apalagi untuk antologi puisi yang konon lebih rumit dibaca. Bagaimana pula kalau cuma punya satu antologi sendiri, dua antologi bersama, dan sepuluh puisi di koran? Apa terjamin hidupnya?
Setidaknya di manapun aku berdiri sejak muncul kesadaran kepenyairan itu, aku merasa penyair. Maju mundurnya adalah sikap seorang penyair. Lebih tepat disebut, itu harga dirinya. Sebab bagiku kepenyairan tidak cuma teks di atas kertas. Sebab teks itu lahir dari kesadaran dan kesaksian penulisnya. Sedangkan dalam ajaran agama yang kuat saya anut, kesaksian itu lahir batin. Memakai nampak wajah diri dan telapak tangan dan kaki.
Maka setelah beberapa tulisan ada di koran, ditambah sudah beberapa tahun biasa naik panggung puisi dan teater, serta ada beberapa piagam nulis, setidaknya dari pasanggiri tingkat sekolah, akhirnya aku tinggal membiasakan diri dengan kegiatan bersastra atau berpuisi dan teater. Ibarat penari, aku tinggal menari terus sampai tua.
Insya Allah sikap itu bukan khayalan. Itu sikap realistis. Yang bersifat khayalan saat itu, seberapa populer saya nanti? Juga, seberapa besar duit bakal didapat dari kemampuan menulis atau kepenyairan saya?
Untuk menunjukkan aku tidak berkhayal, sejak di bangku sekolah aku berjualan di sebuah kios. Lalu kerja di toko akuarium. Lalu setamat sekolah jadi guru sukwan dan guru swasta. Sebab itu jawaban untuk biaya sekolah dan makan. Dengan cara itu aku tetap penyair, tetap sutradara teater.
Lalu aku menenteng kliping puisi dan cerpen masuk dunia radio, menjajakan diri menjadi pembawa acara Apresiasi Sastra. Dan di terima. Alhamdulillah, aku berhasil jual diri, kepenyairanku laku, meskipun honor perbulannya tidak seberapa. Untung masih ada pendapatan dari tempat mengajar.
Sampai suatu ketika. Tempat mengajar terpaksa kutinggalkan, lalu fokus di radio. Maka di situ jawaban itu berkumpul. Jual diri sebagai penyair dan seniman, dan aku bekerja sebagai Orang Radio Indonesia. Penyiar, reporter/jurnalis, programmer dan kepala studio.
Di radio itu aku menikah, dan punya anak, dua. Seorang wanita dan seorang pria. 20 tahun lebih bertahan di radio.
Merasa berhasil menjual kepenyairan ke radio, aku tentu masih belum puas. Aku sering naik panggung baca puisi, ada atau tidak ada honornya. Sebab yang tidak berhonor pun lahan promosi eksistensi. Dan hitung-hitungannya, matematikanya, sebenarnya promosi diri itu butuh anggaran.
Lalu panggilan jadi juri baca puisi dan melatih teater pun datang dari berbagai tempat meskipun dalam setahun cuma beberapa kali. Tetapi selain kepenyairanku laku, itu bukti masyarakat ada yang mengenalku sebagai penyair dan sutradara teater. Selain pengasuh Sanggar Gambar dan pelatih Penyiar Radio.
Itu sekelumit kisah yang sudah aku lalui, yang lebih tepat disebut cara Gilang Teguh Pambudi menjual kepenyairannya atau kesenimanannya. Menjual untuk uang dan menjual untuk pengaruh. Masabodoh orang mencibir, pendapatan dari situ tidak besar menurutnya. Yang penting sudah berupaya begini begitu menempatkan diri dan keluarga. Jujur pada potensi yang dimilki.
Setiap orang punya cara berbeda dalam hal menjual kepenyairannya tentu saja. Ada juga yang sering jadi pembicara acara sastra.
Tetapi meskipun aku lagi bicara caraku jual diri, aku juga punya woro-woro, kalau ada bukuku, baik antologi sendiri atau antologi bersama, mestinya dibeli. Sebab aku jual buku juga. Tapi kan tidak wajib fokus pada jualan buku antologi puisi. Misalnya wajib menerbitkan dan menjual satu-dua buku terbitan terbaru tiap tahun. Kan tidak ada kewajiban seperti itu. Bukan itu ukuran kepenyairan seseorang.
Kepenyairan itu bisa diukur dari tingkat kesungguh-sungguhan seseorang bersyair, hingga dibaca masyarakat dan punya pengaruh. Juga bisa dilihat dari sepak terjang kepenyairan seseorang dalam kehidupan sehari-hari, sehingga masyarakat paham benar arah pengaruh yang ditawarkan oleh penyair itu. Misi kepenyairannya apa? Yang tumpah dalam puisi-puisinya itu untuk manfaat apa? Untuk kesadaran dan kesaksian apa? Kepedulian dan gagasannya bagaimana? Dst.
Sekali lagi pribadi penyair itu khas. Tetapi akan selalu bertemu di titik-titik persoalan hidup yang bersama-sama dihadapi semua orang. Karena itu semua tema, semua soal, menjadi milik kepenyairan.
Sekadar ilustrasi. Chairil harus bicara mati perang, meskipun dia bukan seorang tentara pejuang yang kemana-mana angkat senjata. Karena kematian-kematian di situ adalah airmata dan didih darahnya.
Ilustrasi lain, biola akan mengabarkan tema dan rasa lewat eksistensi dan bunyinya. Dengan tema ladang gandum dan ladang jagung sekalipun.
Setiap penyair akan berkata di hati kecilnya, masabodoh orang akan anggap aku penyair atau bukan. Masabodoh akan anggap aku kurang populer atau tidak populer. Aku sudah ada di tempatnya. Sebegini ini.
Masabodoh penguasa tidak tahu atau pura-pura tidak tahu.
Sebagai penyair muslim aku percaya, sungguhpun ada satu dua puisi yang dikenal sebagai bukti eksistensi kepenyairan seseorang, atau dengan adanya satu dua buku yang telah terbit, tetap saja masyarakat selalu penasaran mempertanyakan, siapa penyairnya? Berusaha memadukan puisi dan suatu buku tertentu dengan sepak terjang penyairnya. Bukankah Chairil, Rendra, juga Ronggowarsito, Rumi, dll diperlakukan demikian?
Atau, ada yang terkatrol oleh pemberitaan. Masyarakat ada yang ingin tahu mengapa seorang penyair tertentu bisa dibicarakan orang, seperti apa kehidupan, misi dan pengaruhnya? Padahal satupun puisinya belum pernah dia baca.
Buku memang bisa dijual. Kepenyairan juga dijual, minimal untuk tercium wanginya, dibeli oleh cinta. Mana yang lebih besar uangnya? Ah, hitung saja. Seberapa besar uang maksimal yang bisa didapat? Dan seperti apa harga utama puisi dan kepenyairan itu?
Kalau menurutku tidak perlu susah. Meskipun sedikit honor sana-sini dari sebab puisi, jualan kopi atau besi baja pun upah kepenyairan. Sehingga sebagai penyair, seseorang bisa punya gaji tiap bulan, bisa punya keuntungan usaha setiap hari.
Dan lagi, kalau kita cuma sibuk mau jadi penyair saja, apalagi ukurannya terkenal, kapan kerja kepenyairannya?
Melalui cannadrama, juga cannadrama.blogspot.com aku terus bekerja menemani siapa saja. Tak bosan-bosan.
Orang-orang bilang, kucari kau sampai ke lubang semut. Penyair berkata, di lubang semut kepenyairanku sedang bekerja. Memang seharusnya kau menemukannya.
Untuk yang butuh nomor HP-ku, ini nomornya, 0858-1382-9778.
-----
NELPON
Jangan nelpon setelah aku mati. Atau tunggu sampai aku dengar panggilan masuk.
Kemayoran, 30102017
------
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar