STATUS PENYAIR
..... dan penyair masih di tempatnya. Seperti Chairil menjaga Bung Karno dan Bung Syahrir. Dalam bahasa sentilan sentilun, menjaga Indonesia. Yang artinya, kata orang Purwakarta, selama masih Indonesia.
Alinea pertama tersebut adalah sebuah komentar di akun Facebook teman baik, Ayi Kurnia Sukmasarakan. Lalu saya angkat ke status. Karena buat saya pribadi, dan saya dalam tanda petik alias semua yang sependapat dengan saya, bikin status dan komen status orang, itu bukan perbuatan asal-asalan. Itu adalah peristiwa hidup yang harus dijaga.
Berkali-kali saya bilang, status adalah seseorang. Saya atau anda. Kita semua.
Coba tulis, "Kau bajingan!" Tujukan ke suatu arah. Maka itulah status. Itulah keadaan Anda. Coba Anda curi status orang, lalu Anda anggap status sendiri, lalu ketika dibalikkan oleh pihak lain, Anda sulit berargumentasi awal-mula status itu, maka kebingungan anda itulah yang dibawa oleh status itu. Status itu berdiri sebagai tafsir bacaan terbuka, sekaligus menyampaikan sumber-sumber kesadarannya.
Saya tidak sedang membela media sosial, tetapi membela ketepatan sikap, tutur kata seseorang yang jujur dalam berbahasa lisan atau tertulis, dan perbuatan-perbuatan.
Bahkan pada suatu lomba pidato. Padahal dalam lomba antar siswa SMP. Saya berorasi, terutama untuk kepentingan panitia, pengarah, para guru, juri dan orang tua yang mengantar peserta lomba. Saya bilang, "Kalau nabi yang berucap, maka setiap kata dan kalimat adalah hadis sahih. Silahkan anda renungkan".
Sekarang ke soal isi alinea itu. Tentu wajar Chairil nulis puisi yang ada kalimat, menjaga Bung Karno, menjaga Bung Syahrir. Karena dia nasionalis. Karena dia pejuang. Karena dia cinta tanah air dan bangsanya. Karena dia tahu Bung Karno dan Bung Syahril dalam sistem tata negara kita adalah eksistensi bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia. Warga Nusantara. Sekali lagi, wajar Chairil heroik dengan kalimatnya.
Kalaupun ada kritik pedas, yang seperti Chairil itu semacam sikap sembunyi di ketiak penguasa, sikap dari bukan seorang pemberani. Itu bisa diluruskan dengan logika berfikir kritis. Konstruktif. Bukankah semua rakyat, warga bangsa ini, termasuk Chairil, bebas mengkritik siapapun di negri ini untuk membangun peradaban?
Jika demikian, maka sangat benarlah membela pemimpin mati-matian selama dia berada di jalan lurus. Dalam bahasa sistem kenegaraan kita yang dihalalkan oleh Allah, selama pemimpin tu masih Indonesia, masih Nusantara, masih bertakwa kepada Allah, masih setia kepada Pancasila, masih berbhineka tunggal ika. Masih membangun kesejahteraan lahir batin bangsa Indonesia. Dst.
Kalau pemimpin sudah hianat, siapa yang akan membelanya mati-matian? Begitupun logika para penyair.
Berarti bisa disimpulkan, logikanya, semestinya semua penyair itu duduk di samping Raja dan Panglima Perang. Karena ia membangun. Tetapi ia tukang kritik. Tetapi ia menyelamatkan. Dan dia bisa menolak segala kebijakan yang zalim.
Dan sebagai muslim, berhati-hatilah dengan penyair yang ditolak Al-Qur'an, karena sesungguhnya bukan penyair bagi prikemanusiaan.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar