PENYAIR DAN GURU DI DAERAH TERPENCIL
DAUN BESI
kegaduhan di kamar daun
merindingkan kuncup hijau padaku
menjadi tumbuh yang risau
meletup kata-kata matahari
------
Apa hubungan penyair dan guru di daerah terpencil? Tentu ada. Relasi kemanusiaan. Bukankah seorang penyair mesti belajar dari sisi baik, teladan para guru di daerah terpencil? Dan bukankah seorang penyair itu menyandang status tokoh masyarakat, guru masyarakat, sang pencerah itu? Bahkan ada yang bilang, mesti seorang tokoh agama juga meskipun melalui jalur kepenyairan, tidak melalui mimbar-mimbar mesjid.
Begini. Guru teladan di daerah-daerah terpencil itu ihlas dan kerja kerasnya bukan main. Segala solusi ia cari untuk memecahkan persoalan yang kompleks. Padahal untuk menghadapi kehidupannya sendiri pun sudah suatu persoalan. Tapi dia pantang menyerah. Karena kehidupan ini selalu butuh pejuang. Butuh para pihak yang sanggup memulai kemajuan-kemajuan di sektor apapun.
Ditambah lagi, ahli hikmah sering menangis. Selalu menangis. Seperti air matanya tak habis-habis. Atau habispun masih menangis. Sebab apa? Sebab selain kemiskinan, kebodohan adalah monster yang sangat menakutkan.
Bayangkan satu hal yang sederhana. Seseorang yang tidak tahu bahwa setrum itu berbahaya, ia akan memegang strum itu sambil bercanda, atau seperti main-main saja. Akibatnya ia sekarat tersengat listrik, kondisinya parah, bahkan ada yang sampai meninggal dunia.
Lihatlah korban miras dan narkoba. Selain hidupnya hancur, mereka sering terjebak di tengah kehidupan liar para preman yang membahayakan nyawanya sendiri. Terjebak sering berkelahi, tawuran, dan melakukan berbagai tindak kriminal. Padahal mestinya mereka sedang menjadi orang baik dan berguna di tengah keluarga dan masyarakat. Kalau yang sudah tumbuh dewasa, mestinya sudah mulai ditokohkan di tengah masyarakat. Padahal belum tentu mereka itu dari keluarga miskin. Itulah kejamnya kebodohan.
Kebodohan membuat orang-orang lugu terus ditipu. Kadang diberi uang yang tidak seberapa tetapi harus mengambil celaka.
Kebodohan itu dekat dengan rasa ingin tahu. Tetapi Sial, rasa ingin tahu ini-itu juga sering membuatnya celaka. Karena saat itu ia masih dikuasai kebodohannya. Dan lebih gilanya lagi, yang menghantam kebodohannya tidak sedikit adalah orang-orang yang ngaku pinter, intelek, kelas atas, berderajat paling manusia, tetapi tukang tipu, terutama terhadap orang-orang bodoh. Yang artinya, si pinter itu ternyata lebih gelap-gulita dan terlalu bodoh!
Alangkah kejamnya kebodohan. Monster yang muncul pagi, siang, sore, malam, dan dini hari. Ingin selalu merebut 5 waktu sholat kita. Tidak mau memberi kesempatan seseorang bernafas. Dan seseorang yang dimaksud, yang paling utama adalah Si Bodoh itu sendiri. Dirinya sendiri. Sekalinya orang bodoh itu kalap, ibu kandungnya yang baik pun diinjak kepalanya. Bahkan dibunuh.
Guru teladan menyadari persoalan sosial. Realitas dan tantangannya. Betapa kebodohan harus disingkirkan. Kecerdasan mesti datang. Pendidikan harus mencerahkan.
Bagi guru, tidak ada desa, tidak ada kota. Tidak ada kata terpencil dan tidak terpencil. Semua manusia memiliki potensi untuk menemui kesejahteraan lahir batinnya. Karena itu kesadaran harus dibangkitkan. Kesaksian harus dikabarkan.
Seorang guru teladan harus berani berbisik kepada diri, kedalaman laut dan telaga, juga kepada langit luas, "Aku guru, aku telah dipanggil, dan telah diberi sambutan semesta!" Meskipun kalimat itu bisa terdengar seperti keras dan sombong bagi seekor katak yang belum tahu. Bukankah Ali bin Abi Tholib pun menangis dan berkata, "Datanglah padaku, keburu aku mati" Dan tak ada seorang pun yang menghormatinya berkata, "Apa gunamu memanggil-manggil? Apa hebatmu?". Sebab tanah gurun pun diam dalam kesaksiannya.
Dan ujung-ujungnya nasib guru teladan itu, sesukses apapun perjuangannya, yang sering terjadi, ia hanya dikenal dan dihormati di daerahnya yang terpencil itu. Tidak sampai kemana-mana. Itupun kadang masih ada cobaan sosial. Dari berbagai pihak yang tidak mau mengakui keberhasilan dan kebaikannya. Ada politik sosial yang bekerja dalam bahasa yang lain. Sebab pengaruh berarti juga kekuasaan. Sebab ketika sang guru itu dianggap telah berada pada suatu kubu sosial, ada kubu lain yang merasa harus punya kalimat berbeda. Kesaksian yang berbeda. Bahkan bisa 'mencetak orang' berbeda untuk maksud yang sama.
Ada lagi yang alami dan tidak ada kebutuhan atas pengaruh dan kekuasaan. Yaitu para bodoh yang anti dunia terdidik. Mereka malah risih dan terganggu. Bahkan mendengar kata atau istilah agama pun mereka sudah panas telinga dan jantung. Tuhan atau Allah baginya adalah rekayasa yang terlalu canggih. Yang agak lebih baik dari pendirian itu adalah yang masih berfikir, saat ini agama dan Allah sedang dalam keadaan dikhianati dengan sengaja.
Penyair. Ya penyair. Mesti berkhidmad kepada para guru ini. Yang jumlahnya bisa banyak tetapi tidak dikenal. Mirip para pahlawan tak dikenal dalam syair dan lirik lagu. Termasuk mesti berkaca kepada guru-guru ngaji yang pinter, sidik, amanah. Yang tidak cuma memperkenalkan huruf-huruf dan selebihnya provokatif.
Dan begitupun sebaliknya. Sebab lahirnya para teladan itu silih berganti figur dan tempat. Relasinya kemanusiaan. Semisal kita mempertanyakan apa hubungan seorang petani dengan masinis? Atau yang lebih mirip dan dekat, apa hubungan petani ladang dan petani sawah? Bisa jadi guru di laut lebih pertama cemerlang terlihat dan harum tercium dari darat suatu waktu, tetapi pada ketika yang lain tower-tower di puncak daratan akan nampak terang-benderang dari lautan.
Dalam bahasa saya di acara mingguan Wisata Sastra, pendidikan karakter itu tanggungjawab siapa? Dan penyair sudah pasti bisa menjawabnya.
Bahasa bagi penyair, sesungguhnya sama penggunaannya seperti pada semua manusia. Untuk kebaikan-kebaikan. Untuk panjat doa. Untuk bicara-bicara. Untuk rasa-merasa. Untuk membuka tabir kebutaan. Untuk menjemput kesejahteraan lahir-batin. Untuk bercinta dan bersenggama.
Tetapi penyair punya khas dalam penyampaian syair-syairnya. Sehingga para pencinta sastra, masyarakat semua, bisa bersungguh-sungguh mencintai semuanya, menemui universalitasnya. Tetapi bisa memilih selera. Itu saja.
Kualitas minimal itu, ketepatan berbahasa syair. Tersampaikannya maksud sesuai dengan khasnya, gaya seorang penyair. Kepada penikmat gaya syairnya itu. Yang disebut absurd dan 'gelap' sekalipun. Bahkan yang terasa ganjil dan sedikit berparfum sensasi kadang mudah terdengar. Meskipun sensasi juga bisa berwujud, kata-kata yang dianggap terlalu sederhana.
Seorang penyanyi keroncong itu ya seorang penyanyi belaka. Sama, semua penyanyi. Tetapi khas keroncong itu ya begitu. Khas Sundari Sukotjo dan Mus Mulyadi ya begitu itu. Kalau Bondan Prakoso atau Didi Kempot yang kroncongan, Ya kroncong Bondan dan kroncong Kempot jadinya. Mereka menemui pencintanya yang khusus, sebanyak apapun itu.
Tetapi nyatanya di sidang sekolah SD sekalipun, seorang guru tetap menyebut Si A, Si B, si C dll adalah para penyanyi yang berbakat dan berhasil. Meskipun selera musik dan pilihan penyanyi idola tiap siswa di satu kelas itu beda-beda.
Terakhir saya mau bilang, tidak cuma guru saja. Pada waktunya kita akan menemui sebutan kyai, penyair, polisi, tentara, dokter, dll di daerah terpencil. Semua yang serba teladan.
Ketika apa yang dilakukannya menginspirasi daerah lain, ia bisa dikenang orang, nama, profesi, atau setidaknya contoh perbuatan baiknya. Terus sampai ke tingkat nasional, bahkan dunia. Bahkan keberhasilan Rosulullah itu pada mulanya juga keberhasilan Madinah. Begitulah kesungguh-sungguhan yang tidak menipu.
Kata batu Gilang kepada raja yang mendudukinya di suatu hutan dan lembah, guru adalah guru. Lain tidak.
-----
MELEWATI AMBANG ASAR
padahal puisiku bukan angka
puisiku kemenangan
-----
PERSEGI KA'BAHKU
Menemui
Persegi empat
Ka'bahku
Kau
Menemuimu
-----
DI ATAS AIR
Dia memintal tasbih
Mengelus bahu perahu
Menengadah langit Allah
-----
APAKAH KAU GURUNYA?
Lihat anak-anak kita
Berebut tahu
Dan sebagian mati tidak tahu
------
KOPI WALI
kau takut menjadi kuli
kecuali setelah wali
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar