PEMERINTAH DAN SIKAP PRIBADI

Saya baru bangun dari istirahat siang 16:00 Minggu, 1 Oktober. Merasa terinspirasi untuk membuat catatan pendek karena masih berada di momen Hari Kesaktian Pancasila. Rasa terusik ini seperti di dua momen saja. Pertama, dulu waktu Habibie presiden. Saya kusyu di depan TV saat Hari Kesaktian Pancasila. Kedua, di saat presiden Jokowi kali ini.

Mengapa? Di waktu jaman Habibie, dia memimpin dalam tekanan aksi masa yang terus menerus sepanjang tahun, setidaknya di panggung-panggung seni dan panggung orasi reformasi. Tetapi, di tengah suasana itu ia masih bisa senyum didampingi Wiranto dll untuk mengukuhkan, perguliran reformasi tetap anti - pemberontakan G 30 S PKI.

Saya termasuk yang berdoa, "Ya Allah, di tengah gaya kepemimpinan Habibie yang nampak kurang tegas dan kurang tenang, apalagi dalam tekanan situasi yang berat, semoga ia bisa memimpin masa peralihan ini". Saat itu saya merasa seperti menjadi pribadi presiden Habibie. Kalau dia tegang saya ikut tegang. Aneh. Kalau dia bicara saya takut salah ucap. Padahal saya cuma banyak di depan berita TV. Dari suasana itu saya memuji Jendral Wiranto yang memberi rasa tenang kepada Indonesia di awal-awal reformasi itu. Sejak menjelang Soeharto lengser.

Rasa tegang secara pribadi ini pernah saya rasakan juga di saat mula pertama Bupati Dedi Mulyadi memimpin Purwakarta. Maklum saya kan dari kubu pendukung Lili Hambali. Yang menurut saya cukup dewasa, lebih tenang dan membawa wibawa "PAK RT KAMPUNG" yang khas.

Membaca kenyataan Dedi yang terpilih, saya fikir gak usahlah saya di radio PEMDA. Untung ada tawaran memimpin Radio di Sukabumi. Tetapi lama-lama tertarik juga untuk terus mengisi setidaknya secara wacana umum, gerak budaya Purwakarta. Saya pun balik lagi siaran di Radio PEMDA Purwakarta. 

Setiap yang dilakukan Bupati rasanya saya ikut menemani. Kadang kesal kalau saya gak terlalu setuju. Kadang kasihan, kalau dia nampak lemah, terlalu seperti mahasiswa memimpin sebuah kelompok kegiatan kampus. Padahal sedang memimpin pembangunan kabupaten. Apalagi ketika orasinya menjadi panjang ingin mengurai seperti membaca teks tertulis saja, padahal di depan masyarakat yang butuh kalimat pendek-pendek yang jelas pokok persoalannya. Ya, dia masih muda memang. Meskipun hukum keprmimpinan itu kemampuan, bukan permakluman usia. Saya suka berdoa, "Beri dia jalan, Bupati kita mau lewat. Dengar pidatonya dengan khidmad, karena kita sedang berada dalam wibawa sebuah sistem pembangunan yang dibangun bersama. Biarkan dia kreatif dan inovatif. Beda pendapat bisa saja asal sama-sama di jalan benar dan saling menyelamatkan".

Saya tidak pernah bertegur sapa dengan Kang Dedi. Paling pernah mendengar dia menyapa, hai! Atau sekali pernah berbicara waktu audiensi di kantornya, saya menjadi pembicara pertama yang mengantarkan maksud kedatangan teman-teman jurnalis Radio. Atau singgungan kalimat di panggung puisi ketika saya bilang hadiah akan diberikan kepada pemenang wanita dulu lalu Kang Dedi membalas, ya dong kita harus bisa mendahulukan wanita.

Dengan Dedi Mulyadi (yang menurut saya sering saya kritik itu) agak dekat, karena satu kabupaten. Apalagi saya orang radio, orang puisi, dan orang panggung. Tapi dengan Habibie? Jaraknya jauh. Tapi saya merasa dekat, seperti pernah bicara-bicara. Satu kalimat yang melegakan kami, aku dan Habibie, di era gonjang-ganjing awal reformasi, kita masih punya Hari Kesaktian Pancasila.

Di Bandung dan Sukabumi saya punya kisah unik. Soal rasa dekat rasa menjadi. Waktu itu ada undangan makan bersama dengan Walikota Bandung, Aa Tarmana. Tidak ada pembicaraan saya dengan walikota yang sedikit intensif, kecuali saya cuma kebagian jatah yang sama dengan semua yang hadir, memperkenalkan nama dan identitas Radio yang saya wakili. Tetapi menarik, pulang dari pertemuan itu saya merasa harus 'mengarahkan' rasa masyarakt ikut membangun Bandung melalui frekuensi radio. Jauh sebelum itu, saya sebagai aktivis kelurahan Cikole Kota Sukabumi ikut lomba pudato NKKBS. Bagi saya lomba ini seperti seremoni saja. Saya harus hadir, membawa misi pembangunan, selanjutnya memanfaatkan pengaruh dan kemampuan diri di masyarakat untuk berbuat apa saja. Termasuk melalui radio. Waktu walikota Udin Koswara menyerahkan piala, meskipun saya bukan juara pertama, dan yang menerima pun teman siaran saya karena saya sudah pindah ke radio Bandung, saya merasa GR dalam hati, "Dilihat juga oleh pimpinan yang tidak terlalu kenal saya". Seperti basa-basi, beberapa waktu kemudian ketika walikota berhasil meluaskan wilayah kota Sukabumi, saya nulis surat pembaca di koran PR, pendeknya, "Selamat dan salut untuk walikota. Kota Sukabumi memang harus diperluas".

Semua rasa saya itu memang cuma rasa wong cilik semata. Pihak yang tidak terlalu dikenal. Gak ada artinya apa-apa. Tetapi ada momen-momen yang jika dibicarakan dengan siapa saja, isinya kita bangga membangun Indonesia ini. Dengan meminjam bahasa PAN, "partainya orang biasa", saya bilang, orang biasa yang baik dan tulus itu punya rasa membangun.

Kadang bahasa saya memang nyerempet bahasa politik praktis, ke PDI-P ke PAN atau yang lain karena memang dekat. Tapi saya kan penyair, budayawan, pawang senibudaya yang netral?

Sore ini menjadi sore spesial, terutama setelah tadi pagi sempat nonton TV peringatan Hari Kesaktian Pancasila oleh presiden Jokowi. Jadi pingin nulis, makna rasa setuju dari satu nyawa rakyat seperti saya. Ya, saya setuju juga presiden NOBAR film G 30 S PKI sebelum tanggal 1 Oktober ini.

Apa yang dilakukan oleh Jokowi adalah wibawa negara. Harga diri presiden. Ketegasan sikap pemerintah. Yang yakin, telah membuat masyarakat tenang dan tentram. Bagian dari kemenangan sistem politik Pancasila di tanah air ini.

Waktu Jokowi berjalan dan merapihkan dasi, saya merasakannya. Bahkan saya pernah merasa sebagai Nelson Mandela saat nonton filmnya. Terutama pada adegan dia seorang presiden yang sedang merapihkan pakaiannya di dalam kamar. Saya merasa itu perbuatan saya. Bagaimana rasa itu tidak tumbuh pada Jokowi. Apalagi ini soal cara bangsa ini membaca ideologinya.

Bagi figur Jokowi, 1 Oktober 2017 ini tentu momen yang tidak biasa. Terbilang istimewa. Saat penegasan. Maklum bahasa gelap itu masih suka terdengar, Jokowi PKI dan dianggap pasti diam-diam mendukung G 30 S PKI. Ini perkara, situasi kebatinan, yang tidak dirasakan oleh presiden lain.

Sudahkah kita menemui kalimat di dalam kitab suci, bahwa jika Pancasila dijaga dengan benar, ia akan tetap punya kesaktian selama-lamanya?

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG

TEU HONCEWANG