TIPIS TEBAL BUKU DAN PANJANG PENDEK PUISI

Yuk kita bicara lagi sesuatu yang menarik soal tebal tipis buku dan panjang pendek puisi. Setelah baca tulisan pendek ini boleh nanti sore atau lusa panggil teman-teman gopi sore bareng. Tentu untuk ngomongin ini.

Waktu saya baca buku Salah Asuhan dll, saya mengira itu buku tebal. Waktu umur saya kelas satu SMA. Seingat saya, selain bagian belakangnya tidak pakai klip staples, yang biasa dipakai untuk buku tipis, juga waktu untuk membacanya agak lama.

Waktu itu saya berfikir kritis. Maklum usia 'ngotak'. Ketebalan buku ditentukan oleh tercapainya suatu maksud oleh penulisnya, ketika dia harus memulai dan mengakhiri ceritanya. Jadi benar-benar pas. Kalau harus panjang ya panjang, kalau harus tebal ya tebal.

Sampai suatu ketika saya mencoba kemampuan menulis. Ini benar-benar bukan untuk menulis yang sesungguhnya. Suatu hari saya pinjam mesin tik ke Pak RW. Maklum gak punya. Karena sering jadi panitia kepemudaan itu soal mudah. Saya yakinkan dalam hati, 6-7 hari sebuah novel dengan ketebalan 100 halaman mesti selesai. Dan ternyata benar-benar selesai. Tetapi itu novel remaja yang biasa-biasa saja. Seperti buku harian saja. Dan akhirnya hilang dari rumah, entah dengan cara bagaimana, saya anggap lumrah.

Sejak saat itu saya bisa berkata jujur, minimal satu novel bisa selesai seminggu. Ternyata. Benar-benar tes kemampuan menulis. Bukan dalam posisi seorang sastrawan sedang berkarya.

Dari pengalaman itu saya suka tersenyum sendiri. Kalau mau lebih tebal, saya tinggal panjang-panjangkan  bagian tertentu atau saya tambahi bagian ini dan itu. Kalau mau lebih pendek saya tinggal pangkas bagian-bagian yang patut dibuat ringkas.

Pengalaman itu terbawa ketika selama beberapa tahun saya menjadi penulis naskah dan sutradara drama Radio mingguan di Radio Lita FM Bandung. Kita tidak bisa cuma mengandalkan musik backsound untuk membuat cerita jadi pas 1 jam. Misalnya kalau ceritanya terlalu pendek backsoundnya dipanjang-panjang, begitupun sebaliknya. Tidak cuma bisa begitu, karena hal itu bisa menjenuhkan. Saya harus mengukur jalan cerita yang saya buat. Semua untuk kebutuhan 1 jam siar. Kalau gagasannya atau konsepnya dirasa-rasa bakal menjadi naskah panjang, saya harus membuat naskah yang proporsional untuk mengemukakan yang pokok-pokok saja. Yang paling menarik.

Di depan sinetron saya jadi mikir. Kadang seperti menggumam, "Ini naskah sinetron nampaknya dipanjang-panjangkan, soalnya bagian ini dan itu seperti diada-ada, membuat agak menjenuhkan, meskipun ceritanya secara keseluruhan menarik". Apalagi kalau sinetronnya berepisode, berseri. 

Dulu ada istilah intelektual, buku tebal. Kalau ada seseorang bermain ke rumah temannya lalu terpesona oleh buku-buku di situ, ia bisa berkata, "Hebat, bukumu tebal-tebal. Memang kamu orang pinter. Intelektual sejati. Kutu buku".

Bahkan ketika buku-buku itu ternyata punya bapaknya. Sang teman itu masih bisa berkata, "Pantas. Kamu pintar karena bapakmu seorang intelektual. Bukunya tebal-tebal".

Sampai-sampai saya curiga. Apakah komentar itu masih berlaku di depan sinetron yang dipanjang-panjangkan itu? Juga di depan novel pop yang dibuat sangat tebal, yang isinya sesungguhnya singkat saja?

Saya gak ngajak debat soal tebal dan tipis, panjang dan pendeknya. Itu punya kadar halalnya. Cuma mau nyindir, kenapa novel tebal membuat para pemuda hari ini lebih percaya diri? Lalu saya lanjutkan dengan sebuah pertanyaan menggelitik, "Apakah banyak penerbit yang berbisik ke penulisnya, bikin yang tebal, buku seperti itu lagi disukai oleh mereka yang narsis dengan buku tebal"

Haha!

Hari ini saya masih sangat suka dengan antologi puisi terbitan Forum Sastra Bandung yang ketebalannya tidak sampai 30 halaman. Rata-rata pakai klip staples yang biasa untuk menunjukkan buku tipis. Bahkan cannadrama juga bikin model buku yang sama.

Tetapi saya pernah merasa gak nyaman, suatu ketika di depan tv, lupa acaranya, ada seseorang berkata dalam suatu siaran, "Yang bukunya tipis itu ya?" Secara gak sadar dia mengucapkan itu dengan nada, memberi kesan itu buku murah atau buku kelas dua, atau kelas tiga. Untung gak dibalas oleh penulisnya, "Saya mampunya cuma bikin buku tipis sih, belum bisa nulis yang tebal". Wah bisa berantakan kaca TV.

Padahal, saya punya pendapat yang berbeda sejak belasan tahun lalu. Kalau dulu di masa SMA saya berfikir, tebal tipis buku mengikuti jalan ceritanya, pada tahun 2000-an saya berpendapat, masyarakat hari ini banyak yang sedang butuh sajian praktis. Mereka sangat butuh baca, tapi gak mau rumit dan panjang. Lihatlah yang baca koran di atas angkutan kota dan taksi dalam perjalanan berangkat kerja yang hanya 30 menit. Lihatlah mereka para pekerja yang membuka-buka majalah saat siang hari sesudah makan siang. Waktunya pendek. Bahkan lihat juga para pekerja yang pulang kerja jam 6 sore, dia punya sedikit waktu di depan TV dan sedikit waktu duduk-duduk di ruang tamu. Kesemuanya itu adalah kesempatan baca buku yang singkat. Maka, cerpen dan artikel koran yang pendek, kumpulan cerpen yang bisa dibaca satu-satu, buku dan novel yang babnya pendek-pendek, ketebalan buku yang tidak terlalu memberatkan, pasti akan membuat mereka senang. Yang panjang dan tebal tidak selalu menyenangkan.

Bahkan sejak saya suka menulis puisi pendek tahun 90-an, selain karena itu bagian dari ekspresi bebas seorang penyair, puisi pendek itu bisa berlaku mirip kata-kata mutiara dan pribahasa. Singkat. padat. To the point. Pasti banyak yang suka. Atau akan banyak yang suka.

Bahkan hari ini saya punya grup FB #PuisiPendekIndonesia. Tapi masih lumayan sepi dari penulis lain. Mungkin kurang promosi. Mungkin juga masih ada yang berpendapat menulis puisi di grup FB itu mubazir. Atau mungkin dianggap itu cuma sensasi menyaingi #haiku yang lagi ramai. Tapi bagi saya, itulah kenyataan, sebagian besar puisi saya memang puisi pendek. Disebut PUPENIS pun jadilah.

Saya yakin, ada penyair yang menjadi dikenal karena beberapa puisinya yang menonjol dan sering dibaca orang. Ada penyair terkenal karena judul-judul bukunya yang sering muncul dalam pembahasan sastra. Ada juga yang dikenal dan menjadi terkenal dengan disebut model karyanya. Misalnya, si Fulan itu ahli pantun. Si Fulan itu punya puisi-puisi gelap. Dan yang ini rumahnya puisi pendek Indonesia.

Kita punya satu analogi penting. Siapa tidak kenal Slamet Gundono? Saya kenal namanya dan saya pernah nonton pertunjukannya. Saya mengakui, dia Dalang Wayang Suket. Sangat khas. Tapi saya tidak tahu, selain penggalan dari Wayang Purwa, Wayang Wali, berapa banyak dia punya cerita rekayasa sendiri untuk pertunjukan Wayang Suket? Padahal kalau ada, dan cerita baru itu diterbitkan, itu karya sastranya untuk pertunjukan Wayang Suket. Tapi kalau saja dia masih hidup, saya pingin nonton lagi. Sugestinya cukup satu saja, dia Dalang Wayang Suket, khas yang menarik.

Pada tulisan ini saya tidak sedang menerjemahkan apa itu puisi pendek dan sebaliknya. Kita cukup mengakui eksistensi panjang pendek itu. Juga mengakui adanya fenomena tebal tipis buku sastra, termasuk buku puisi, dan fenomena peminatnya.

Selamat menuju obrolan warung kopi ntar sore atau esok lusa.

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DINDING PUISI 264

JANGAN KALAH HEBAT DARI BIMA

TIDAK ADA YANG BENCI KALIMAT TAUHID