PRESIDEN BACA PUISI UNTUK SAYA
28 Oktober Sabtu kemarin di istana Bogor bagus saya tulis sebagai renungan puisi pagi.
Pasalnya, presiden Joko Widodo atau yang akrab kita panggil Jokowi baca puisi. Judulnya, Sumpah Abadi. Menurut informasi dari TV ditulis oleh Di.
Pertama, pada tulisan saya yang pendek ini saya tertarik bicara keabadian untuk menyelamatkan generasi muda. Kedua, saya tentu mau bicara arti presiden baca puisi.
Bahkan suatu ketika saya nonton Ultraman, soal keabadian ini juga dipersoalkan. Setidaknya membuat penonton bisa mikir, perlukah keabadian itu. Menguntungkan atau merugikan?
Keabadian adalah sesuatu yang wajib tidak tertolak. Karena itu kuasa Allah. Rumus-rumus yang ada di muka bumi saja sudah ditetapkan kadar keabadiannya.
Yang berbahaya adalah, ada pihak-pihak yang menjual keabadian semu. Kekekalan fiktif yang menghipnotis manusia untuk mengakuinya. Padahal ujung-ujungnya tidak akan sampai ke mana-mana.
Tetapi keabadian yang benar pun bisa mendatangkan bahaya kalau disalahtafsirkan. Misalnya, berani mati bagi seorang mujahid itu artinya pasti masuk sorga abadi. Tak perlu sangsi. Sebab hidup di dunia cuma sesaat. Pendek umur atau panjang umur di dunia ini tetaplah sesaat saja. Tentu benar. Tetapi bagaimana dengan para muda yang di usia belia harus rela mati, apalagi untuk sesuatu yang belum dimengerti benar, atau untuk sesuatu yang salah dimengerti, padahal menyelamatkan kehidupan semua manusia, tanpa ada peperangan, pertikaian, tawuran dll jauh lebih utama.
Pendeknya, daripada dua orang bertikai sampai mati, lebih baik keduanya selamat. Dan syarat keselamatan itu, tidak boleh jadi orang jahat. Sebab orang jahat sumber pertikaian dan kematian. Artinya, daripada dua orang bertikai, meskipun salahsatu dari mereka menegakkan kebenaran, lebih baik keduanya tidak bertikai demi kebenaran.
Keabadian di sini bisa dijadikan pintu perenungan untuk meraih kemenangan. ya, kemenangan bersama, bukan untuk menjemput maut secepat mungkin bersama-sama. Supaya tidak ada paham keliru di balik tafsir, kami siap mati muda. Sementara kalimat, "kami mati muda", dalam puisi Kerawang Bekasi, Chairil Anwar artinya terpaksa mati muda demi meraih kemenangan, kebenaran yang mulia.
Kita tahu, tentara dan polisi pun berani mempertaruhkan jiwa raga untuk tegaknya kebenaran dan kemuliaan di negri ini. Meskipun dalam usia muda. Tetapi bukan karena dalih siap mati, lalu boleh ada yang mati, sedikit atau banyak. Sementara memikirkan tidak ada yang mati jauh lebih utama.
Demikian pun masyarakat pada umumnya. Keselamatan mereka jauh lebih utama. Suatu bangunan permanen yang mesti dibangun oleh bangsa dan negara ini. Daripada mudah terjebak peluang kematian anggota masyarakat. Meskipun di dalam kematian itu ada yang mati muda karena membela kebenaran dan kemuliaan.
Kita tidak sedang mendukung, bahwa kepahlawanan itu identik dengan kematian-kematian yang segera menjemput keabadiannya. Meskipun kita tahu, semua orang baik pasti meninggal dunia, membawa kepahlawanannya, menuju keabadiannya.
Maka kaum muda di hari Sumpah Pemuda, mesti berdoa umur panjang, untuk manfaat masyarakat, bangsa dan negara. Agar Allah meridoinya. Dan jangan menyia-nyiakan usia muda karena usia yang terbuang tidak mungkin ditarik kembali.
Maka jika Sumpah Pemuda disegarisksn dengan sumpah abadi, memanglah demikian ketepatannya. Justru jika tidak abadi, itu sumpah palsu namanya. Setidaknya ada parameter yang mudah dipahami oleh para remaja, begini, kalau kita berbuat baik, apa saja, maka nilai kebaikan itu akan tercatat oleh kehidupan ini, dan yang seperti itu selalu dijanjikan pahala. Itulah kekuatan abadinya. Prinsip yang membentengi prinsip, kebenaran dan keadilan pasti menang!
Sumpah pemuda adalah kebaikan (kearifan) abadi. Niat suci yang abadi.
Bangsa ini berusaha menawarkan kebaikan-kebaikan yang bernilai abadi.
Di tanah air ini tersemai kebaikan-kebaikan yang abadi.
Dengan bahasa ini, masabodoh seorang ahli bahasa akan mengatakan suatu bahasa yang pernah populer di masa lalu bisa tidak popuker di masa depan, sebab tidak ada pesimisme dalam keayakinan yang dijaga Tuhan. Dengan bahasa Indonesia ini akan tersebar harum wangi kehidupan baik yang selamat dan menyelamatkan.
Kedua, seorang presiden yang baca puisi adalah indikasi yang baik. Bahwa ia bisa sangat menemani proses kreatif melalui medium puisi, menemani 'para jago' baca puisi di panggung, dan menemani masyarakat pencinta atau pembaca puisi pada umumnya. Segaris dengan itu. Puisi adalah satu pilihan panggung. Sebab kaki seorang pribadi presiden itu cuma dua. Maka itu artinya, berpuisi adalah semangat menemani proses kreatif semua senibudaya di tanah air.
Apalagi menurut saya, dengan gaya 'mengeja'nya. Membaca atau berkalimat agak lambat. Membuat dia baca puisi dengan sangat tenang dan menjiwai. Itu masuk.
Bagi saya pribadi, saya boleh sombong yang halal. Sebenarnya presiden baca puisi karena menghargai saya. Iya kan?
Suatu pendapat yang perlu saya tambahkan di tulisan ini, pernah saya kemukakan dulu ketika Wapres Yusuf Kalla baca puisi di TV. Presenter menyebut, ini puisi pertama dan terakhirnya Yusuf Kala. Saya bilang, bisa, bisa begitu. Apapun bisa tanpa tertolak. Bagus. Sensasi itu perlu. Bahkan para seniman itu para pembuat sensasi. Meskipun sensasi itu posisinya jauh di bawah maksud sesungguhnya yang ada di pundi-pundi paling atas. Kecuali pada kaum terbalik. Sensasinya besar isinya nol.
Tentu. Ketika Yusuf Kala melakukan suatu cara dengan puisinya. Semua penyair yang konsisten tentu sedang menggunakan cara-caranya untuk menunjukkan puisinya terus bekerja. Tidak selalu dengan banyak buku dan banyak puisi. Maka eksistensi, kekuatan, dan popularitas itu akan bersifat khas. Ibarat membaca dua satria, Nakula-Sadewa. Atau antara Bima dan Arjuna. Atau antara Raja Yudhistira dan Pandawa Lima.
Salam proses kreatif sepanjang masa.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar