LURAH PENYAIR

Ada tiga istilah lurah yang bisa saya sebut dan uraikan dalam tulisan ini. Pertama lurah dalam struktur pemerintahan resmi di negara Indonesia. Kedua, lurah sebagai sebutan informal untuk seseorang yang memimpin kelompok manusia, dalam beragam bentuk organisasi besar maupun kecil. Termasuk semisal Lurah Semar Badranaya yang lebih populer sebagai pemimpin keluarga, memandu dan menemani anak-anaknya, Petruk, Gareng, Bagong. Juga yang disebut Cepot dan Dawala dalam Wayang golek Sunda. Dan yang ketiga adalah lurah dalam paham spiritual.

Sebutan lurah yang pertama merupakan sikap politik pemerintah dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia. Kekuasaan di daerah yang terkecil adalah kelurahan yang dipimpin lurah atau setingkat dengan desa yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Sehingga dalam prinsip pembangunan nasional, kalau kita ingin membangun NKRI (Indonesia), maka harus terbukti melalu sukses pembangunan di seluruh desa/kelurahan se Indonesia. Sehingga secara tidak langsung sudah mengisyaratkan bahwa seorang lurah/kades selain sebagai Raja Kecil, mereka adalah kepanjangan tangan atau tangan kanan presiden RI. Sampai-sampai ada istilah, jika ada suatu masalah di desa disebut-sebut, "Masa presiden tidak lihat?" Maksudnya, peristiwa pertama dan utama adalah para lurah/kades mesti menjadi mata pemerintah pusat/mata presiden. 

Tidak mustahil kondisi ini adalah langkah maju dari kondisi pembangunan masa kerajaan atau bahkan masa kolonial, kalau mau disebut masa kolonial ini ada juga proses pembangunannya, ketika kondisi kemajuan hanya diukur dari kemajuan di tingkat kabupaten. Atau karesidenan. Atau di masa kolonial bisa lebih kecil dari itu, tingkat kecamatan. Tapi pasti banyak yang akan menyebut, era ini bukan pembangunan di tingkat kecamatan yang menonjol, melainkan cuma penguatan kekuasaan/ militer. 

Tetapi di era mutahir, terutama memasuki era reformasi di Indonesia, seiring mulai marak pembentukan pengurus partai juga sampai ke tingkat RT-RW maka ada gerakan, pembangunan mesti lebih menghunjam ke bawah, berhasil di tingkat RT-RW. Kesadaran ini sebenarnya sudah terbaca sejak masa Orde Baru sebagai sikap mengritik penguasa. Maka mulailah guyonan itu muncul. Seorang Bupati disebut Pak RT. Bahkan presiden sekalipun. Suara hati. Di Purwakarta saya malah menyebut Bupati Lili Hambali termasuk orang yang pingin paling 'ngerte', sebab dandanan dan kopiah miringnya dibuat mirip ketua RT di kampung-kampung. Maksudnya jelas, fenomena ini proses menghargai posisi ketua RT sekaligus meminta perhatian bahwa sukses pembangunan itu mesti sampai di tingkat RT. Raja kecilnya Pak RT. Sebab bisa saja suatu desa dianggap sukses secara umum, terdapat kemajuan ini itu, memang, tetapi tidak merata samasekali, secara khusus banyak lingkungan RT-RW yang masih terbelakang. 

Ok. Lebih lengkap lagi nanti baca tulisan saya tentang Lurah Semar Digugat.

Dalam pengertian lurah yang kedua. ---Dalam terminologi RT, mestinya ini tafsir RT versi dua----. Memimpin sekelompok orang. Penyair bisa berlaku sebagai lurah atau ketua RT yang mengkoordinatori para penyair dan para pencinta sastra, baik di tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan, tingkat komunitas, maupun memimpin Yayasan dalam suatu kegiatan nasional. 

Tidak ada keharusan bahwa di tingkat propinsi yang menemani para penyair hanya boleh dan halal satu orang saja. Aturan dari mana? Dari 'Hongkong'? Begitu pula untuk tingkat kabupaten, kecamatan dst.

Kalau jumlah komunitas atau yayasan yang bekerja di bidang sastra, khususnya di dunia kepenyairan atau di kalangan para pencinta puisi, di tingkat propinsi jumlahnya ada 9 bagaimana? Bukankah akan kita biarkan ada 9 lurah di situ? Kita lihat halalnya saja.

Hal yang serupa bisa terjadi bahkan sampai ke tingkat RW. Di sebuah RW pada suatu kota kecil yang maju bisa ada lebih dari dua komunitas sastra. Kalau gak percaya saya ambil satu contoh. Di RW itu sebenarnya sudah lama ada komunitas sastra yang biasa mangkal di suatu rumah pada suatu gang. Ternyata di belakang hari ada seorang aktivis suatu partai politik yang bikin kelompok sastra dari kalangan aktivis yang separtai. Lokasinya di gang lain. Otomatis pemimpin dan anggotanya beda. Ini satu fakta. Sekadar contoh saja. Di tempat lain contohnya tentu bisa berbeda bentuk. Atau setidaknya, ada beberapa komunitas sastra di satu kelurahan. Bahkan dari dulu satu sekolah pun bisa memiliki satu komunitas sastra, entah itu bagian dari kegiatan perpustakaan atau bukan. Sedangkan jumlah SD, SMP dan SMA negri dan swasta di satu kelurahan itu ada beberapa?

Dari sudut pandang buku sastra, itu lahan jualan buku. Sekarang atau nanti. Maka mesti dibina dengan baik rasa cinta buku dan minat bacanya. Sedangkan dari sudut pandang literasi, itu bagian dari kesadaran, atau upaya penyadaran betapa penting membaca buku sastra. Multi manfaat dalam kehidupan ini.

Maka saya pernah menulis, biasakanlah kita bergotong royong secara sosial meskipun fokusnya tetap ke dalam komunitas atau yayasan masing-masing. Beda partai sekalipun. Minimal beda bapak angkatnya, kalau bapak angkatnya itu punya pengaruh partai yang mencolok di tengah masyarakat. Sebab kalau berhasil, pengaruhnya selalu kemana-mana. Pun kalau sebaliknya, tidak menghasilkan apa-apa.

Di Bandung dari hasil observasi saya dari berbagai kegiatan kesenian, ini juga bisa terjadi di daerah manapun, hanya progresifnya yang beda-beda, setiap kali ada kegiatan panggung kesenian ternyata yang terlibat dalam satu pagelaran itu bisa dari berbagai komunitas seni yang populer dengan namanya masing-masing. Pendeknya, mereka yang sedang ngikut, meskipun punya kelompok sendiri, merasa ihlas mewujudkan kesuksesan sebuah komunitas yang sedang pentas.

Sebut saja, ada pementasan teater atau gelar malam puisi oleh komunitas A. Terang-terang dipublikasikan nama komunitasnya itu. Tetapi ternyata bagian artistik, dokumentasi, musik, dll-nya bisa berupa dukungan dari kelompok-kelompok lain yang terlibat. Bahkan aktor panggungnya, sebagian besar dari kelompok teater itu, sebagian lagi dari kelompok teater lain. Demikian pun para pembaca puisinya. Ibarat hajat satu teater didukung oleh banyak kelompok teater dan komunitas seni lain.

Memang benar, tidak ada kewajiban mesti begitu. Itu hanya satu contoh baik saja. Sebab kalau ada kelompok seni melakukan pementasan hanya dengan mengandalkan potensi yang ada di dalam kelompoknya sendiri, itu pun masih bernilai gotong-royong. Gotong-royong memajukan potensi seni di daerahnya, atau bahu-membahu, fastabikul hoirot, di seluruh titik di muka bumi.

Untuk yang melibatkan banyak komunitas bisa berupa pentas seni oleh suatu kelompok penggagas yang mendapat dukungan berbagai pihak. Tetapi bisa berupa panggung silaturahmi. Panggung yang diekspose sebagai kegiatan multi-komunitas. Misalnya acara Malam Puisi. Ternyata acara itu dipromosikan, malam puisi berbagai komunitas-komunitas seni.

Saya dengan cannadrama-nya bisa kapan saja mengadakan acara Malam Puisi Cannadrama atau Panggung Cannadrama. Padahal didukung banyak komunitas dan sanggar. Atau saya sengaja mengadakan acara Malam Puisi Purwakarta, Panggung Puisi Bandung, Gelar Sastra Kemayoran, dan Aksi Pacintra (para pencinta sastra) Sukabumi, sebagai wujud silaturahmi multi komunitas di suatu tempat/daerah. Ini harus diterima sebagai kenyataan. Sebagai kebaikan sosial. 

Di situ kita bisa melihat eksistensi dan peran serta para lurah yang juga seorang penyair. Sambil mengakui, lurah-lurah yang lain belum tentu seorang penyair tentu saja.

Adapun lurah secara spiritual adalah eksistensi pribadi penyair yang pengaruhnya memimpin masyarakat. Tanpa batas. Ia menggunakan sima. 

Dalam kebiasaan Sunda ada istilah, sima aing sima maung (simaku sima harimau/macan). Di kalangan muslim itu diterima sebagai bagian dari syiar Siliwangi. Atau bisa juga kita memakai sima apapun. Bebas. Sima aing sima Muhammad, sima aing sima Islam, sima aing sima Pancasila, sima aing sima NKRI, sima aing sima cinta alam dan anti narkoba, sima aing sima ..... Apapun. Boleh semua. Halal.

Lurah spiritual yang banyak ngaji hikmah dan kemanusiaan itu, akan selalu merasa membangun dan mencerahkan, bahwa kehidupan ini mesti dan akan bergerak bagaimana. Di kalangan penyair, hal itu bisa dibaca dari puisi-puisi tertulisnya, atau didengar dari puisi-puisi yang dibacakannya.

Puisi yang tidak secara tekstual dikenal orang, ---kecuali yang asli dan ada di tangan penyair yang membacakannya, yang mungkin juga cuma ditulis di atas cangkang rokok---, yang lalu bisa beredar dalam bentuk rekaman audio (kaset/Cd) maupun audio-visual (Vcd/Video), di internet melalui YouTube misalnya, tetap saja itu adalah puisi. Karya sastra.

Saya tidak bisa menyimpulkan bahwa puisi hanyalah sebuah karya sastra berbentuk puisi yang bisa dibaca dari sebuah buku, majalah/koran/buletin, dan layar internet, yang berbentuk teks puisi. Tidak bisa. Sebab yang saya dengar, yang sama sekali belum pernah saya lihat teksnya, pun sebuah puisi. Bukankah dulu kita juga mengenal istilah sastra lisan? Sekarang ada sastra rekaman. 

Saya juga menyebut, kita tidak boleh sombong dengan istilah dimuat koran atau diterbitkan dalam sebuah buku. Sebab kita pun bangga kalau istilah dimuat dan diterbitkan itu juga segaris sebobot dengan disiarkan Radio, ditayangkan tv dan dibacakan di atas panggung. Tinggal soalnya, apa, bagaimana, siapa dst. Ini bisa lebih seru dan cair. Mencerahkan.

Dan menurut hemat saya, seseorang yang rajin merekam atau meng-upload video-video baca puisinya ke jejaring internet, bisa membuat puisi dan kepenyairannya dikenal dengan cara itu.

Maka pengaruh 'kelurahannya' yang spiritual itu, selain bisa diketahui orang dari buku puisinya, bisa juga diketahui orang dari sepak terjang kegiatan di panggung/arena puisinya, atau melalui produk rekamannya itu. Dia berusaha untuk mengantarkan keutamaan hidup pada semua orang yang memperhatikannya dengan berbagai cara. Dia sudah berada di tengah dan hidup bersama orang banyak.

Dan lagi, yang tidak bisa dilupakan. Spiritualitas seseorang, pribadi baik, di dalam hati sucinya, apalagi sebagai pribadi besar, yang paling raksasa, pun terus mengalir sebagai doa-doa sosial. Sebab Allah maha melihat, maha mendengar dan maha memahami. Begitu pula yang bekerja pada hati seorang penyair.

Di akhir tulisan ini saya mau sedikit cerita Lurah Semar dengan menjadi 'gila' sebentar saja. Yuk kita lupakan siapa istri Semar. Yang jelas di acara tahunan, Ria Jenaka TVRI dulu, sebagai bagian dari propaganda pembangunan nasional kala itu, dan di banyak acara, juga di pagelaran-pagelaran wayang, dia selalu tampil srndirian. Gak ada Abah dan Emak. Gak ada Umi dan Abi. Dan mari kita lupakan saja, yang mana anak kandung dan mana anak angkat dari Petruk, Gareng dan Bagong? Kali ini hal itu sama sekali gak penting. Dan kali ini jangan ada yang menjelaskan hal itu sesuai pakem Wayang Purwa atau Wayang Wali. Sudah saja biar begitu rupa. 

Saya mau berlaku awam saja. Ketika Semar menikmati persetubuhan, atau enak-enak menjadi bersetubuh, maka prinsipnya adalah, suami istri itu sudah satu tubuh belaka. Kalau gak nampak Semarnya, pasti yang nampak kekasih pujaannya, istrinya. Kalaupun yang nampak istrinya, pasti wajahnya wajah Semar belaka. Ya sudah. Itu namanya asmara, bahkan birahi cinta. Dol Semar saja. Jual semar saja.

Soal anak. Petruk, Gareng, Bagong. Atawa Dawala jeung Cepot. Semuanya itu anak Semar. Kandung maupun angkat. Atau anak tiri sekalipun. Atau anak AKUAN sekalipun. Kalau Semar diartikan orang baik, atau kebaikan itu sendiri, ya sudahlah, semua berbapak kepada orang baik, berbapak kepada cahaya kebaikan, anak lurah semua. Termasuk ketika Petruk menunjukkan eksistensi sebuah kerajaan. Bagong menunjukkan lembaga negara. Dan Gareng menunjukkan organisasi kemasyarakatan atau organisasi kepemudaan. Mereka semua anak Semar juga.

Hal ANAK AKUAN, pasti banyak yang mengira, itu para anak yang diaku-aku sebagai anak kandung seseorang. Tetapi ada yang lebih serius lagi dari itu. Yaitu jika seorang istri hamil oleh sebab orang lain, dalam bahasa sekarang bukan oleh sebab suami yang ada di buku nikah, maka halal suami sahnya mengakui anak dalam kandungan istrinya itu adalah anak kandungnya sendiri. Ini hukum tegas dan jelas. Hikmah mulia. Kecuali kalau ada pihak yang masih mengada-ada memperkarakan hubungan darah antara anak dalam kandungan itu dengan suami dari ibunya yang sah. Meskipun, sang suami itu bisa saja justru berniat menceraikan istrinya dengan alasan, anak yang dikandungnya bukanlah anaknya. Tetapi sebenar-benarnya sebab perbuatan orang lain. 

Gilang Teguh Pambudi
Cannadrama.blogspot.com 
Cannadrama@gmail.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PERLU GAK HARI AYAH? Catatan lalu.

TEU HONCEWANG

Chairil, Sabung Ayam, dan Generasi Berlagak ABG