GARENG KABAYAN NGEMSI
Anda tentu kenal dua figur tradisi yang populer menasional, bahkan mancanegara, Gareng dan Kabayan.
Yang satu berangkat dari dunia Wayang Wali (Wayang Nusantara), meskipun hasil adaptasi, pengembangan, antara tokoh-tokoh dalam naskah Mahabharata-Ramayana dengan kebutuhan Syiar Islam para Wali. Bahkan dengan penambahan tokoh-tokoh yang tidak ada sebelumnya di dua naskah itu, semisal Panakawan. Juga menambahkan bagian-bagian utama dan unsur-unsur baru dalam cerita tradisional itu. Meluruskan tutur tinular cerita wayang yang beredar di tengah masyarakat dengan paradigma ajaran Samawi. Serta melahirkan bentuk wayang kulit dan wayang golek yang tidak ada di negara manapun. Asli Indonesia.
Sehingga sosok Gareng disebut-sebut bagian dari Panakawan yang tidak ada dalam Mahabharata-Ramayana. Itu buah pengembangan, kreatifitas tokoh-tokoh pewayangan, dalam rangka menyukseskan Syiar Islam.
Sehingga kalau dijelaskan bahwa cerita rakyat yang bersumber dari Mahabharata-Ramayana telah menjadi khas cerita rakyat lokal dengan pengalaman sosial, estetik dan relijiusitas yang berbeda sejak jauh-jauh hari, apalagi setelah beradaptasi dengan Syiar Islam itu, maka kehadiran Nala Gareng dan saudara dan bapaknya, Semar, semakin menunjukkan senibudaya Indonesia.
Artinya laju Wayang Wali tidak lagi mengambil secara langsung kisah Mahabharata-Ramayana yang dikuasai para dalang ke arah Syiar Islam. Tetapi ada jarak dan pengembangan dulu. Baik dalam cerita dan penceritaan, maupun pengalaman dasar, ---kalau di Jawa titen-ciren Kejawen, laju spiritualitas Jawa---, dan lingkungan yang mempengaruhinya. Setelah itu barulah Syiar Islam melakukan pelurusan dan pemanfaatan cerita rakyat yang khas itu. Tentu ada penambahan tokoh dan banyak bagian-bagian cerita.
Maka tidak benar kalau ada generasi kini yang berkesimpulan bahwa penerimaan para wali atas eksistensi wayang dan cerita wayang dulu, hanyalah proses adaptasi untuk tujuan syiar saat itu. Kalau gak begitu ajaran Islam tidak akan berhasil. Maka di belakang hari hal itu harus ditinggalkan. Sungguh itu kesimpulan yang keliru, bahkan gegabah.
Yang kedua, Kabayan atau yang biasa ditambahi dengan sapaan Si (seseorang, untuk panggilan setara) menjadi Si Kabayan.
Si Kabayan artinya pelayan atau pamong, atau penyampai. Posisi sosialnya secara sistemik bisa di atas bisa di bawah. Yang jelas tugasnya, atau setidaknya prinsip hidupnya, melayani masyarakat. Oleh karena itu seperti yang sudah saya uraikan berkali-kali di radio atau di grup FB, Orang Radio Indonesia, tokoh Kabayan itu bisa pinter bisa bodoh. Sewaktu-waktu bisa di pihak yang menasehati, di sisi lain bisa di pihak yang dinasehati.
Maka beruntunglah orang Sunda. Kalau mau marah-marah bisa pura-pura memarahi sosok Si Kabayan yang begini begitu. Lambat, bodoh, tidak taat azas, dll. Padahal sedang nyindir Pak RT-nya, Bupati atau Gubernurnya. Tapi di waktu lain kalau Presiden mau menyampaikan pesan pembangunan, pesan dakwah dan sosial, Si Kabayan mendadak bisa jadi penasehat ahli bagi masyarakat. Ya, kita jadi ingat Kang Ibing.
Kabayan sendiri dicitrakan lahir dari sebuah keluarga biasa, seperti pada umumnya, di tengah masyarakat Sunda. Punya Abah dan Ambu, pacar dan lalu istri. Ciri-cirinya nyebelin, bodoh, lambat, tapi pinter, kadang terlalu cepat mengambil keputusan. Entah itu keputusan yang salah atau benar. Ia sangat imajiner. Maka pembaca cerita atau penonton aktingnya di panggung pasti melihat maksudnya saja. Kemana karepnya. Pada dirinya lengkap, berisi karakter-karakter masyarakat dan tokoh-tokohnya.
Apakah Kabayan sama dengan Cepot (patner Dawala/Petruk) dalam Wayang golek Sunda? Ada yang menyebut banyak kemiripan. Sama-sama fiktif, populer dan lucu. Tetapi gaya bicara Cepot bisa lantang, cepat, dan ceplas-ceplos, sedangkan Kabayan cenderung lamban tapi pikasebeleun dan pikaseurieun (bikin sebel dan bikin ketawa). Padahal malah bisa nampak santun, hati-hati dan intelek.
Di panggung-panggung hiburan dan mimbar rakyat apa saja, dua tokoh ini bisa muncul, baik sebagai MC maupun sebagai bintang tamu.
Gareng atau Nala Gareng pada awalnya dulu, selepas dari keterikatan pakem pementasan wayang kulit atau pertunjukan Wayang Orang (Wayang Wong) sering muncul bersama-sama tim Panakawan (Semar, Petruk, Gareng dan Bagong) di berbagai event. Wujudnya selayaknya Wayang Wong. Tetapi di event-event yang khusus bisa muncul berdua saja, Gareng-Petruk. Bahkan ujung-ujungnya bisa tampil sendiri. Tak masalah. Apalagi kalau honornya cukup buat sendiri. Dia itu sudah representasi Panakawan (tradisi) di tengah semaraknya panggung-panggung hiburan modern.
Pertanyaannya, mengapa seorang Gareng bisa diterima oleh panggung hiburan multi-event, baik sebagai MC maupun bintang tamu? Mengapa tidak cenderung pada Petruk, Semar atau Bagong? Ini menarik. Bahkan di tahun 2017, kalau mau Gareng bisa maju Stand Up Comedy seperti yang bertampang Mat Blangkon.
Khusus Mat Blangkon ntar baca tulisan saya yang lain.
Sesungguhnya itu punya garis besar yang penting. Selama ini Gareng selalu dicitrakan unik karena ciri-ciri fisiknya. Mata juling, tangan bengkok, dan kaki pincang. Dari sudut pandang kondisi preman, itu menyeramkan, kelihatan sisa tukang berkelahi. Tapi dari sisi perikemanusiaan, apalagi kalau cacat itu bukan karena berkelahi, itu ciri khas, suatu keadaan yang patut diterima apa adanya, sekaligus di sisi lain bisa menjadi inspirasi kelucuan yang menghibur.
Mengapa kita perlu nengok sisi seramnya? Karena sosok Gareng juga sosok pengajian. Dengan membaca Gareng kita melihat tipikal preman insyaf. Preman pensiun. Bekas tukang berkelahi yang sudah babak belur dan cacat, tetapi akhirnya memilih jalan pulang, bertobat, dan hidup normal di jalan lurus, bersukacita bersama orang banyak.
Tetapi kalaupun kita akan meninggalkan kisah seramnya itu. Kita tiadakan kisah semisal itu dari imaji kita. Citra yang akan didapati adalah makna simbul yang sudah kadung populer sebagai ajaran Islam, ajaran Punakawan dari ciri khas Gareng itu.
Sebut saja, dia juling. Artinya, walaupun dia nampak melihat lurus ke depan, ke suatu ujung pandang, dia tahu apa-apa yang terjadi di samping kanan-kiri, bahkan yang di belakangnya. Pada matanya ada spion sekaligus lampu sen. Karena itu masyarakat melihat ia seperti tidak fokus ke satu titik. Padahal fokus ke satu titik itu bisa diterjemahkan fokus ke segala arah, ketika segala arah adalah satu kumparan. Arena yang harus disikapi dalam satu waktu. Begini begitu itu bagaimana?
Ada yang menerjemahkan, mata juling artinya tidak mau melihat hal-hal yang buruk. Bukan dalam pengertian awam, tidak mengarahkan muka dan mata ke suatu arah. Tetapi lebih sebagai brntuk ketidakperdulan. Sehingga kalau dipersonifikasikan, seperti ada preman bertanya, kenapa kamu tidak mendukung maksiatku? Maka Gareng bersuara atau tanpa suara sudah menjawab, aku tidak mau melihatmu. Sebab sebenarnya, sudi melihat itu artinya mau mengakui.
Maka bayangkanlah kalau Gareng ngemci (jadi MC). Meskipun ia bergoyang sambil melihat artis-artis seseksi Zaskia Gotik atau Inul Daratista, ia aman terkendali. Ia tidak melihat keburukan, alias tidak mau mengambil keburukan. Ia mau hiburan yang ceria dan baik-baik saja. Ia bisa melihat tasbih dan tafsir tasbih. Dia berdiri di atas panggung Campursari dan Jaipongan tetapi hatinya berdiri di atas sajadah belaka. Ia melihat atas melihat bawah. Melihat depan dan belakang. Bukan mengamini terang dan gelap. Bukan mengamini pahala dan dosa.
Ciri-ciri Gareng berikutnya adalah, tangan bengkok. Ini bukan dalil untuk 'bengkok tangan' ketika menjadi MC atau bintang tamu. Bukan hadis sahih untuk ngaji Gareng: "Tangan siapapun bisa meraup apa saja, yang baik atau yang buruk dalam keserakahan". Bukan. Bukan itu. Tetapi tangan dan mata Gareng telah dihajar habis-habisan, dididik luarbiasa, sampai ada bekas lukanya, untuk kemudian menjadi tangan mulia untuk berbuat apa saja. Untuk mengais rejeki, menolong orang, merangkul teman dan para pihak yang tidak mampu. Serta menghibur siapa saja tanpa pilih kasih.
Lalu soal kakinya yang pincang. Sebenarnya dalam pemahaman saya sebagai muslim yang ngaji sholat dan jilbab, tangan dan kaki itu satu keterikatan. Bahkan dengan wajah. Sehingga ada puisi pendek saya:
LAKI-LAKI BERJILBAB
hadir wajah diri
dan telapak perbuatan
#puisipendekindonesia
Tangan dan kaki yang nampak cacat adalah buah penempaan belaka. Buah perjalanan ngaji diri dalam kehidupan luas. Sukaduka. Salah dan benar. Penuh luka-luka. Untuk menggapai cahaya. Seperti Musa yang mengeluarkan cahaya dari telapak tangannya.
Maka di panggung hiburan, Gareng itu telah hadir diri dan hadir perbuatan baiknya. Dia tidak sedang berbuat salah dengan sengaja. Tidak sedang mempertontonkan dosa.
Bahkan kaki pincang oleh Dalang dan ahli pewayangan juga diartikan sikap hati-hati. Gerakannya sedikit melompat-lompat, menolak buruk menginjak kebaikan, sehingga cuma nampak seperti orang pincang saja. Siloka saja. Begitupun tangannya. Bergerak membelok kesana kemari, ke arah yang halal-halal saja. Sehingga disebut bengkok. Tidak melabrak semua arah. Pilih-pilih. Menurut pantun asal goblek dari pedagang asongan, "Sayang anak - sayang anak, pilih kelir acak corak".
Begitulah Gareng. Khas dan wajar bisa diterima masyarakat. Ia berjiwa dan bergaya muda, tetapi bisa sehati dengan yag tua-tua. Suasana bisa teduh dan santun karena ulah Nala Gareng, yang di sesi lain tukang ngakak dan doyan bercanda.
Sebagai representasi Panakawan, di panggung yang beraroma penyuluhan pun, Gareng bebas bicara alat kontrasepsi, kondom, atau nimbang bayi ke Posyandu. Bayangkan kalau dia berdandan Sri Kresna atau Bima, akan nampak kaku guyon sambil memberikan penyuluhan. Padahal Nakula-Sadewa sudah bisik-bisik, mestinya Bima yang punya kedahsyatan Kuku Bima bisa dicoba ngomong soal kondom. Tapi Bima yang berperawakan tinggi besar, menjulang seperti gunung itu, ternyata lebih pemalu daripada Gareng.
Selain itu, gaya Gareng di atas panggung yang unik bisa berlaku seperti keponakan siapa saja. Orang-orang dewasa yang nonton dianggap bapak, ibu, atau paman-bibinya. Selain itu secara protokoler, ia bisa merunduk-runduk melayani Pak Bupati atau Pak Mentri kalau tokoh itu datang. Bahkan di segala hajatan warga, di depan pemangku hajat, tokoh masyarakat dan Pak RT, dia sopan dan lucu seperti di depan bapaknya, Lurah Semar.
Di Tatar Pasundan peran MC dan bintang tamu yang begini bisa diperankan oleh tokoh Si Kabayan. Pakai pangsi hitam, beselempang sarung dan kopiah dengdek. Itu ada maknanya.
Pangsi identik dengan jawara. Bukan manusia sembarangan. Hitam artinya misteri, penuh rahasia, kedalaman dan kelengkapan ilmu. Mengenai hal ini bisa baca tulisan saya soal, Nyetak Jawara. Terutama berkaitan dengan peristiwa budaya, Ngarak Pengantin Sunat.
Selempang sarung artinya santri. Jago ngaji. Paham agama. Tahu liku-liku hidup dan jalan lurus yang terang-benderang.
Kopiah dengdek (agak miring dikit), meskipun dengdek tetap di atas kepala. Itu mustika. Keramat. Simbul raja. Karena setiap pribadi adalah raja. Setiap anak manusia adalah anak raja. Sekaligus menunjukkan secara struktur formal, sosial maupun spiritual bertitah raja. Dengdek artinya mengayomi atau dekat ke bawah, kepada rakyat. Arif, bijaksana, pengertian, dan tidak sombong. Tetapi supaya lucu dalam suatu banyolan kopiah itu suka diputer-puter, kadang sampai malang samping. Maksudnya enerjik, familiar dan menghibur.
Mengapa di panggung hiburan di Bumi Pasundan tidak memakai Cepot sebagai MC atau bintang tamu berwujud manusia? Sebenarnya sah-sah saja. Tetapi visualisasi karakter Cepot dalam wujud Wayang Orang (manusia biasa) memang tidak mudah. Apalagi mukanya merah. Selain itu, titen ciren, kode, maskot, tokoh fiktif yang menjadi simbul, itu bisa secara natural populer dengan sendirinya. Dan masyarakat sudah menerima dan sayang kepada Si Kabayan. Bahkan ada yang menyebut, sesungguhnya Kabayan itu wujud Cepot juga. Atau Cepot versi lain.
Dalam uraian saya di grup Orang Radio Indonesia, tokoh Si Kabayan sangat marak diperankan oleh para penyiar radio yang berpura-pura menjadi Si Kabayan. Ini sudah jadi promosi gratis atau sosialisasi puluhan tahun di radio. Di Jawa Barat dan Banten. Bahkan dari radio pula tokoh semisal Kang Ibing itu muncul. Termasuk komedian Sule sangat sering berperan sebagai Kabayan.
Atau kalau kita mau wellcome tanpa mengesampingkan eksistensi dan kenyataanya. Panggung dengan MC Cepot itu ada. Demikian pula di tanah Jawa, selain Gareng, istilah Mat Blangkon itu muncul. Mat itu plesetan merakyat untuk panggilan Muhammat atau Muhammad. Blangkon artinya orang Jawa. Maka Mat Blangkon secara logika normal dan memasyarakat bisa merepresentasikan Orang Jawa Muslim di kancah panggung hiburan Indonesia.
Terakhir saya ingin tegaskan. Dalam kontek pemunculan seniman sebagai Gareng, Si Kabayan atau sebagai siapapun di atas panggung pasti bagian dari unjuk eksistensi. Unjuk prestasi. Jual diri. Memanfaatkan potensi. Maka menjadi haram bagi para pihak yang memusuhi niat dan sikap untuk eksis. Untuk maju tampil.
Ini penting saya sampaikan karena diam-diam kita punya bahkan menelihara budaya menolak eksistensialisme. Ini bisa jadi peluru dan propaganda yang jahat. Presiden harus lebih eksis, Mentri cuma pembantu, tidak boleh. Kepala sekolah wajib eksis, para guru jangan. Direktur harus dipuji setinggi langit, sebab dia nyawa, dia orang, sementara para jongos itu bayang-bayang belaka. Tidak boleh punya eksistensi. Jongos bukan manusia. Bahkan syetan pengganggu. Padahal, seorang generalisasi manajer populer dan ungggul karena profesionalitas di tempatnya, demikian pun para manajer di bawahnya. Seorang bawahan masih bisa mengatakan, telah mekakukan ini itu secara profesional karena terbuka kebijakan dari atasannya. Dan atasannya masih bisa berkata, saya memang punya kebijakan untuk membuka kran kreatif itu.
Eksis adalah hak setiap pribadi di tempat masing-masing. Dalam sebuah sistem bisa terjadi kesepahaman secara informal dan formal soal itu. Yang penting bukan eksis untuk dosa.
Bahkan penyair pun butuh eksis habis-habisan. Sebab dia tahu, sidik, kalau puisinya dibaca orang, banyak yang akan sampai. Allah memberkati. Yang penting tidak sikut-sikutan.
Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com
Cannadrama@gmail.com
Komentar
Posting Komentar